Aku tidak bisa mengikuti jejakmu, sebagai seorang pemimpin, ayah yang lebih banyak diam tanpa kata
Namun tegas dan terencana. Kedisiplinanmu terbentuk dari bentangan hidupmu yang panjang'
 Pernah merasakan hidup di asrama, pernah kuat menerima lecutan pendidikan kakek yang luar biasa kerasnya.
Dunia seni, pendidikan, organisasi, berbagai jabatan karir sempat kau sandang. Kau memang layak sebagai pemimpin karena hidup lebih tertata dan kemampuan komunikasi dan pergaulanmu yang luas. Aku sendiri lebih suka mengarungi dunia imajinasi sebagai pilihan hidup meskipun akhirnya jalan hidupku kembali dalam jalur keluarga kita. Guru.
Rasanya baru kemarin pergi ke kota tua berboncengan, tidak terasa sudah setahun ayah menemukan jalan terang tanpa rasa sakit dan tanpa beban. Kau tidak lagi menangis, mengerang sakit, tidak perlu lagi menahan nyeri di dadamu. Jalanmu telah lapang semoga kau bahagia di atas sana.
Di jembatan itu kau tersenyum karena merasa ada jalan lain yang lebih membahagiakan.Â
menuntaskan tugasmu yang penuh liku dan tantangan berat yang menjadi salib kehidupanmu. Kembali teringat ketika ayah hampir setiap pagi memandikan kakak yang disabel. Hanya ayah yang tega dengan sepenuh hati menerimanya dalam segala kekurangannya. Selama puluhan tahun menyisihkan waktu diantara kesibukan sebagai pendidik dan pemimpin masih sempat membersihkan kamar, dengan bau menyengat. Ketegaran yang luar biasa.
Kini  ayah sudah berkumpul dengan kakak dan adik yang sudah lebih dulu menikmati lapangnya dunia keabadian. Satu tahun mengenang kepergianmu photo senyummu selalu hadir pun teringat di peti itu ayah tersenyum, seperti telah lepas dari berbagai ujian kehidupan. Doakan kami yang masih berjuang, kuatkan kami yang masih menjemput ujian demi ujian kehidupan.  Aku mengenangmu, kami mengenangmu dan rindu sapamu. Ayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H