Sudah beberapa bulan ini saya malas membaca berita terutama tentang pemerintahan, politik, partai dan sepak terjang para politisi. Banyak isu yang terlewat, banyak berita-berita yang simpang siur membaur dalam ingatan. Apakah tidak tertarik dengan isu terkini? Bukannya setiap penulis atau pemerhati harus sering mengikuti berita tren yang membuat ide mengalir deras?
Demonstrasi dan Kepentingan Politik
Masalahnya sekarang politisasi ada di mana-mana. Apapun ujung- ujungnya dikaitkan dengan politik. Yang terakhir adalah demo massa buruh ditambah mahasiswa dan pelajar berujung rusuh. Sejumlah fasilitas umum yang mahal biayanya dirusak. Lampu merah, pos polisi, halte busway mendapat sasaran. Kalau tujuannya demonstrasi menyalurkan hak demokrasi, hak berpendapat mengapa harus rusuh. Menurut informasi demo disusupi oleh provokator salah satunyanya adalah anarko yang seringkali membuat fasilitas umum rusak, main corat coret tembok, membuat fasilitas yang sebelumnya terlihat indah menjadi berantakan dan lusuh.
Apa yang dicari sih anak muda. Dengan merusak, Â mencoret fasilitas umum apakah memecahkan persoalan. Bisa jadi dengan membakar ada kepuasan, ada adrenalin yang dipacu sehingga menimbulkan sensasi luar biasa bagi gelegak anak muda. Namun dampak dari perusakan fasilitas umum selain merugikan pemerintah, merugikan masyarakat juga merugikan diri sendiri.
Jika ditanyakan satu persatu pada para demonstran apa sih yang didemokan? Apakah kalian sudah membaca keseluruhan tentang isi undang - undang yang kalian kritik. Bisa jadi saya setuju bahwa sepak terjang pada wakil rakyat saat ini memang mengecewakan. Mereka bukan wakil rakyat, lebih dekat ke wakil partai. Namun anarkisme dalam demonstrasi tetap saja membuat luka dihati rakyat juga.
Jika melihat foto-foto yang diupload di medsos, melelehnya lampu merah yang dibakar, hancurnya pos polisi, hancurnya halte baru yang belum sempat dipakai ditengah pandemi yang masih berlangsung. Hati saya sebagai warga negara merasa hancur, sedih.Â
Sebegitukah orang-orang yang merasa diri paling benar, paling terdampak akibat undang-undang cipta kerja hingga akhirnya malah mengganggu sendiri kesempatan investor menanamkan saham yang negerinya dipenuhi oleh demonstran yang lebih menginginkan negaranya stagnan, tidak mau maju, tidak mau berubah ke arah yang lebih baik.
Perubahan Zaman dan Demo Rusuh yang Berulang
Perubahan zaman itu tidak mungkin dihindari, pemerintah pasti telah berhitung terhadap dampak dari undang- undang cipta kerja. Memang tetap ada korban dari kebijakan, sebab tidak ada keadilan yang benar- benar menguntungkan semua pihak.
Kebetulan saya bukan buruh saya adalah berlatar belakang guru, secara tidak langsung juga terdampak dengan adanya perubahan akibat kemajuan zaman.Â
Namun, kalau hanya menekuri kecilnya gaji, dampak pandemi yang kapan selesainya saja tidak tahu, lalu marah - marah kepada wakil rakyat, kepada pemerintah, kepada aparat ya tidak berkembang. Ada banyak peluang yang masih bisa dilakukan. Salah satunya menulis, memaksa diri berpikir jernih, mendorong diri sendiri untuk tidak larut dalam perasaan putus asa. Masih ada jalan kalau kerja keras.
Buruh itu juga pekerjaan mulia, mendorong perusahaan berkembang, menciptakan peluang kerja, namun ketika buruh sudah masuk dalam gelanggang politik, dimanfaatkan politisi, dibiayai untuk berdemonstrasi maka masalahnya menjadi runyam. Sama ketika agama sudah disusupi dan ditunggangi kepentingan politik, yang semula baik ya menjadi hancur, yang awalnya bertujuan mulia akhirnya rusak karena disusupi kepentingan. Demo yang bertujuan damai menjadi rusuh. Yang semula sudah berjanji tidak merusak, akhirnya mampu diprovokasi menghancurkan fasilitas umum.
Tuhan juga diperalat, diteriakkan, diagung- agungkan namun sambil membawa bara, menggenggam batu menghancurkan kaca, merusak dan menginjak - injak taman yang dengan capeknya ditata dan dicor. Siapa yang mengerjakan ya mereka para pekerja yang gajinya relatif  kecil namun yang tetap masih bersyukur dengan dirinya.
Saya rasa buruh yang turun ke jalan tidak semuanya tahu apa yang mereka lakukan. Yang berkuasa adalah para oratornya yang sudah lebih mengerti hukum, undang- undang, lebih mengerti tentang politik dan lebih melek pengetahuan.
Dan mereka yang tidak mengerti sangat mudah diprovokasi, diiming- imingi amplop, dan membiarkan larut dalam lautan amarah tidak terkendali. Banyak demonstran yang ketika ditanya apa sih sebenarnya RUU, Undang - Undang Cipta kerja bingung menjawabnya. Kalau demonstrasi tidak tahu tujuan untuk apa berdemonstrasi tentu sebuah ironi, sebuah kemunduran pola pikir.
Saya masih menghargai para pedagang yang setiap hari menenteng dagangan meskipun hasilnya tidak seberapa tetapi ada usaha untuk mendapatkan rejeki. Bukannya negara yang maju lahir dari etos kerja warganya yang disiplin dan kerja keras. Tidak ada negara maju yang warganya hidup dengan ongkang- ongkang kaki. Dan setiap warga mempunyai ukuran sendiri untuk menyesuaikan upah, kemampuan ekonominya dengan gaya hidup yang sesuai.
Kadang banyak yang memaksa diri misalnya guru yang kecil gajinya tapi setiap hari berkendaraan menggunakan moge, dan makan di restoran. Pastinya bisa dikatakan besar pasak daripada tiang. Gaya hidup ya sesuaikan diri dengan kemampuan kantong.
Sulitnya Bekerja di Tengah Pandemi
Di masa pandemi , mau buruh, pengusaha, guru, pedagang, petani semua terdampak. Pengusaha pasti bingung menggaji karyawan dan buruhnya ketika pendapatan dan laba perusahaan sangat kecil. Bagaimana menggaji buruhnya jika usahanya saja kembang kempis. Yang terbaik bagi pengusaha dan buruh adalah menekan pengeluaran. Buruh  tidak bisa memaksa pengusaha naik gaji, sedangkan pengusaha tidak juga seenaknya memecat buruhnya tanpa kompensasi yang bisa dimengerti keduabelah pihak.
Yang terdampak pandemi itu semua, maka salah satu cara membantu pemerintah di manapun berada hanyalah mengikuti protokol, sambil tetap mencari peluang usaha ditengah sulitnya perekonomian saat ini. Jika para demonstran bertindak anarkis, bukannya dampaknya lebih buruk lagi. Bisa - bisa krisis cepat datang dan para investor pun ogah menanamkan saham di negara ini. Ujung- ujungnya pengusaha bangkrut, buruhpun akhirnya tidak punya pekerjaan.
Ketika ingin melakukandemonstrasi sudah terpikirkan sejauh itu? Mungkin karena saya bukan buruh jadi kurang tahu kegundahan mereka. Tapi sebagai guru yang sama sama bergaji minimalis, masih banyak peluang yang bisa dilirik untuk mempertahankan perekonomian keluarga. Otak saya masih bisa jalan, masih bisa mencari peluang usaha dengan menulis, jika saya kuat masih bisa menggunakan aplikasi untuk menjadi ojek online. Daripada demonstrasi yang tidak bisa menyelesaikan persoalan. Apalagi menghadapi wakil rakyat yang sebenarnya wakil rakyat atau wakil partai. Salah satu solusi adalah tetap berpikir positif. Karena dengan jernih berpikir dan positif thinking akan ada jalan menyelesaikan masalah yang rumit dan sulit. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H