Artikel ini, mungkin adalah semacam curhatan, rasa lelah, bingung harus mulai dari mana mengubah gaya menulis yang tampaknya sudah jauh dari tren Kompasiana. Kalau ditilik dilirik apa yang tersaji di Kompasiana adalah isu viral yang muncul di media sosial. Mereka yang aktif melirik tren instagram, menengok twitter dan aktif di grup WA dan selalu update isu isu dunia.
Saya tertawa dalam hati, yah saya ini tipe penulis jadul, yang hanya menulis berdasarkan isu - isu lokal. Mau meliput pariwisata atau sosbud saat ini saya belum berani jauh keluar, setelah selama sebulan terpapar covid, mau mencoba kuliner, trauma covid membuat apa - apa takut. Lantas apa yang bisa diceritakan agar menarik dan mampu membuat para pembaca melirik tulisan saya yang receh dan sedikit tertinggal ke belakang saat membahas topik yang sedang ngetren.
Masa, kamu kalah sama para penulis "baru" yang dalam beberapa artikel saja sudah bisa membuat jatuh cinta admin dan akhirnya sering menampilkannya di headline. Nah, sebagai penulis "lama" harusnya kamu mesti tahu apa yang dimau admin. Lho di Kompasiana itu saya menulis berdasarkan ide yang mengalir di otak, saya tidak berusaha menulis yang bukan passion saya, tidak ingin menulis yang di luar jangkauan pikiran. Misalnya saya di suruh mengulas game terbaru. Kalau masalah game terus terang saya bingung menulisnya.
Sebab kalau buka smartphone saya paling sering membuka kompasiana, baru situs berita dan google. Di situs media yang pertama saya buka adalah berita tentang bola, terutama liga Eropa (Waduh sok amat sih, yang lokal bagaimana ? ini masalah kebiasaan mas bro, kalau spontanitas bagaimana lagi, saya memang suka baca berita tentang bola, meskipun jarang menulis tentang bola akhir -- akhir ini).
Di Histori smartphone saya bisa dilihat deretan kompasiana berjejer puluhan hingga ratusan. Â Fokus pada artikel dan melirik artikel kompasiana. Artikel kompasiana memang luar biasa, mencerahkan, sampai saya bingung kok bisa menulis judul dan topik mengagetkan sedangkan saya tidak kepikiran sama sekali. Tidak usah bicara penulis pendatang baru, penulis centang hijau, dan centang biru. Kalau masalah kualitas itu relatif, tapi bisa berbicara sebuah topik dengan detail dan mampu mengurai dengan bahasa tulis yang menarik itu sudah merupakan keistimewaan.
Saya yang secara umur sudah mulai uzur ( 50 tahun sebentar lagi 51) gelagapan menjaring tema -- tema trending zaman now. Saya bertanya pada anak saya yang ABG apa sih media sosial viral yang lagi menjadi bahasan anak zaman now. Tapi dasar otak jadul mau menulis tentang tren terkini, mesti berjumpalitan dan akhirnya menyerah. Biarlah tulisan saya dibaca oleh sedikit pembaca, tidak ingin seperti kompasianer Kevin Chaniago yang tampaknya jago kalau sedang membahas game, sedangkan saya kalau diajak main game alasannya macam- macam, ujung- ujungnya kegiatan menarik saya ya buka -- buka buku lama yang barangkali bisa diulik menjadi tulisan menarik.
Maka bolehlah sebut tulisan ini hanya semacam curhatan dari penulis yang merasa tua untuk bisa mengejar isu - isu terkini. Tulisan recehan yang kadang mengulang- ulang apa yang sudah pernah ditulis orang. Kalau referensi bacaannya cuma dari internet rasanya seperti robot, saya berpikir yang terbaik dan menarik adalah pengalaman nyata, ketika melakukan perjalanan, atau meliput sendiri sebuah peristiwa yang benar- benar dekat dan di depan mata. Ah terlalu idealis.
Di zaman teknologi canggih bahkan penulis nanti bisa jadi kehilangan mata pencarian ketika muncul rekayasa genetik kecerdasan buatan. Membuat artikel bisa dilakukan mesin, alat digital dengan tingkat presisi luar biasa yang mungkin bisa sejajar dengan tulisan Gunawan Muhammad mantan pemred Majalah Tempo, atau pegiat media sosial Eko Kuntadhi, dan Denny Siregar.
Kebodohan saya yang utama ketika akhirnya merasa terpuruk, tersingkirkan, terdepak dalam jajaran penulis gigih yang mampu membuka tabir monotonitas sebuah tulisan menjadi lebih berwarna dengan topik -- topik kekinian.
Dunia saat ini memang luas, akses internet memungkinkan tulisan saya mampir di negara -- negara terpencil. Asal jaringan internet bagus, apapun beritanya bisa masuk dengan sangat cepat. Kalau tidak berusaha bangkit dan berbenah, ya pasti ketinggalan kereta. Yang serba canggih itu harus diikuti paling tidak dipahami, jangan malah antipati dan menutup diri menghadapi perubahan.
Dan karena alasan yang sudah saya tulis di atas itulah saya merasa sedang dalam titik terendah. Saya mesti mampu mengubah bacaan - bacaan selama ini, harus mencoba apa yang dimaui manusia zaman now, kalau menyerah dan cenderung tidak menerima cepatnya perubahan akibat teknologi canggih, ya siap - siap angkat koper dan silahkah hidup di hutan pedalaman yang belum tersentuh modernisasi.
Menjadi manusia zaman now harus selalu siap berubah, mengikuti tren dan pemikiran out of the box, kreatif dan peka pada perubahan. Menjadi Kompasianer itu sebetulnya sebuah kegiatan visioner, sebab manusia dipaksa harus mengerti beberapa istilah, aktif menulis di media sosial, mengolah kata, berdiskusi sehat dan mampu membuktikan bahwa manusia itu punya banyak trik, intrik dan pola pikir yang berbeda dengan robot, ada nurani, ada kecerdasan kognitif yang tidak bisa dilakukan mahluk lain.
Ah sudah curhatan saya, intinya saya memang tengah berpikir keras meninggalkan pola pikir jadul saya dan mengubah perilaku yang semula terlalu idealis menulis dan mencoba melihat pasar gosip yang menyediakan segala isu dan berita viral yang berpotensi pansos.
Dari Semangat Melambat Terus Melompat bagaimana Caranya?
Semoga ketika semangat menulis berada di titik terendah ada lompatan pemikiran yang bisa mengubah cara menulis saya yang jadul menjadi berapi api dengan bahasan tren terkini. Hahaha. Tapi berarti saya mesti minta tolong pada Joki tulisan seperti yang ditulis oleh Bung Felix Tani saat berbicara tentang perjokian. Ah, saya tetap menulis dengan gayaku sendiri masa bodoh yang baca cuma seuprit, yang penting tulisan itu jujur, tulisan penulis sendiri bukan tulisan dari orang lain. Itu menipu diri sendiri.
Kalau berubah, saya harus selalu aktif membaca apa saja dan mencoba lepas dari kepompong kekakuan pola pikir. Silahkah baca tulisan receh saya, kalau sampai di ujung terakhir artikel saya, tidak lupa saya mengucapkan terimakasih, kalau hanya membaca judul langsung ganti dan buka artikel lain itu hak anda. Tugas penulis menulis. Jangan baca kalau tulisan hanya berisi keluhan, sebab kalau mau maju mengeluh dan merengek hanya tipe anak manja yang tidak mau usaha. Kalau mau menjadi penulis tangguh ya harus yakin bisa bersaing ( ini untuk menasihati diri sendiri ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H