Saya pikir nabi zaman dulu tidak pernah terpikirkan ia akan abadi dalam catatan sejarah dari abad ke abad. Yang ada dalam jiwanya adalah menebarkan kebaikan dan kebajikan. Tetapi beda dengan nabi - nabi palsu abad ini yang keinginan dunianya jauh lebih besar daripada keinginan menebarkan kedamaian tanpa membuat orang - orang lain merasa terteror. Malah isi - isi ceramahnya semakin mencekam karena beralur kebencian bukan merayakan kebersamaan dan menebar damai tanpa sekat.
Aku terbang mengepak sayap melintas langit, kembali masuk lorong, hingga kemudian sayap menyusut dan lenyap di buku - buku punggung. Kembali menjadi manusia yang harus merasakan kembali kesunyian, sakit hati, yang sering merasakan jiwa meronta- ronta menyaksikan derita tak bertepi. Namun dalam derita terselip rasa bahagia ketika orang lain masih bisa tersenyum meskipun aku harus menahan kelu untuk melupakan dunia khayalanku yang sempat membuat diriku merdeka sepenuhnya.
Seperti halnya rasa, hidup adalah sebuah pilihan. Hidup yang sebenarnya memang harus bisa merasakan resah, gelisah, cemas dan ketakutan, bukan hanya khayalan - khayalan saja yang muncul sebagaimana penyair yang berenang dalam dunia kata.
Dalam terkaman rindu kuingin sekali sekali mengepakkan sayapku lagi, terbang dalam bebasnya dunia khayali. Ah, tiba tiba aku tergeregap dalam mimpi. Sebuah teriakan keras membangunkanku.
"Bangun, pemalas ! cari uang, kalau tidur melulu, keluargamu mau makan batu dan kata - kata saja!"
Hahaha... Inilah kenyataan sebenarnya, selamat kembali di dunia nyata kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H