Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bersepeda Menjelajah Alam Jonggol

1 Mei 2021   06:49 Diperbarui: 1 Mei 2021   06:53 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana segar di pinggir sawah seputar Jonggol (dokumen pribadi)

Setengah tujuh pagi, saya mengenakan jersey, siap menggenjot sepeda MTB. Setelah mempersiapkan diri dengan melakukan pemanasan, saya berangkat menuju ke arah Barat. Tujuannya dalam angan sih ke pemandian Sodong, namun dalam perjalanan belok arah, saya menyusur saja jalan - jalan desa yang menuju arah TPU Jonggol.

Pewasawan proyek percontohan Institut Pertanian Bogor di Jonggol, daerahnya di pinggiran proyek hutan Sawit desa Singasari Jonggol (dokumen Pribadi)
Pewasawan proyek percontohan Institut Pertanian Bogor di Jonggol, daerahnya di pinggiran proyek hutan Sawit desa Singasari Jonggol (dokumen Pribadi)
Di Jonggol saya termasuk orang baru, belum lama tinggal dan baru beberapa bulan tinggal di perumahan Citra Indah. Yang menarik setelah tinggal di Jonggol adalah bukit bukit kecil yang terhampar, rasa penasaran saya pada alam dan naluri blusukan saya. Tentu saja saya kurang suka jalan normal, yang menarik adalah jalan alternatif kalau perlu menyusur sawah, meskipun dengan resiko ban berbalut lumpur tebal. Tidak masyalah hehehe.

Beberapa Jalan di sekitar hutan Sawit tampak rusak jalannya (dokumen pribadi)
Beberapa Jalan di sekitar hutan Sawit tampak rusak jalannya (dokumen pribadi)
Namun pada tes pertama menyusur jalan berkelok, menanjak, becek, berlumpur ternyata nafas saya sudah megap -- megap. Sudah lama tidak nggowes menempuh jarak jauh membuat nafas menderu, ngap- ngap. Saat jalan menanjak saya lebih sering istirahat, setelah nafas teratur kembali baru meneruskan perjalanan. Untungnya ketika ketemu perkampungan penduduk yang hanya sekitar dua tiga rumah dan menemukan warung, saya mesti istirahat, menyeruput teh, buang hajat di bilik mandi sederhana banget.

Istirahat sejenak setelah menyusur jalan menanjak.(dokumen pribadi)
Istirahat sejenak setelah menyusur jalan menanjak.(dokumen pribadi)
Sepeda berlepotan lumpur tebal (Dokumen Pribadi)
Sepeda berlepotan lumpur tebal (Dokumen Pribadi)
Suasana kampung sepi dikelilingi hamparan sawah luas yang menurut penerawangan saya adalah proyek percontohan dari Istitut Pertanian Bogor. Daerahnya tepat di tepi hutan Sawit desa Singasari Jonggol. Saya menyusur jalan setapak, dengan sepeda yang belepotan dengan lumpur. Setelah pulih tenaga, saya melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang terus menanjak. Ini baru pertama saya lalui, benar- benar luar biasa tapi tampaknya jalan itu pasti sering digunakan untuk trek menantang motor trail, atau pesepeda yang memilih jalan cukup ekstrem.

jalan menanjak berlumpur membuat adrenalin pesepeda diuji (dokumen Pribadi)
jalan menanjak berlumpur membuat adrenalin pesepeda diuji (dokumen Pribadi)
Kalau melirik suasana perkotaan seperti tercermin di perumahan yang termasuk luas dan besar di kawasan Jonggol betapa njomplangnya. Rumah - rumah yang dibangun amat sederhana sekedar untuk berteduh. Namun mungkin beda dengan suasana hati mereka. Meskipun hidup di ibaratnya gubuk sederhana, menyatu dengan alam, sunyi senyap dari hiruk pikuk negeri yang dipenuhi oleh perdebatan politik dan saling jegal dalam hal kekuasaan, tampaknya mereka lebih senang menikmati jengkerik dan larut bersama tanaman  tanamannya yang sebetulnya hasilnya tidak seberapa.

Pemakaman Umum Jonggol (dokumen pribadi)
Pemakaman Umum Jonggol (dokumen pribadi)
Ketika saya putuskan blusukan ke tempat - tempat yang masih alami, saya semakin kagum bahwa alam Indonesia memang luar biasa. Subur dan indah. Melihat hamparan sawah terbentang, melihat bagaimana alam masih memberikan berkah saya hanya khawatir sebentar lagi lahan -- lahan pertanian itu akan segera lenyap, berganti dengan perumahan yang mau tidak mau dipenuhi oleh beton -- beton, aspal dan berbagai bangunan yang melenyapkan kesuburan. Meskipun penghuninya hobi bertanam, namun lama- lama lahan pertanian akan semakin menyusut. Itu pasti, jumlah manusia akan terus bertambah dan mereka butuh tempat berteduh yang nyaman. Maka tanah subur dari petakan petakan sawah semakin tergusur.Apa yang terlihat di pinggiran kota seperti Jonggol mengindikasikan bahwa tekanan modernitas semakin meminggirkan kegiatan alami yaitu pertanian.

Hiasan Batu di Gerbang Pemakaman Umum Jonggol (dokumen pribadi)
Hiasan Batu di Gerbang Pemakaman Umum Jonggol (dokumen pribadi)
Saya sendiri yang berasal dari desa merasa berdosa juga. Sebagai salah satu putra yang lahir dari desa yang sebagian besar hidup dari bertani saya malah pergi ke kota mencari pengharapan baru. Kulit telapak semakin tipis dengan hanya mengandalkan jari dan otak untuk mencari uang. Padahal desa butuh orang -- orang seperti saya yang bisa memajukan desa dengan lahan pertaniannya.

Ya untuk memupus kerinduan saya pada desa saya di Magelang ( karena suasana masih pandemi ) saya terhibur dengan hamparan padi hijau, menyisir jalan setapak, menghirup udara segar pesawahan.

Tidak mengapa belepotan lumpur, sebab tanah gembur itu selalu menginspirasi untuk menulis, sekaligus memuliakan alam.

suasana segar di pinggir sawah seputar Jonggol (dokumen pribadi)
suasana segar di pinggir sawah seputar Jonggol (dokumen pribadi)
Gemburnya tanah, sunyinya alam, walau sesekali terdengar lantunan sholawat dari kejauhan, serta dentuman yang muncul, tetap saja itu sebuah harmoni, sesekali melepaskan penat dan tidak ingin larut dalam perang komentar di media sosial. Atau berita- berita yang membuat emosi meluap. Apalagi membaca komentar dari mereka yang hanya membaca sekilas dari judul dan paragraf, jarang melihat inti dari ajaran sehingga banyak paham keliru berseliweran.

Kalau mau melihat alam ya melihat intinya, bukan hanya gambar - gambarnya. Kalau pengin merasakan bagaimana kontur bumi ya jangan hanya obsesi dari video virtualnya (itu nasihat nurani saya pada kisah permenungan saya suatu pagi) jadilah saya blusukan ke hamparan alam sebenarnya, untuk mengetahui betapa megahnya apa yang terlihat di tengah harmoni alam hijau dengan segala pernik - perniknya.

Terkadang saya sering terlihat bodoh meskipun terlihat pintar ketika ngoceh sebagai penulis blog. Pada titik di mana saya berdiri di tengah alam, saya merasa kepintaran saya luntur oleh mereka pelaku utama pengolah alam yang amat gigih menghijaukan alam dengan segala keterbatasannya. Terimakasih alam yang telah memberi saya kesempatan untuk bisa menyesap udara bersih. Di kota saya  jarang merasakan karena yang terlihat hanya hamparan sawah beton

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun