Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presden ke-6 Indonesia, menggantikan Megawati Soekarno Putri yang memerintah sekitar 3 tahun saja. Melalui Pemilu langsung Megawati kalah oleh pasangan SBY dan Jusuf Kalla.
Sekilas drama politiknya mirip playing victim di mana SBY yang sebelumnya Menkopolkam merasa tidak mendapat tempat dalam pemerintahan Megawati.
SBY Jenderal peracik strategi di balik layar itu, seringkali membuat pidato yang membuat ibu ibu, masyarakat yang menyukai perwajahan gagah dengan kata-kata tertata dan runtut bertekuk lutut untuk kemudian berpaling pada sosok itu.
Jenderal tinggi besar itu langsung mendapat respon positif masyarakat yang terpukau oleh kegagahannya sebagai Jenderal TNI dan kata- katanya yang selalu terukur dan tertata. Saya waktu itu bukan pengagumnya wong jujur saya memilih sosok lain, tidak perlu saya sebutkan.Â
Era SBY pun mulailah dengan pemerintahan yang menjanjikan dengan berbagai BLT kepada masyarakat dan tentu saja adanya BLT banyak yang kesengsem dengan model SBY. Maka SBY dan Demokratnya melambung sampai terpilih dua kali sebagai Presiden.Â
Tapi di balik kekuasaannya sebetulnya yang lebih lincah adalah Jusuf Kalla. Seringkali ia kalah cepat dalam memutuskan sesuatu. Jusuf Kalla itu seperti Kancil sedangkan SBY banyak mikirnya sehingga kadang harus menunggu lama sampai ada keputusan tegas dari Presiden. SBY malah kadang digambarkan ada di bawah bayang-bayang Jusuf Kalla yang gercep (gerak cepat) dan kadang kurang ajar sering mendahului kehendak presidennya.
Partai Demokrat pesta dan punya banyak proyek yang sering menjadi bancaan wakil rakyat dan pimpinan Demokrat. Tidak perlu dijelaskan. Banyak pentolan partai akhirnya tertangkap tangan diciduk KPK karena politisinya banyak yang terjebak korupsi. Dari Anas Urbaningrum, Bendahara Demokrat, Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng serta masih banyak lainnya. Herannya Ibas yaitu anak kedua SBY Edi Baskoro Yudhoyono lolos dari terpaan tersangka kasus Hambalang.
Ini yang membuat para pentolan Demokrat saat ini terutama yang kecewa dengan dinasti SBY melakukan KLB. Sebab rasanya pucuk pimpinan dan keluarganya susah tersentuh hukum. Pada waktu pemerintahan SBY, KPK mengalami pelemahan sehingga sangat sulit membidik misalnya Ibas atau bahkan yang tak tersentuh.
Sekarang Demokrat tengah bergejolak dengan adanya dua kubu, yaitu kubu KLB yang meminjam Moeldoko Jenderal yang diangkat SBY menjadi panglima untuk dihadapkan pada bekas atasannya. SBY.Â
Moeldoko yang saat ini adalah pimpinan KSP (Kepala Staf Kepresidenan) seakan ditarik dalam perseteruan Partai Demokrat. Dengan adanya Moeldoko memantik isu yang kurang sedap terutama keterlibatan Presiden Jokowi dalam kisruh Demokrat. Benarkah Jokowi terlibat dan ingin melemahkan Partai bentukan SBY? Itulah yang menjadi pertanyaan. Bagi orang-orang Demokrat kubu SBY jelas Jokowi ikut andil dalam kisruh. Maka AHY perlu berkirim surat ke Presiden, meskipun akhirnya tidak dijawab.
Jokowi dengan strategi diam dan tidak menjawab dan menyerahkan mekanismenya pada hukum yang berlaku seperti menggantung masalah kisruh partai Demokrat. Kubu SBY meradang tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dari KLB mereka berterima kasih pada Jokowi dan berjanji jika gugatan menang mereka akan berpihak ke Jokowi.
Jokowi yang susah ditebak strategi politiknya seringkali menjawab kritik dengan simbol-simbol. Ketika SBY gencar menyerang maka Jokowi hanya melakukan tindakan dengan cara melihat proyek mangkrak Hambalang sambil geleng-geleng kepala. Ketika bicara tentang museum kepresidenan Jokowi dengan bahasa visualnya sedang berada di Bendungan Thukul di Pacitan yang notabene wilayahnya SBY.
Bagi sebagian pengamat yang kritis. SBY adalah sebuah sosok yang susah move on dari politik. Ia adalah Jenderal perasa yang selalu ingin terlibat dalam masalah partainya. Ia rela anaknya harus berhenti dari TNI dengan pangkat terakhir mayor untuk melangkah pada politik praktis. Ia melibatkan Edhi Baskoro yang katanya lebih suka bisnis untuk terjun sebagai wakil rakyat dan aktifis politik.Â
Masyarakat seperti melihat berbagai elite partai membangun dinasti politik. Klan cendana, klan Soekarno, Klan SBY dan netizen saat ini sering membicarakan bahwa Jokowi mungkin juga sedang membangun klan politik melalui keterlibatan Bobby Nasution dan Gibran Rakabuming yang terpilih menjadi wali kota di Medan dan di Solo.
Bercerita tentang SBY, seperti bercerita tentang kisah korupsi, kisruh yang rumit, AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) yang harus menanggung beban ketidakpercayaan kader daerah akan kepemimpinan pusat. Kader mbalelo yang diinisiasi oleh KLB di Sibolangit Sumatra Utara.
Akankah kisruh itu akan mendongkrak popularitas AHY atau malah menenggelamkannya. Saat ini ia masih berjarak cukup jauh dengan Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, dan mantan wakil gubernur Jakarta Sandiaga Uno.
Kalau kisruh berkepanjangan dan SBY masih turut campur, maka AHY hanya akan selalu di bawah bayang-bayang SBY. Kalau AHY diberi kewenangan penuh untuk mengatasi masalah dan bisa melewati kisruh dengan strategi politik milenialnya maka namanya akan terdongkrak.
Sebaiknya SBY memang harus berada di belakang layar saja tidak usah baper lalu masuk berusaha tampil di muka publik. Biarlah AHY dengan otak dan pikiran serta stamina politiknya melakukan kontrol dan strategi untuk kembali mempersatukan Demokrat yang tercerai berai. Jika ia bisa melewati kawah candradimuka persoalan ia lulus dan ia bisa bertarung di 2024 atau di periode setelahnya. Jika ia masih mengandalkan SBY ya sumonggo tenggelam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H