Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Agama Semakin Dominan Mengapa Kemarahan Semakin Menjadi "Viral"

17 Mei 2021   11:01 Diperbarui: 17 Mei 2021   11:22 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir - akhir ini hampir setiap hari melihat di tayangan televisi dan berita di televisi banyak orang  marah yang sengaja diviralkan untuk menarik perhatian penonton dan netizen. Ketika TPU ditutup di hari Lebaran menyebabkan banyak orang ngamuk,  marah akhirnya berakhir rusuh dan destruktif. Kemarahan itu tampak ironis muncul saat hari keagamaan, setelah selama 30 hari puasa menahan lapar dan nafsu kemarahan.

Keberingasan manusia tidak sepadan dengan hari di mana orang - orang seharusnya saling mengucapkan maaf, saling mewartakan kedamaian dengan bersilaturahmi. Ketika banyak orang yang biasa nyekar atau ziarah kubur namun karena keadaan darurat, munculnya wabah covid-19 dan banyak orang menerima kebiasaan baru, dengan ditutupnya makam membuat emosi meledak dan banyak orang yang seharusnya menampilkan wajah damai menjadi beringas.

Dominannya Agama Belum Mampu Meredam Kemarahan Manusia

Agama yang dominan saat ini ternyata belum mampu mengubah manusia yang sering emosi, marah, berujung rusuh dan malah saking kecewa dan marahnya merusak fasilitas umum. Mereka lebih menekankan kebiasaan ziarah sebagai kewajiban dan ketika kewajiban dihalangi maka mereka merasa ditekan dan tidak diberi ruang kebebasan. Padahal larangan itu untuk kepentingan bersama, demi keselamatan, demi pencegahan penyebaran virus yang belum ada penangkalnya secara akurat. Malah virus bisa bermutasi membentuk sasaran baru, semakin mengerikan, semakin mematikan.

Namun melihat kebiasaan masyarakat yang susah dinasihati, susah diatur membuat penyakit, wabah tidak mudah diatasi. Media sosial secara langsung telah membuat berita apapun yang ada di masyarakat cepat tersebar. Sedikit- sedikit viral, sedikit- sedikit ditampilkan di media sosial, bahkan adegan mengintip yang seharusnya bukan tayangan mendidik kadang menjadi sebuah tayangan lucu- lucuan.

Banyak orang ingin eksis, mendapatkan uang dari munculnya peristiwa viral sehingga kadang menghilangkan budaya malu yang semula ada di masyarakat berbudaya ketimuran. Semuanya menjadi vulgar bahkan dengan baju rapat dan bernuansa agamapun wajah marah dan omongan kasar tidak bisa dikendalikan.

Menjadi PR dari pemuka agama untuk mendinginkan hati manusia, tidak gampang marah, tidak gampang emosional dan tidak mudah tersulut oleh bacaan, tayangan dan narasi - narasi yang membuat manusia menjadi beringas dan mudah mencaci maki.

Yang parah malah banyak pemuka agama, menampilkan wajah keras, mencontohkan kebiasaan berkata kasar dan memberi masukan ajaran dengan kebohongan demi kebohongan. Padahal banyak pemuka agama seperti Muhammad Quraish Shihab yang bisa menentramkan hati pendengarnya.

Tugas pemuka agama menenangkan dan menerangkan tentang menahan diri, mengikuti prosedur dan aturan untuk kepentingan bersama. Memang berat harus menahan diri terutama hasrat mudik, hasrat  berziarah, hasrat berlibur di puncak, pantai dan tempat -- tempat ramai.

Momentum lebaran, momentum hari suci keagamaan harusnya mendorong manusia untuk introspeksi, meneliti diri sendiri, berdialog dengan diri sendiri untuk memikirkan orang lain dan mencegah sebuah wabah berkembang. Kuncinya ada pada manusia. Jika kesadaran terbangun karena toleransi, simpati dan empati manusia menjadi lebih peka. Mau saling menghargai dan mau mengalah demi kepentingan bersama.

Munculnya media sosial sering menjadi pemicu manusia menjadi lebih egois, menampakkan kemarahan di media sosial yang setiap orang memilikinya. Mereka menyenangi berita viral, bahkan berita konyol yang seharusnya tidak layak tayang malah menjadi bahan pembahasan dan akhirnya bisa mengantarkan seseorang terkenal gara- gara berita viral yang sebetulnya tidak layak secara adat ketimuran tersebut.

Namun begitulah suasana saat ini, yang viral - viral itu yang lebih digemari, termasuk sinetron yang sensasional dan akhirnya oleh sejumlah orang penggemarnya dijadikan   trendsetter dengan  kebiasaan meniru gaya selebritis membuat hubungan dengan pasangan menjadi renggang, pemaksaan hidup konsumtif, dan gampang membuat status - status yang menampilkan aktivitas pribadi, membuka borok kebiasaan rumah tangga yang seharusnya menjadi privasi.

Kebiasaan marah orang - orang di tempat umum sekarang ini mudah ditemui di media sosial, marah pada petugas keamanan, marah pada pengelola pariwisata, marah pada keyakinan lain saat memberi komentar di media sosial, padahal banyak orang yang salah menempatkan kemarahan. Banyak tayangan kemarahan karena kesalahan sendiri. Namun kebiasaan buruk kadang malah menjadi benar karena diikuti oleh banyak orang. Jadi benar jika dikatakan sekarang ini era post truth. Yang salah bisa menjadi benar karena dilakukan banyak orang. Yang baik semakin tenggelam dan akhirnya ikut arus mengikuti yang salah.

Pejabat jujur dan benar -- benar tulus malah sering dituduh pencitraan, sedangkan yang kasar dan blak- blakkan karena banyak pengikutnya malah dikagumi dan diikuti. Zaman saat ini bisa dikatakan serba terbalik. Orang baik lebih sering hidup dalam kesunyian dan kemiskinan sedangkan orang jahat bergelimang harta dan banyak pengikutnya.

Banyak orang melakukan cara konyol untuk mendongkrak popularitas. Setelah terkenal mereka semakin mudah mencari uang meskipun harus berdiri diatas penderitaan orang lain. Ada manusia yang sengaja dikorbankan untuk membangun branding seseorang, sengaja difitnah agar muncul kemarahan yang berujung dikorbankannya mereka yang lemah untuk membangun nama menjadi viral, namun selincah- lincahnya mereka bersembunyi akhirnya akan terkena imbasnya juga, niat baik tidak selamanya mendapat tempat.

Banyak yang percaya bahwa Covid -19 itu tidak ada hanya rekayasa pemerintah dan mereka cenderung melanggar prokes namun akhirnya mereka terkena batunya, setelah dinyatakan positif dan merasakan betapa sakitnya menderita sakit karena Covid dan bahkan baru terkena sakit, penyakit semakin parah karena disertai penyakit penyerta dan akhirnya meninggal karena covid.

Semakin dominan agama saat ini semakin penuh tantangan diterima oleh manusia. Semakin pengin mendalami dan mencoba mengikuti budaya yang diajarkan agama semakin sering muncul pergesekan antar manusia. Padahal tujuan agama- agama pasti membangun kenyamanan, kedamaian dan kerukunan, namun sekarang yang terjadi lebih sering agama menjadi pemicu perpecahan.

Saya tidak hendak mengulik kekurangan agama, namun malah menjadi bahan introspeksi agar semakin beragama, manusia semakin sadar untuk tidak gampang emosi, tidak gampang misuh atau mengumpat, tidak gampang membuat status provokatif baik di instagram, tweeter, telegram, facebook. Tidak mudah juga menayangkan video vulgar yang memberi gambaran kekerasan. Tidak mudah memviralkan tayangan yang tidak layak tonton.

Hanya tidak mudah sekarang menasihati teman, saudara, rekan yang aktif di media sosial. Yang bisa dilakukan hanyalah mencoba mulai dari diri sendiri dulu untuk menahan diri untuk tidak berkomentar yang bisa mengundang kemarahan. Paling tidak ya menulis di status yang membikin orang tenang, nyaman dan saling respek. Itu saja. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun