Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kenthirisme dalam Seni Sering melahirkan Karya Maestro

11 Desember 2020   11:58 Diperbarui: 11 Desember 2020   12:49 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Kompasiana saat ini tengah tergugah oleh sebuah frasa kenthirisme. Bermula dari Daeng Khrisna Pabichara berlanjut Ke Prof Felix Tani yang bersalam  sapa dengan bahasa luar biasa menciptakan kisah - kisah nostalgia Kompasiana zaman rikiplik yang sering saling sindir dalam artikel. Seru dan menggelitik. Namun saya yang tercatat sebagai kompasiana zaman jadul karena mulai menulis sejak Januari 2010 tentunya susah mengangkat diri untuk selevel dengan dua jagoan itu, mending saya membahas sisi kenthir seniman hingga melahikan karya jempolan.

Banyak seniman yang secara fisik, perilaku / polah tingkahnya keseharian yang boleh dikatakan antik, nyeleneh dan warbiyasa "kenthirnya". Seniman yang antik itu memang antik segalanya, meskipun karyanya boleh dikatakan sebagai karya maestro. Kalau Basuki Abdullah beda orangnya rapi jali, sadar mode dan pintar memadupadankan baju menjadi tampak elegan dan berkelas. Tapi lihat Affandi yang kadang memakai baju sekenanya. Ingat pelukis yang menggelandang di TIM Nashar (Pelukis kelahiran Pariaman Sumatra Barat)yang karya abstraknya menjadi bagian dari totalitasnya sebagai seniman.

Bagi orang awam pasti menilai bahwa mereka bagian dari orang  orang "kenthir" yang susah disandingkan dengan masyarakat biasa. Kegilaan mereka sepadan dengan karyanya. Ingat Vincent van Gogh melukis karya -- karya berkualitas ketika ia berada disekitar orang - orang gila, atau dia sendiri masuk terjangkit penyakit "gila" bagi orang waras dan tidak mengerti jalan pikiran seniman yang sepertinya melebihi zamannya. Ketika akhirnya 100 tahun setelah kematian baru diketahu bahwa pemikiran seniman dan karyanya sangat fenomenal di masa yang akan datang.

Bagi orang awam orang yang dalam tingkah lakunya nyentrik dan terkesan gila dalam bahasa gaulnya kenthir itu adalah orang - orang khusus. Teman - teman saya ketika kuliah sempat mencoba masuk dalam dunia kenthir yang mereka ciptakan sendiri, nyeleneh biar dianggap seniman, grondrong rambutnya malah ada yang sampai gimbal. Dalam lingkup kampus keguruan mahasiswa seni termasuk dalam karegori orang berbeda. 

Berbaju kumal, kadang lupa mandi rambut awut- awutan jarang memegang buku, yang penting bawa kertas, pena dan papan untuk membuat sketsa kalau tiba - tiba ada objek menarik. Terkadang aksi kenthir para mahasiswa seni melahirkan jomplangnya sinisme dari mereka yang biasa berdandan necis dan modis misalnya di jurusan Bahasa Inggris. atau MIPA. Mahasiswa seni terutama seni rupa yang penguk dan dianggap begajulan mendapat cap "O lah cah Kenthir teko ." (O alah anak aneh datang)

Tapi dibalik kekethiran para seniman mereka mempunyai wawasan luas tentang kehidupan, pergaulan, penghargaan pada setiap pribadi dan tidak berjaraknya antar pribadi hanya karena beda keyakinan. Mereka jarang mengenal fanatisme, sebab yang terpenting adalah karya yang cenderung universal.  

Dalam sebuah bacaan yang pernah selintas saya ingat dalam sebuah buku Herbert Marcuse pernah menekankan bahwa seni bisa merombak "yang pedih" menjadi nikmat. Dalam dimensi yang di tekankan Marcuse, Eros mengendalikan agresi, jalan bergerak melalui dunia keindahan. Marcuse berkeyakinan mengenai dimensi kedua berisikan kebebasan kebahagiaan dan pemenuhan. Dalam energi kebebasan akan memproduksi aktifitas.

Nah seniman sering memungut sebuah sikap bebas berarti berbeda dengan yang lain, tidak harus terkungkung norma namun lebih pada pembuktian karya sebagai ukuran bahwa meskipun tampak Kenthir tapi karyanya bukanlah kaleng- kaleng. Ya pantas menyandang kenthir dan nyentrik wong karyanyapun sepadan.

Sama halnya ketika melihat proses kreatif Salvador Dali pelukis beraliran Surealis dari Spanyol. Untuk menghasilkan karya seni yang warbiyasa mereka mesti berekspresimen, melempar kucing lalu dipotret atau dibuat sketsanya, melempar kursi demi melihat sensasi gambarnya hingga sang pelukis itu bisa melihat fakta dari tindakan yang menurut orang awam dianggap diluar kewajaran.

Seniman Nyentrik Salvador Dali . yourtrupagent.com
Seniman Nyentrik Salvador Dali . yourtrupagent.com
Namun itulah Kekentiran seniman bisa jadi karena ia ingin mendapat gambar yang berbeda, menghasilkan sudut pandang yang tidak biasa sehingga melahirkan keindahan yang baru dipahami setelah mengerti proses kreatifnya.

Sekarang ini melihat fenomena politik rasanya masyarakat menjadi kenthir sendiri, tingkah para elite yang agung dalam berpakaian, mahal dalam asesoris baju dan penampilannya tidak sebanding dengan kewarasannya yang ternyata nyolong pethek. Ia begitu tampak santun dan anggun tetapi dibalik kesantunan otaknya bergerak untuk menguras hak - hak rakyat. Muncullah korupsi yang sudah mengakar kuat dalam budaya birokrasi negeri ini. Elok mana  sih seniman yang kenthir dalam berpakaian dan berpenampilan tapi karyanya mampu memberikan sulaman makna agung tentang pentingnya kejujuran dan mawas diri dibandingkan mereka yang selalu berpenampilan rapi namun ternyata aslinya maling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun