Spanduk terpajang di mana- mana di tengah situasi keprihatinan masyarakat akibat Pandemi yang berlarut - larut. Lantas apakah diam saja menyaksikan para politisi tidak peka terhadap situasi dan kondisi. Malah banyak dari mereka yang aji mumpung. Masalah mencari nama tidak bisa ditunda dan strategi pansos sudah dijalankan untuk mengambil start awal mengenalkan programnya kepada rakyat.
Apakah masyarakat peduli? Apakah masyarakat lantas terkesima dengan munculnya spanduk- spanduk besar pada politisi. Kalau saya melihatnya hanya tersenyum dan berkata. "Biasa saja!" Mengapa. Sebab sepak terjang politisi di saat pandemi masih mengancam tidak menarik sama sekali. Lantas apakah banyak yang seperti saya? mungkin banyak mungkin sedikit. Bagi politisi sah saja mulai berharap dukungan rakyat untuk menjaring simpati masyarakat menjelang tahun 2024, itu setrateji (stategi)) taktik politisi agar ia dikenal.
Begini orang tidak tahu si anu itu sebetulnya orang penting dibalik majunya partai blab la bla, ia orangnya pendiam, tidak ingin menunjukkan betapa pentingnya ia mata kader politik nasional. Maka ia harus dan kudu untuk memaksa tiap kepala daerah khususnya yang terpilih dengan kendaraan partainya.
Instruksi ketua umum partai jelas, kamu setia tidak pada partai, kalau setia wajib memberi ijin daerahnya memasang besar -- besar baliho yang calon pemimpin bangsa. Berapa biaya politik yang harus dikeluarkan. Tidak usah dihitung. Itu merupakan upaya balas jasa atas peranan partai yang bisa membuat pemimpin daerah bisa duduk di kursi kekuasaan daerah, entah sebagai gubernur, bupati, lurah atau ketua DPRD. Satu yang harus kalian lakukan laksanakan perintah.
Sah -- sah saja sih membangun brand atau mengenalkan diri sebagai sosok calon pemimpin. Tapi bagi sebagian masyarakat pasti setuju mengatakan aya aya wae, ono ono bae, ada - ada saja politisi ini. Harusnya biaya untuk mencetak spanduk dan menyewa billboard bisa dialokasikan untuk membantu masyarakat yang masih dalam resiko tinggi covid.
Lagian sudah kuno merayu masyarakat dengan spanduk besar. Percuma masyarakat juga sudah tahu politisi mana yang alami atau hanya sekedar pencitraan. Mau berapa ribu baliho, spanduk kalau tidak tertarik dan tidak suka dengan sosoknya ya percuma. Mau keturunan orang beken dan terkenal kalau dirinya bukan sosok idola.Â
Namanya hanya menjadi bahan pergunjingan bukan bahan rujukan untuk menjadi salah satu kandidat pemimpin masa depan. Lagipula masyarakat sudah cerdas, siapa pemimpin yang melayani dan siapa pemimpin yang aji mumpung, melakukan pansos di saat situasi tidak tepat. Mau memasang sampai ke bulanpun  bila masyarakat kurang simpatik ya siap- siap saja gigit jari.
Mencari popularitas di tengah keprihatinan saat ini hanya membuat masyarakat semakin tidak simpatik. Mereka para politisi harus mempunyai strategi jitu untuk mendapat simpati masyarakat. Bekerja saja membantu masyarakat yang tengah kebingungan dengan situasi pandemi yang membuat banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, kehilangan sumber pendapatan.Â
Tekanan ekonomi, sosial dan keterbatasan pergerakan membuat masyarakat terjebak dalam tekanan psikologis dan juga krisis finansial. Lebih elok membantu langsung masyarakat dengan merapatkan barisan saling membangun solidaritas untuk bisa menghadapi krisis bersama- sama. Membangun kekompakan, membangun saling respek.Â
Tugas politisi bisa menjadi jembatan atau sedikit membantu keuangan dengan pemberdayaan kemampuan masyarakat menghadapi krisis.Â
Kalau politisi peka mereka akan terjun di tengah masyarakat untuk memperketat protokol kesehatan, ikut disiplin mematuhi peraturan sehingga PPKM, pembatasan - pembatasan segera berakhir. Kalau masyarakat kompak dan sadar akan pentingnya pencegahan munculnya kluster baru covid 19 kekompakan itu yang utama.
Bukan malah membuat isu- isu yang meresahkan yang membuat situasi dan kondisi semakiin ruwet. Menyebar hoaks bahwa pandemi hanyalah konspirasi, bagian dari strategi pemerintah menakut- nakuti masyarakat. Bagaimana logikanya.Â
Pemerintah sudah keluar banyak untuk membantu masyarakat, menalangi biaya kesembuhan mereka yang terjangkit covid, terpaksa membuat kebijakan tidak populer untuk mencegah wabah semakin parah.Â
Tetapi kenyataannya banyak masyarakat tidak taat aturan, termakan hasutan, termakan oleh berita yang berseliweran yang ternyata omong kosong belaka. Ujaran kebencian menyeruak, banyak yang akhirnya lebih suka menanggapi kata- kata nyinyir dari oposisi.
Oposisi saat ini kadang konyol, menciptakan antagonisme dengan memanfaatkan wabah untuk memojokkan penguasa atau lawan politiknya. Seringkali politisi memanfaatkan agama untuk membangun dukungan dan agama yang seharusnya menjadi pendamai dan penyebar kebaikan terkadang dan sering menjadi biang konflik.Â
Para pemuka agama ( oknum tertentu ) malah membuat statemen menyesatkan sehingga lebih mempercayai upaya pencegahan menjadi percuma saat para pemuka agama itu lebih mengedepankan ego daripada kepentingan bersama.
Contohnya ketika ada larangan beribadah di tempat ibadah, ada beberapa pemuka agama menentang keras dengan dalil dan tafsir yang seakan mengandung kebenaran mutlak. Akibatnya banyak orang tidak patuh dan cenderung menggugat kebijakan pemerintah yang kalau dipatuhi bersama badai pasti cepat berlalu.
Kini saat kepatuhan dilanggar dan ada bom penngkatan penderita dan korban wabah, tudingan malah dialamatkan penentu kebijaksanaan. Mereka menganggap pemerintah tidak becus mencegah terjadinya peningkatan korban.Â
Seharusnya masyarakat introspeksi, apakah semua salah pemerintah. Apa yang terjadi ketika jauh - jauh hari pemerintah melarang mudik tapi banyak masyarakat dengan bangga melanggarnya?Â
Mereka tidak menyadari munculnya kuster baru wabah covid saat mereka pulang kampung. Daerah yang semula aman menjadi zona merah penularan covid. Daerah- daerah yang menjadi daerah tujuan mudik menjadi kluster baru wabah dan banyak korban bertumbangan, korban meninggal pun meningkat tajam.
 Para politisi, pekalah. Berhenti sejenak membuat blunder. Mari bersama- sama dulu menyatukan visi untuk menghentikan wabah. Beri bantuan menyebarkan vaksin, terutama di daerah- daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Vaksin itu sangat berguna untuk membangun imun dan bila prosentasi penduduk yang mendapatkan vaksin sudah lebih dari 80 % lebih maka masyarakat lebih nyaman bekerja di luar dan menggeliatkan kembali perekonomian yang sempat terpuruk. Sabar sedikit, toh masyarakat akan mencatat jasa politisi. Bukan sekedar perusuh, tetapi tercatat sebagai penyumbang utama pencegahan wabah itu khan lebih baik daripada gencar membangun nama dengan pemasangan spanduk di mana- mana.
Maaf masukan saya ini hanya suara lirih dari angin yang berhembus dari sisi masyarakat. Mungkin bagi para politisi hanyalah omong kosong. Mereka jauh lebih pandai dan hal strateji, mereka lebih cerdas dalam pemikiran global, tapi toh apa salahnya mendengar suara lirih tersebut, Barangkali berguna. Salam Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H