Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mural, Kritik Seniman dan Tafsir Aparat

15 Agustus 2021   20:14 Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:24 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wartakota.tribunnews.com

Mural, graffiti adalah produk karya seni yang bisa dikategorikan street art. Awal mula sejarah street art menurut beberapa referensi yang penulis dapat adalah seni melukis gua di zaman pra sejarah. Kejelasan seni mural dan street art lebih ditegaskan ketika masa Romawi, untuk mengkritik pemerintahan kekaisaran Roma. 

Pada masa perjuangan dan persiapan kemerdekaan 1945 street art, mural ataupun propaganda digunakan untuk mengobarkan semangat kemerdekaan. Para seniman di zaman itu seperti Affandi, dan teman- temannya sering membuat gambar di tembok untuk mengobarkan semangat dalam menyambut dan mempertahankan kemerdekaan

Politik termasuk salah satu pemicu kenapa mereka perlu menggambar dan melukis tembok dengan tujuan mengkritik pemerintah, melakukan gerakan demonstrasi seperti halnya yang akhirnya bergerak di tahun 1998 ketika orde baru mulai rapuh, demo di mana - mana dan para mahasiswa dan masyarakat perlu media lain selain demo untuk meneriakkan kritikan atau mengritik situasi kondisi politik dengan seni mural atau street art.

Tahun 2000 an muncul komunitas street art yang bergerak untuk mewadahi seniman jalanan daripada kucing kucingan dengan aparat karena pegiat street art sering dianggap penebar keonaran. Street art mulai mendapat tempat akhir  akhir ini dengan semakin banyaknya kampung - kampung berwarna, wajah kota yang berbudaya.

Munculnya lukisan yang menarik dengan nilai - nilai estetis tinggi membuat mural, street art naik kelas. Banyak kafe, restoran, tempat nongkrong, tiang- tiang tol, kolong- kolong tol dilukis untuk memperindah kota. Yogyakarta adalah contoh yang beberapa sudut kotanya dilukisi oleh pelukis.

Kota besar lainnya yang banyak dipenuhi lukisan di area publik, contohnya di New York. 

Umumnya awal mula munculnya street art memang ungkapan protes terhadap kebijakan pemerintah, sebuah sindiran halus yang ditujukan pada penguasa, politisi dengan bahasa gambar. Yang heboh belakangan ini adalah beberapa ungkapan kata - kata graffiti, wajah yang mirip Jokowi matanya ditutup dengan tulisan :404 Not Found(jalan Pembangunan Jaya 1 Batujaya Batuceper Tangerang. Ada yang tahu maksudnya? 

Saya coba mencari referensi yang pas kebetulan ketemu artikel Pepih Nugraha, Founder Kompasiana, menurut artikel itu dikatakan kalimat itu merunut pada kegagalan  sistem pencarian atau operasional web. Alias web yang dimaksud tidak ditemukan dan hanya menemukan kata 404 Not found. Lalu mengapa heboh?

Ada tafsir politik dengan utak atik gatuk gambar presiden dan maksud tersembunyi dari kata yang katanya sih bermaksud bahwa rezim Jokowi, atau menurut pemikiran seniman jalanan itu barangkali merujuk pada Jokowi seorang kriminal termasuk seseorang yang perlu disembunyikan identitasnya dengan membuat matanya ditutup. 

Gambar itu tentu menurut aparat diindikasikan melanggar undang - undang dengan menyasar pada penghinaan pada lambang negara termasuk kepala negara yang wajahnya sangat mirip digambarkan di mural itu.

Seniman bagaimanapun diberi kebebasan dalam mengeluarkan ide. Terutama ide yang diletakkan di ruang publik. Ide - ide yang dituangkan seringkali  bersinggungan dengan politik dan sensitifitas sebuah rezim. Ide - ide itu sebetulnya sah tapi kalau sudah menyangkut body shaming, atau mengarah pada penghinaan pada sosok presiden. Aparat terutama polisi pasti akan cepat bergerak untuk mencegah munculnya banyak persepsi di masyarakat.

Saya yakin perintah penghapusan itu bukan berasal dari Presiden Jokowi. Jika akhirnya sensitifitas isu membuat gambar dihapus itu karena aparat berkewajiban mengantisipasi ekses dari gambar tersebut. 

Mungkin di satu sisi muncul kritikan keras. Banyak yang menangkap salah kaprah arogansi aparat dengan menganggap bahwa Jokowi dan jajaran di bawahnya sensitif mirip seperti orba yang sedikit sedikit dibredel dan dilarang. La wong ungkapan kebebasan menyalurkan seni kok dilarang.

Benarkah demikian? Pasti Jokowi tidak pernah mengurusi gambar yang menghina dan membuat meme yang memperkusi dirinya. Sudah kebal dengan segala sindiran keras maupun lewat gambar. 

Itu upaya antisipatif aparat agar senimanpun hati - hati dalam membuat gambar yang berpotensi membuat gambaran seakan- akan kepala negara itu seorang kriminal yang tidak peka terhadap penderitaan masyarakatnya.

Membuat mural sejauh tidak mengganggu ketertiban umum, tidak dilarang, bahkan ada sponsor yang membiayai. Tetapi membuat gambar yang menimbulkan persepsi yang bikin gaduh dan cenderung mendiskreditkan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan itu tugas aparat.

Isi kepala masyarakat berbeda dan akan sangat banyak hujatan, gugatan yang multi tafsir. Menurut penulis sih sebaiknya seniman jalanan, yang melukis dengan tujuan memberi kritikan sosial, menghindari sisi sensitif, pasal penghinaan terhadap lambang negara.

Jokowi mungkin tidak akan marah, dan penulis yakin beliau tidak marah. Tapi sopan santun ketimuran tetap harus dijunjung tinggi. Apakah sebegitu parahnyakah Jokowi sampai ada yang menggambarkan dengan gambar karikatur seperti itu?

Semoga saja para pegiat seni mural, graffiti dengan istilah kerennya street art, bisa lebih panjang lagi dalam berpikir. Aparat pasti tidak ingin kecolongan dan berharap mural yang tampil meskipun berisi kritik adalah kritikan yang cerdas yang tidak sampai menimbulkan kegaduhan dan multitafsir.

Pada para seniman ( kebetulan saya pernah melukis mural, meskipun hanya di lingkup sekolah ) tetap salurkan kreatifitas anda, namun hal - hal sensitif seperti gambar yang menjadi heboh itu sebisa mungkin dihindari. Kalau bicara politik saat ini memang lagi ngeri - ngeri sedap. Presiden mungkin sudah kebal terhadap segala caci maki dari lawan politik dan sebagian masyarakat yang cenderung menganggap presiden sekarang ini terlalu sensitif sedikit- sedikit dilarang.

Tetapi apakah benar bahwa Pemerintahan Jokowi sensitif dan gampang menghukum mereka yang mencoba mengkritik? Menurut persepsi penulis, tidak juga. Karena kondisi bangsa yang tengah fokus menghadapi wabah covid, banyak bidang lain sering tidak diperhatikan. Yang diperlukan saat ini adalah kesabaran masyarakat untuk menghadapi ujian.

Nyatanya pemerintah sudah sangat banyak mengeluarkan dana untuk mengantisipasi lonjakan covid dengan menggratiskan perawatan medis pasien corona, membantu menyediakan vaksin gratis, menyediakan wisma atlit dan sejumlah gedung untuk isoman. Mendorong masyarakat sadar pentingnya protokol kesehatan.

Para seniman cobalah fokus untuk membantu menyadarkan masyarakat untuk lebih sabar dan tetap semangat meskipun dampak PPKM teramat berat bagi masyarakat.  

Demi kepentingan bersama, penderitaan, kecemasan, semakin tipisnya kepercayaan masyarakat akibat berlarutnya pandemi diberi ilustrasi menarik untuk tertawa, terhibur dengan gambar tersebut, dan sejenak melupakan lapar. Salam Merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun