Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Mengapa Guru Harus Membaca?", Langkah Awal St. Kartono Menjadi Kolomnis

7 November 2020   06:58 Diperbarui: 7 November 2020   07:02 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis Ketemu dengan St. Kartono dalam sebuah workshop menulis untuk guru - guru Bahasa Indonesia (dokumen pribadi)

Menenteng kopor kecil, pagi pagi sekali rutin hampir tiap pekan, bahkan kadang ia juga pada hari hari tertentu ia sudah berada di Bandara. Mengambil penerbangan pagi untuk menghadiri workshop di sebuah sekolah besar di Jakarta. Ia harus menembus jalanan di Jakarta memastikan tidak terjebak dalam kemacetan. Tiba di sebuah workshop penulisan yang dihadiri guru - guru yang sedang didorong untuk mengembangkan kemampuan menulis. Setelah selesai dan sempat berbincang- bincang  dengan beberapa temannya sesama alumni Sanata Dharma, makan kudapan ia harus segera terbang lagi pulang ke Yogyakarta. Di Yogyakarta seabreg kegiatan menantinya sampai malam.

Dari perawakan tubuhnya terlihat bahwa pria ini amat gesit, cekatan dan mempunyai stamina luar biasa sebagai pengajar. Namanya cukup dikenal terutama yang senang membaca kolom opini di Kompas, Kedaulatan Rakyat. Drs.St. Kartono M.Hum. Tulisannya tidak jauh jauh dari pengalamannya mengajar dan sering amat kritis bila menyangkut kurikulum dan kebijakan pendidikan. Dalam kolom di media sosialnya ia mencantumkan profesinya sebagai guru.

Guru, itu sebuah pekerjaan mulia yang tidak banyak yang melirik. Guru adalah sebuah profesi terhormat di masa lalu. Namun seiring dengan perkembangan zaman banyak generasi muda jarang yang bercita -- cita menjadi seorang guru. Bisa jadi karena gaji guru tidak menjanjikan, masih kalah dengan manager, masih kalah dengan pengusaha dan desainer dan dokter.

Guru masih kalah mentereng dengan pegawai bank, dan profesi lain yang menjanjikan penghasilan besar.Apalagi guru honorer yang kadang sebulan hanya dibayar ratusan ribu padahal pekerjaannya berat, keluar masuk daerah terpencil.  Untuk biaya perjalanannya saja sudah tekor.

Tapi anda akan terkesima jika membaca dan mengikuti kegiatan dan Curiculum vetaenya. Ia seorang guru dari sebuah sekolah swasta Katolik di Yogyakarta. SMA De Britto. Sekolah yang telah melahirkan banyak intelektual dan orang - orang sukses di bidangnya. Proses pendidikan di De Britto diarahkan pada 1L 5 C Leadership (kepemimpinan), Competence (kecakapan), Conscience( hati nurani yang benar), Compassion (bela rasa) dan Consistency (konsistensi). Siswa De Britto diberi kesempatan untuk melatih hati nurani, , fisik, jiwa dan akal budi. Yang satu tidak lebih baik dari yang lain. Om saya,Pak De saya juga produk De Britto yang pola pengajaran dan kurikulumnya agak berbeda dengan sekolah lainnya.

Nilai nilai intelektual, kurikulum yang luwes dan berbagai pengajaran yang membuat para siswanya berani berdebat, berani berargumen. Beruntung para guru di sanapun mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri lebih maksimal bukan hanya memperdalam ilmu didaktik metodik. St Kartono salah satu guru inovatif yang sering memenangkan lomba penulisan sampai tingkat nasional. Tulisannya tersebar/ Opininya sering sekali dimuat di Koran Kompas,Kedaulatan Rakyat,Bernas, dan koran besar lainnya. Masalah pendidikan tetap menjadi bahasan utamanya saat menulis. Sudah ratusan  tulisan yang tersebar di media massa. Sudah banyak buku yang dihasilkan dari kumpulan buku tersebut. Bukunya diterbitkan di Gramedia, Kanisius dan beberapa penerbit lainnya.

Saya tertarik menjadikannya seorang tokoh yang layak dikedepankan. Salah satu alasannya adalah untuk menginspirasi guru agar mau sedikit meluangkan waktu untuk menulis. Kebetulan saat ini sudah banyak komunitas, website, blog yang mengakomodasi minat guru untuk menulis, sudah banyak guru yang antusias menerbitkan buku lewat komunitas virtual atau kelas penulisan.

Lahir di Sukoharjo, 3 September  1965, lulus Universitas Sanata Dharma (dulu IKIP) tahun 1993 jurusan Pendidikan  Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia, S2 diperoleh di Lingustik Terapan Universitas Negeri Yogyakarta. Menjadi pengajar di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta  sejak 1991 sampai sekarang. Di antara kesibukannya mengajar dan memberi kuliah di Program Studi Bahasa Indonesia dan Daerah Universitas Sanata Dharma,  ia menjadi pemateri pengembangan visi keguruan dan penulisan di berbagai institusi.

Seorang guru plus, katakanlah itu karena dari aktivitasnya menjadi kolomnis dan penulis opini di hampir semua koran nasional terutama koran Kompas dan Kedaulatan Rakyat seorang guru  menjadi inspirasi bagi para siswanya bahwa sebagai guru ia aktif menjadi motivator, inspirator bukan hanya untuk siswanya namun juga para guru, peserta pelatihan penulisan, dan berbagai seminar yang kebetulan Pak Kartono menjadi nara sumbernya.

Gaya Pak St. Kartono yang Low Profile, ramah semakin meyakinkan bahwa profesi guru itu bergengsi dan bisa mempunyai penghasilan lebih dengan menjadi penulis, pembicara, motivator. Guru yang inovatif, guru yang mampu lepas dari profesi mainstream, hanya melakukan pekerjaan sebagai sebuah rutinitas dan tuntutan profesi saja.  Ketika saya terinspirasi menulis tentang beliau saya sudah kulo nuwun, minta ijin lewat facebook messenger. Dan Pak St. Kartono, dengan terbuka menyambut baik ide saya untuk menuliskannnya di Kompasiana. Terakhir saya bertemu dengan Pak St. Kartono secara langsung ketika sedang mengisi pelatihan menulis di sekolah saya untuk para guru Bahasa Indonesia. Beliau menyangka saya adalah guru Bahasa Indonesia padahal saya aslinya adalah guru pendidikan seni budaya khususnya seni rupa.

Reputasi sebagai penulis jelas sudah diakui bahkan secara nasional. Kegiatan hariannya sangat padat, pagi mengajar dan siang dan malamnya memberi kuliah dan mengisi kelas penulisan serta seminar penulisan.  Padat merayap begitu kegiatannya, namun  ia memang benar - benar menyukai berbagai kegiatannya. Ketika saya temui ia menyambut dengan ramah dan sempat bincang - bincang sebentar.

"Pak Kartono hebat, masih mengajar sibuk pula menjadi pemateri dan motivator penulisan"

"Pak Joko juga hebat, produktif menulis di Kompasiana dan di blog."Begitulah ia selalu rendah hati meskipun prestasinya sudah seabreg.

Penulis Ketemu dengan St. Kartono dalam sebuah workshop menulis untuk guru - guru Bahasa Indonesia (dokumen pribadi)
Penulis Ketemu dengan St. Kartono dalam sebuah workshop menulis untuk guru - guru Bahasa Indonesia (dokumen pribadi)
 Banyak teman - temannya selama kuliah yang mengikuti kelas menulis atau workshop penulisan di mana pak St Kartono menjadi nara sumbernya.

Guru - guru bisa belajar banyak dari sosok yang baru saja meraih penghargaan dengan tulisannya yang dimuat di Koran Harian Kedaulatan Rakyat,25 November 2019 lewat lomba artikel  Jurnalistik Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia 2020  untuk kategori guru dengan judul " Menjadi Guru yang Gembira.")

Alumni SMA I Negeri Surakarta yang tinggal dan menetap di Yogyakarta beristri Irine Ros Sari Pratiwi itu mempunyai 2 anak perempuan Melati Mewangi dan Prima Interpares. Melati Mewangi menjadi jurnalis di Kompas saat ini.

Dalam bukunya yang berjudul Sekolah Bukan Pasar(Penerbit Kompas) saya tertarik mencuplik kalimat yang ada di cover belakang buku Kian hari guru di negeri ini bukanlah agen pemberi kebijakan, pemberi kecerdasan manusiawi, pelatih kedewasaan, melainkan menjadi agen kebohongan dan ideologi yang harus disebarluaskan oleh birokrat pemegang keputusan yang notabene adalah atasan guru. Pada gilirannya sekolah menjadi pasar paling potensial untuk dimasuki lewat birokrasi urusan pendidikan. 

Bagaimanapun selalu ada sosok inspiratif dibalik banyaknya masalah pendidikan di negeri ini yang perlu dibenahi agar Indonesia segera berlari kencang dan mampu menunjukkan diri sebagai negara berbudaya yang maju pendidikannya dan semakin banyak guru serta sumber daya manusia yang peduli terhadap masa depan pendidikan, institusi pendidikan dan upaya mengajarkan kepada setiap orang baik guru, orang tua, birokrat, pemerintah, wakil rakyat untuk tidak main - main dan mengesampingkan dunia pendidikan. Jepang berjaya karena masyarakatnya melek literasi dan sangat menghargai guru dan institusi pendidikan.

Dalam pendidikan: karakter, kecerdasan, toleransi, kepedulian dan kerjasama menjadi prioritas. Sekarang ini sebagai warga masyarakat merasa prihatin dengan keterlibatan siswa yang ikut demo, dan melakukan tindakan anarki yang mencoreng upaya institusi pendidikan yang berupaya keras mengajarkan budi pekerti.

Oh ya, tahukah para pembaca bahwa pertama kali St Kartono tumbuh dan berkembang kepercayaan dirinya saat artikel pertamanya yang berjudul Mengapa Guru Harus membaca yang dimuat di Kompas. Artikel itu membuka jalan untuk menjadi Kolomnis sampai sekarang. Bagaimana para guru masih minder dengan profesi anda sebagai guru?Jangan! dengan kerja keras anda yang dari  tidak apa - apa bisa menjadi sosok luar biasa seperti Pak St Kartono.  Terus Berkarya Pak. Untuk Membangun negeri ini menjadi lebih bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun