Pada siapa saja yang bernama politikus, mungkin tidak semua tetapi sebagian besar kukatakan mereka akan setia ketika negara dalam puncak kesuksesan, namun dengan berbagai cara mereka akan menjadi oposan dan pengkritik saat negara tengah genting dan limbung. Banyak brutus dan sosok yang hanya senang dan ikut berpesta ketika negara dielu- elukan, merasa berjasa hingga ikut berbicara dalam banyak event untuk mendukung, namun begitu negara tengah terpuruk dan sedang genting karena wabah dan limbung karena ekonomi buru - buru mereka menyeberang dan menjadi penentang, oposan dan menghindar masalah.
Ketika negara genting banyak politisi tunggang langgang melarikan diri bersembunyi menghindar bahwa mereka sesungguhnya ikut andil dalam kegentingan. Kalau negara lain politisi, masyarakat negara bersatu berperang melawan pandemi di sini para politisi sering memanfaatkan kondisi untuk keuntungan pribadi, mengaduk aduk emosi masyarakat yang tengah limbung merasakan wabah penyakit yang tidak segera menghilang. Malah ada sebagian masyarakat tidak percaya wabah sehingga memprovokasi untuk melawan pemerintah, melawan negara dan menjadi gaduh.
Saat ini ujian benar- benar dirasakan oleh Indonesia, tetapi semakin lama menderita maka rakyat semakin terpecah, salah satu masalahnya karena masalah ekonomi, masalah ancaman kemiskinan rakyat jelata akibat tidak bebasnya mereka bekerja karena ada pembatasan seperti PPKM. Masyarakat, politikus oposan saling tuduh, saling hujat.
Banyak celetukan muncul pemusik bicara tentang medis dan penyakit, dokter bicara tentang klenik dan takdir, pemerintah bicara tentang religiusitas dan kelayakan berdoa di tempat ibadah padahal situasi gawat jika ada sekumpulan orang berkerumun. Politikus bicara tentang etika dan spiritualitas. Semua centang perenang akibat chaos karena wabah pandemi.
Sementara banyak negara di belahan lain sudah lepas dan bisa bernafas lega karena mereka satu hati, satu rasa dan satu tujuan dan melepaskan ego melupakan rivalitas, padahal mereka bukan negara spiritualis, ada pola pikir mendasar bahwa dalam hal genting karena wabah semua rakyat harus bersatu menghilangkan dan memutus persebaran virus.
Di sini siapapun pemimpinnya akan dihujat dan disalah- salahkan. Pemimpin akan menanggung beban berat karena meskipun sudah mati- matian memberi bantuan selalu saja ada orang yang tidak puas. Semuanya ingin lebih dan mendapat prioritas. Jarang orang mau mengalah padahal jumlah penduduk Indonesia termasuk yang terbanyak di dunia.
Keimanan dan spiritual boleh unggul namun jika tidak satu tujuan, tidak satu rasa dan satu titik dalam menghadapi wabah percuma karena semakin lama semakin sering munculnya centang perenang pendapat yang beredar di masyarakat hanya akan semakin membuat negara mengalami krisis.
Peningkatan jumlah korban virus ditanggapi macam- macam. Banyak yang menghujat pemerintah karena merasa mencla - mencle. Ibaratnya esuk dele sore tempe, kemarin bicara begini besok berbeda lagi. Melakukan blusukan untuk membantu korban dituduh pencitraan, diam dan menyerahkan penanganan pada tim dianggap plonga - plongo  dan apatis terhadap penderitaan masyarakat.
Bagaimanapun menjadi pemimpin harus siap dihujat dan diberi banyak label. Di tengah kekalutan banyak yang memanfaatkan untuk mengobok - obok air yang sudah keruh menjadi semakin pekat. Yang tertawa lepas dalam kecemasan adalah politikus oposan, mereka bertepuk sorak atas wabah yang tengah terjadi dan berlagak "Nah lo, enak zamanku To". Dulu masaku masyarakat enak dan tidak seburuk situasi saat ini." Bla- bla bla itulah politikus, mereka memanfaatkan suasana genting untuk berakrobat dan mencari nama.
Yang disayangkan di lingkaran pemerintah seakan - akan banyak pejabat yang ingin menjadi diri sendiri, memanfaatkan situasi untuk menunjukkan ini lo saya yang berjasa. Berbicara bukan atas negara, bukan atas presiden dan pemerintahan tapi untuk menunjukkan saya layak untuk menjadi pemimpin masa depan. Pemerintah pusat, daerah, dan lingkup pemerintah terkecil seperti kepala desa dan kepala dusun tidak satu hati tapi lebih memanfaatkan situasi untuk menaikkan citra untuk kepentingan diri sendiri. Maka terkesan tidak ada kekompakan antara pemerintahan pusat dan daerah.
Manuver politisi semakin memprihatinkan. Ada visi yang mengecewakan yang akan membuat negara, pemerintahan semakin terancam. Ini adalah sharing saya sebagai penulis, lama mengamati, lama berefleksi untuk mengambil kesimpulan tentang kiprah politisi. Padahal sebetulnya menurut sejarahnya politisi itu sebuah panggilan seseorang untuk ikut memperbaiki sistem, merapikan tata pemerintahan, meluruskan arah pemerintahan, memperbaiki peraturan sehingga muncul negara yang tertata dan teratur karena kiprah politisi yang berdedikasi dan mempunyai sifat melayani.
Di sini banyak politisi masuk lingkaran kekuasaan dengan cara - cara yang bertentangan dengan visi politisi, sering memperkeruh dan malah membuat tata kelola negara menjadi centang perenang. Itu semua karena beberapa oknum politisi yang telah memberi kesan buruk tentak politik. Saat ini banyak masyarakat begitu alergi mendengar kata politik dan politisi. Banyak yang mempunyai pandangan politisi itu busuk, dengan prinsip tidak ada kawan yang abadi yang ada adalah kepentingan yang abadi.