Sebelum pandemi Covid 19 Corona virus, manusia masih bisa menikmati rasanya pengajaran langsung tanpa diembel - embeli pembelajaran digital. Banyak yang menganggap pembelajaran internet itu belum waktunya. Masih banyak hal yang harus dibahas terutama masalah karakter, pendekatan pengajaran yang lebih manusiawi, yang lebih menitikberatkan pada relasi antar manusia secara langsung dalam sebuah kelas pembelajaran nyata.
Gara  - Gara Corona manusia dipaksa Berubah
Ketika Covid datang pola pikir manusia berubah total, mau tidak mau internet dan pembelajaran jarak jauh menjadi kudu (keharusan). Jika tidak mau memanfaatkan maka pendidikan akan tertinggal. Berbagai inovasi pembelajaran jarak jauh pun membandang memenuhi ruang - ruang virtual. Tips pembelajaran jarak jauh amat padat mengisi You Tube. Seminar lewat web atau yang dikenal dengan webinar, bincang - bincang lewat virtual menjadi tren yang tidak bisa ditolak. Semua orang yang ingin maju ditonjok langsung dan dipaksa untuk bisa menggunakan aplikasi di internet semacam Zoom, Google Meet, Streamyard. Semuanya untuk mengakomodasi pembelajaran yang dilakukan dari rumah ke rumah.
Awal mulanya banyak murid stres, banyak guru stres, banyak orang tua protes dan stres juga. Karena mau tidak mau mereka harus berlangganan wifi internet dari provider yang menyediakan semacam  First Media, Indo Home MNC Media. Lalu lalang dunia internet pun riuh. Bisnis tidak lagi harus bertatap muka langsung, manusia yang berjarak dipaksa dekat dengan layar virtual. Semua bisa diakali, pemikiran kembali disegarkan dengan lompatan teknologi yang membandang, berlari kencang.
Pola Pikir Hyper Learning
Manusia modern akan dipaksa berpikir cepat. Ada sesuatu yang baru yang terus menerus di update. Banyak hal yang usang di masa lampau akan dibuang dan diganti dengan mindset baru yang lebih fresh dan mungkin istilah IT prossesor dalam otak kita mesti di upgrade.
Di masa pandemi saat ini tindakan orang - orang yang masih ingin bekerja dan menghasilkan sesuatu adalah dengan siap menyambut hal baru. Otak dipaksa untuk bekerja bukan dalam zona nyaman, namun siap terus sewaktu - waktu ketika dunia berubah dengan sangat cepat. Adaptasi dengan kecanggihan teknologi berlaku untuk semua lini kehidupan. Kepraktisan juga menjadi mindset baru bagi manusia. Membayar  dan bertransaksi tidak lagi harus mendatangi kantor, cukup mencari webnya, membuka aplikasi yang bisa memungkinkan transaksi lewat virtual. Apapun pesan dan transaksi bisa dilakukan dengan media digital. Bank - bank tampaknya semakin kompromi dengan alat pembayaran virtual, itu semata -- mata karena begitulah tuntutan era modern yang ingin serba cepat dan praktis.
Kencangnya pembelajaran jarak jauh memaksa murid atau siswa atau peserta didik menggenggam alat komunikasi smartphone. Bukan HP ecek - ecek yang hanya bisa menerima suara saja dari seberang, tetapi yang harus bisa menampilkan video, kuat menyimpan memori untuk kiriman -- kiriman video dan materi pembelajaran. HPnya juga harus mampu memutar aplikasi zoom, google Meet dan tersedia GCR (Google Class Room) yang didalamnya tersedia alat test semacam google form, google docs, absensi siswa.
Kecanggihan alat komunikasi itu tidak lagi bisa ditolak. Kencangnya percepatan dunia digital itu mau tidak mau memaksa manusia paham dan tunduk sementara pada teknologi. Dunia telah berubah yang menakutkan sekarang ini bukan hanya penyakit tetapi juga kecepatan internet dalam mengakses dan membantu manusia untuk lancar berkomunikasi. Sebab semuanya harus menggunakan internet untuk menunjang pembelajaran.
Setelah pandemi dunia tidak akan kembali sama seperti sebelum wabah korona. Kebiasaan - kebiasaan baru muncul dan menjadi habit atau kebiasaan baru yang tidak bisa ditolak. Yang maju dan berkembang adalah mereka yang selalu mengikuti perkembangan, yang terpuruk dan ambruk adalah mereka yang menolak dan tidak mau kompromi dengan perkembangan zaman.
Ada plus minusnya memang, tapi daya manusia yang terbatas membuat siapapun yang mau bergerak cepat, menangguk keuntungan harus bisa memanfaatkan media sosial. Beberapa dampak negative terlihat bagaimana manusia bingung menentukan mana kabar yang benar maupun kabar yang ternyata hanya hoaks semata. Yang dikatakan media sosial dan diamini oleh banyak orang dianggap yang benar, padaha belum tentu benar. Yang viral saat ini dianggap sebagai era baru, mereka yang bisa melompat tinggi karena memanfaatkan media sosial yang disukai banyak orang, disubscribe, di follow, di Like, di kasih jempol rasanya sebuah keharusan. Banyak orang merasa harus eksis dengan mempunyai akun media sosial. Pengakuan, keterkenalan, berharap viral menjadi tuhan baru saat ini. Dan manusia "terpaksa" tidak bisa menolaknya.