Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rimba Raya Jakarta Sekilas dalam Ingatan

24 November 2020   16:28 Diperbarui: 24 November 2020   16:36 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyaman mana Jakarta sekarang dengan yang dulu. Nyaman mana ketika banyak aturan dan sangsi dibanding Jakarta sekarang yang menerabas arus(lawan arus dibiarkan saja seperti saat ini). Pertanyaan itu tentu akan mengundang banyak jawaban. 

Tergantung siapa yang menjawab. Bagi yang senang ketertiban, senang keteraturan Jakarta sekarang ini ibarat kota tanpa tata krama. Pengendara boleh seenaknya melewati Fly Over, menerjang jalan satu arah, parkir semaunya, melewati jalur busway tanpa disemprit, apalagi mereka yang nekat hanya karena memakai peci putih, memakai baju putih lalu konvoi tanpa helm.

Siapakah yang mau diatur. Wong pertanggungjawaban mentaati atau tidak bukan pada polisi tetapi Tuhan. Banyak manusia salah kaprah menterjemahkan simbol, mentang -- mentang mau berangkat untuk kegiatan keagamaan banyak orang dengan pedenya melanggar keselamatan diri. Naik motor tanpa surat- surat resmi, tanpa helm, berboncengan lebih dari tiga orang dan mengokupasi jalan.

Hidup dengan peraturan dan tetek bengek sangsi hukum itu tidak nyaman bung, biarkan bermacet -- macet ria yang penting cepat sampai  ( bagaimana bisa cepat sampai kalau hampir semua orang berpikir sama yaitu melanggar peraturan demi bisa pulang cepat, atau memotong jalan demi cepatnya sampai ke tujuan). 

Tapi bisakah dibayangkan jika semua orang berpikir ngawur bahwa melanggar itu membahagiakan karena bisa cepat sampai tujuan. Tetapi sadarkah gara -- gara anda banyak orang terporovokasi untuk melanggar, banyak orang kadang terkena imbas macet akibat aksi potong kompas yang membahayakan keselamatan orang.

Jakarta secara obyektif saya katakan  pedestrian yang luas membuat nyaman orang yang menikmati suasana pinggir jalan yang manusiawi. Adanya tempat duduk, membuat mereka bisa santai sejenak sambil menikmati lalu lintas yang padat. 

Pada jam - jam tertentu jalanan agak lengang dan Jakarta cukup nyaman dinikmati, tapi di jam -- jam padat Jakarta itu seperti kota yang menawarkan kebosanan, sebab kemacetan menyemut dan membuat perjalanan tersendat.

Di Jakarta pusat dan Jakarta Selatan banyak masyarakat menikmati buah - buah kerja pemda yang membangun pedestrian demikian luas. Ketika memandang ke pinggir jalan rasanya pengin duduk dan menikmati lalu lalang kendaraan. 

Tapi begitu memasuki jalan - jalan dengan persimpangan yang banyak, tidak terasa seperti melihat kerumunan orang yang tampak dengan gagah melanggar peraturan. Motor -- motor menyemut di pinggir trotoar menerjang jalan satu arah. 

Di sekitar Roxy ketika jalan macet segera pedestrian menjadi jalur motor. Padahal pedestrian diperuntukkan untuk pejalan kaki. Jalur busway penuh dengan kendaraan. Hingga akhirnya bus trans pun tidak leluasa lewat di jalur busway.

Sayap - sayap pelanggaran bergema, karena polisi mulai masa bodo capek dengan pengendara yang semakin nekat dan cuek melanggar rambu -- rambu lalu lintas. Bahkan ketika dinasihati kadang menjawab dan balik memarahi petugas.

Lalu apa istimewanya Jakarta, sekedar melihat jalur LRT atau jalan MRT yang megah yang dulunya rasanya hanya mimpi tapi sekarang benar -- benar nyata ada. Betapa susahnya zaman ketika begitu gencarnya pembangunan dimulai, warga banyak yang mengeluh karena kemacetan muncul di mana - mana terutama di proyek -- proyek LRT dan MRT yang belum selesai. 

Sekarang setelah hampir semuanya selesai transportasi umum mulai nyaman, kelakuan warga yang masih kampungan yang memenuhi jalanan dan gang -- gang di hampir pelosok kampung Jakarta, tidak semakin berkurang malah semakin banyak. Sekilas Jakarta yang rapi tapi menyimpan magma orang orang yang berprinsip masa bodo.

Maka ketika pandemi mewabah Jakarta yang orangnya susah diatur, susah dinasihati terkena dampaknya oleh banyaknya orang yang terkena virus covid-19. Kedisiplinan yang meluntur dan banyak orang yang bangga bila bisa melanggar peraturan membuat Jakarta jadi mirip rimba raya.

Saya yang menjadi warga Jakarta, kadang terseret arus untuk ikut melanggar peraturan, karena ketika mencoba mengikuti aturan di jalanan malah dimaki - maki orang. Jakarta seperti kembali menjadi tempat para urban yang datang dengan pola pikir masa bodo yang penting saya mendapat rejeki, memperoleh pendapatan, bisa makan di restoran, bisa jalan- jalan ke mall, bisa ngopi di kafe, menikmati tempat wisata.

Ketika masuk ke Jakarta sebagai orang kampung , cukup kaget dengan relasi antar manusia orang kota. Ketika Di Kampung menolong, gotong royong itu sebuah kebiasaan tapi di kota orang samping kamar, atau sebelah rumah saja kadang tidak saling kenal.

Akhirnya kadang saya menjadi larut dengan kebiasaan masyarakat urban yang urusan lu bukan urusan gue. Kalau mau minta tolong berapa harga sebuah pertolongan? Semua diukur dengan uang, karena memang itulah cara manusia bertahan di tengah ganasnya relasi hubungan antar manusia.

Melihat Jakarta sekilas bagi orang kampung mungkin tampak aneh dan menakutkan. Banyak yang akhirnya kembali pulang ngeri dengan suasana kota yang penuh dengan persaingan, saling sikut, saling melemparkan tanggungjawab.

Kota besar seperti Jakarta, memang tidak ramah oleh mereka dengan kemampuan biasa saja. Yang bisa bertahan di kota besar seperti Jakarta adalah  mereka yang mampu bertahan meskipun bertubi - tubi mendapatkan ujian, entah tertipu, jadi korban pencopetan atau menjadi korban bullying. Jika bisa lepas dan melewati tekanan maka mereka yang akhirnya menjadi warga Jakarta harus tetap selalu waspada terhadap kejahatan yang hampir selalu hadir disekitar lingkungan tempat tinggal.

Mereka yang bertahan di kota (level perkampungan) adalah mereka yang bisa bekerja serabutan, bekerja apapun yang akan menjamin kelangsungan hidup sepanjang hari. Dan mereka yang kebetulan bisa menjadi bagian dari staff perkantoran, birokrat, PNS, Pengusaha, dan  mereka yang bekerja dalam bidang entrepreneur, orang - orang kreatif akan menjemput finansial yang cukup untuk bisa menikmati kemudahan.

Namun yang dihadapi orang Jakarta saat ini adalah krisis kepribadian, krisis kepedulian. Krisis kesetiakawanan. Rimba raya kota mengajarkan orang - orang untuk cuek. Saling curiga apalagi mereka yang terjebak dalam ajaran -- ajaran keyakinan yang cenderung fanatik. Mulai muncul kerawanan hubungan saat berhubungan dengan kenyamanan beribadat, kenyamanan mengikuti kegiatan yang ada hubungannya dengan upacara keagamaan. Muncul wacana melarang orang untuk memberi ucapan pada seseorang yang beda keyakinan. Banyak ceramah - ceramah di tempat ibadah tidak memberi ketenangan dan malah memprovokasi untuk menyebarkan kebencian.

Dalam pandangan saya terhadap Jakarta secara sekilas, kelihatan bahwa Jakarta dengan bentangan pedestriannya yang mulai nyaman, tapi di sisi lain banyak orang yang akhirnya tidak peduli dengan peraturan, tidak peduli dengan protokol kesehatan dan malah sering membuat kegaduhan di media sosial. termasuk para remaja baik perempuan maupun laki - laki yang sering bergerombol di jalan, mencegat kendaraan yang lewat hanya untuk menumpang dengan tanpa mempedulikan keamanannya.  Semoga saya salah menilainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun