Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tengku Zulkarnain, Sapri, Mudik dan Kadar Akhlak Manusia Indonesia Era Media Sosial

12 Mei 2021   06:33 Diperbarui: 12 Mei 2021   17:47 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah berita kematian sesungguhnya hal yang biasa didengar setiap harinya, selalu ada yang datang (natalitas) dan yang mati (mortalitas). Baik kematian karena sudah tua, karena penyakit atau karena terkena wabah semacam Covid. Hanya ketika kematian itu menyangkut orang terkenal semacam Tengku Zulkarnain (Ustad dan kebetulan beliau adalah orang yang sangat aktif menyerang kebijakan pemerintah Jokowi dan Ahok. Selalu menulis di tweeternya hal hal isu sensitif yang membuat terkesan Jokowi selalu salah di matanya, Sedangkan Sapri dikenal sebagai komedian dalam sebuah acara Pesbukers di ANTV dengan bintangnya yang terkenal Rafi Ahmad dan Ruben Onsu).

Ada linangan kesedihan para teman dan sahabatnya di acara yang akhirnya membuat acara yang membuat Sapri terkenal, meskipun kenyataannya pada acara itu ia lebih sering ditempatkan sebagai manusia yang dibui dan teraniaya, dilempar sandar diguyur bubuk putih. Itu peran lucu - lucuan yang dimainkannya. Namun dari situ acara mengenang jejak karir bang Sapri ada orang - orang yang mencintainya, ada orang yang merasakan betapa mereka kehilangan orang yang humble, pandai pergaul tidak memilah - milah orang dalam bergaul. Sedangkan di sisi lain ketika mendengar Meninggalknya Tengku Zul seperti terbelah antara yang bersuka cita atas berkurangnya "musuh" pemerintah dan kontroversi rekayasa bahwa kematian para ulama itu rekayasa pemerintah. Atau bahkan jejak media sosial mengatakan bahwa komentator sering kebablasan dalam membahas rekam jejak seseorang.

Dalam sejarahnya Tengku Zul memang kontroversial, kalau seandainya masih hidup pasti akan selalu berita ramai tentang orang - orang salawi. Semua salah Jokowi. Sebagai kepala pemerintahan apapun gerak dan kata- kata Jokowi selalu dipantau, akan sangat bersuka cita jika seandainya Jokowi yang terkenal dengan kehati- hatiannya tidak mudah terpancing oleh isu yang beredar salah ucap dan salah dalam menerapkan kebijakan. Ini terjadi sebelum Tengku Zul meninggal dengan "kontroversi " makanan Khas Kalimantan Bipang Ambawang yang ternyata adalah makanan yang bahan dasarnya adalah Babi.

Padahal Jokowi hanya menyebutkan sebagai oleh - oleh  khas daerah. Namun berkat Bipang para lawan politik, kaum salawi menjadi girang karena mereka mempunyai mainan baru. Tidak peduli bulan puasa, tidak peduli bahwa sesungguhnya di bulan Ramadan segala nafsu membuli, menggibah, mengolok - olok harusnya berkurang, namun ternyata berkat teknologi canggih yang notabene mungkin berasal dari negara (komunis RRC, negara sekuler Korea, Jepang) jari - jari para komentator amat ringan menyalahkan tim kepresidenan dan ujung- ujungnya Jokowi pula.

Di seputar isu bipang itu tampak benar seolah - olah Jokowi itu penista Islam, tidak menghormati bulan suci dengan menyebut kata bipang yang bisa berarti babi panggang atau makanan ketan kering yang dalam istilah lain di Jawa namanya Jipang. Aneh juga selalu saja manusia pintar mencari celah, terutama para politisi yang memang merasa panggungnya, rejekinya dirampas oleh kebijakan pemerintah.

Dalam hal mudik inilah yang menjadi puncak kebingungan. Pemerintah melarang mudik semata- mata untuk mencegah kasus merebaknya covid. Kita bisa belajar dari India yang terkena Tsunami Covid 19, Juga Malaysia yang sampai melockdown  wilayahnya untuk memutus rantai penyebaran virus. Tapi menanggapi kebijakan Pemerintah ternyata "musuh" Jokowi masih bisa mencari celah untuk balik mengkritik dengan datangnya para WNA China yang sesungguhnya datang karena visa kerja. Mereka mencecar Jokowi dan pemerintahannya tidak peka, melarang mudik tapi membuka jalan bagi WNA terutama China masuk wilayah Indonesia.

Siapapun pemerintahan sekarang memang harus siap menghadapi keputusan tidak populer, siap dimaki, dan siap dimusuhi oleh kaum aktivis jemari. Selalu ada yang salah dan tidak nyaman dalam mengambil keputusan tidak populer. Mudik adalah tradisi. Sudah setiap tahun budaya mudik selalu dilakukan. Mereka merindukan bertemu keluarga, berkumpul di hari lebaran. Namun dua tahun belakangan ini pemerintah mengambil kebijakan untuk membatasi mudik. Bukan apa - apa. Merebaknya virus Covid 19 telah menguras banyak anggaran belanja negara. 

Perawatan, pencegahan dan upaya keras pemerintah untuk memutus rantai penyebaran covid berbenturan dengan sifat ngeyel dan tidak mudah tunduk dengan kebijakan pemerintah. Padahal kalau sakit semua biaya perawatan pemerintah yang menanggung, namun saat melarang mudik pemerintah seperti di pihak musuh dan menjadi lawan bersama masyarakat yang kebelet mudik. Di Bekasi Para pemudik motor tampak emosional ketika disuruh putar balik, ribuan kendaraan akhirnya terkena jebakan macet, tidak bisa bergerak, itu karena hasrat mudik tak terbendung, sementara pemerintah bersikeras melarang mereka untuk tidak mudik demi kesehatan dan demi terputusnya mata rantai penyebaran covid.

Kalau sudah terpapar dan imbasnya seperti India negara bisa lebih gawat lagi, tapi karena tradisi ketidakpedulian masyarakat kumat, mereka merasa pemerintah tidak adil. Apa urgensinya melaran mudik. Kekhatiran pemerintah sebetulnya beralasan, sebab jika covid meledak lagi anggaran negara pasti terkuras lagi. Sayangnya para politisi negeri ini malah senang jika negara bangkrut, mereka girang karena ada kesempatan untuk menggulingkan pemerintah dan bisa masuk dalam lingkar kekuasaan.

Para mafia anggaran dan koruptor yang selama ini terbatasi ruang geraknya tampak antusias menjebak pemerintah sehingga mereka sengaja melihat dan membiarkan pemeriintah diserang rakyatnya sendiri. Inilah suasana negeri ini di era media sosial. Jari jemari para pegiat media sosial amat enteng memaki, mencederai hati nurani, padahal bulan suci bulan Ramadan ini harusnya bukan hanya mengurangi makan dan minum tetapi juga mengurangi niat untuk memaki dan mengolok - olok sesama manusia.

Tampaknya dengan kemajuan teknologi. Budaya gotong royong dan budaya ramah tamah semakin luntur. Masyarakat yang dulu dikenal dengan adab ketimuran yang menjunjung tinggi sopan santun lama - lama lenyap berganti dengan nafsu untuk mengolok- olok. Bahkan pada orang yang sudah meninggal sekalipun.

Apapun rekam jejak Tengku Zulkarnain, berita kematiannya sesungguhnya yang diingat kebaikannya. Meskipun kesal dengan segala celoteh sewaktu masih hidup, marilah kita tutup buku dan sadar bahwa setiap manusia akan sampai saatnya seperti Tengku Zul. Ketika ingat Tengku dalam hidup seharusnya ingat pepatah . Harimau mati meninggalkan belangnya,Gajah mati meninggalkan gadingnya, manusia mati meninggalkan nama dan kenangan kebaikannya. Tengku Zul dan Sapri semoga tenang dalam keabadian.

 Yang masih hidup harus belajar untuk meninggalkan jejak kebaikan agar dikenang  semerbak mewangi bukan meninggalkan bau busuk kelicikan dan kenyinyiran. Semoga Idul Fitri tahun ini kenyinyiran dan nafsu mengolok olok manusia lebur dalam sebuah kemenangan setelah selama sebulan menjalankan puasa. Alangkah lebih indah bila manusia bia mengurangi nafsu untuk tidak saling caci di media sosial dan bersama membangun negara dengan kemampuan masing - masing. Bagi Umat Muslim Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun