Apa yang bisa ditawarkan pada sungai yang dangkal dengan tumpukan sampah di mana-mana? Polusi merebak dan banyak orang buang sampah sembarangan. Kalau ingat situasi kota, rasanya bathin meronta dan ingin pulang untuk kembali bahagia saat menyusur sungai yang jernih.
Tapi sekitar dua puluh sampai sepuluh tahun belakangan saya menemui banyak perubahan. Sungai tidak lagi seelok dulu dengan bebatuannya yang besar-besar. Yang muncul, banyak lembah sungai rusak diterjang banjir lahar dingin besar beberapa tahun lalu, sawah-sawah yang ada di tepi sungai lenyap dan nostalgia untuk merasakan sayuran slada air sungguh susah diulangi. Ada juga yang muncul adalah tumpukan batu-batu yang sudah dipecah, tambang pasir yang muncul di sepanjang sungai, truk dan peralatan beghoe serta pengeruk pasir dengan mesin penyaring menyeruak membelah sawah.
Yang masih membuat kangen desa kami adalah untungnya banyak seniman desa yang masih peduli budaya sehingga masih sering menonton hiburan rakyat itu di wilayah kami karena ada pegiat budaya yang dengan gencar menampilkan kesenian melalui You Tube dan broadcast di facebook. Paling tidak rasa kangen masih bisa terobati meskipun perubahan budaya dan kebiasaan itu memang tidak mungkin tidak berubah.
Bicara tentang sungai saya jadi kadang mbrebes mili, kangen dengan suasana desa. Untungnya kerinduan pada desa itu terobati ketika memutuskan tinggal di daerah penyangga yang cukup jauh dari Jakarta. Jonggol yang masih bisa menemui banyak pematang sawah di sekitar lingkungan perumahan.
Hai sungai Pabelan rasanya saya ingin melompat, terbang dan meluncur ke tempatmu, sayangnya sekarang sedang PPKM, maka untuk mengobati kerinduan saya seringkali membuka grup media sosial yang mewartakan suasana desa tempat tempat kelahiran di Lembah Merapi dan Merbabu. Di sebuah desa di wilayah Magelang, Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H