Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tentang Centang Biru dan Premium

3 Juli 2020   11:58 Diperbarui: 3 Juli 2020   11:58 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
canva desain create by Joko Dwiatmoko

Sebagai Kompasianer saya sangat senang dengan adanya centang biru di profil saya. Bukan hal mudah karena saya harus menulis lebih dari 400 tulisan di Kompasiana. Sebenarnya dulu saya tidak yakin bisa mendapat sematan centang biru. Tulisan saya beragam, tidak fokus pada satu spesialisasi, hanya menulis saja, mengalir. Masalah mutu dan apakah artikel saya bermanfaat bagi pembaca  itu sudah domain publik. Tugas penulis seperti saya adalah menyajikan pengetahuan seaktual mungkin, sesuai dengan kompetensi dan pengetahuan yang diperlukan pembaca.

Kalau bicara saya produktif atau tidak jujur, dari jangka waktu 10 tahun itu "hanya" menghasilkan sekitar 937 artikel ya masih jauh dibandingkan dengan pasangan suami istri Tjiptadinata Effendi dan Roselina Tjiptadinata. Tapi bagi saya yang menulis diantara kesibukan mengajar tentu sudah pencapaian luar biasa.

Banyak guru, rekan -- rekan kerja saya yang bercecak kagum ketika saya bisa menulis ratusan artikel di Kompasiana (bukan saya sombong, tapi begitulah kondisi guru pada umumnya sudah banyak tugas, pekerjaan yang menyita waktu sehingga tidak sempat melatih pikiran untuk menulis, dan hanya memberi, memberi, memberi pengetahuan dalam sebuah sesi pengajaran, padahal saya yakin guru juga rindu untuk selalu merefresh pengetahuan dengan belajar lagi dan memperdalam ilmu )

Saya beruntung karena dorongan menulis itu datang dari diri sendiri. Bahkan dulu jauh sebelum menjadi guru sebetulnya cita -- cita saya adalah penulis, wartawan, penyiar. Saya sempat menjadi kontributor di suatu majalah di Jogja, guna melatih skill menulis saya. Waktu itu saya mengirimkannya dengan menulis lewat mesin tik dan dikirim lewat pos bukan email seperti sekarang.

Ada kebanggaan tersendiri ketika liputan saya tembus sebagai artikel utama dan foto reportase saya menjadi cover di majalah itu. Sebuah kebanggaan. Itu terjadi sekitar tahun 1999 sampai 2001 awal. Meskipun honornya hanya cukup untuk mengisi bensin sedikit dan makan di warung tapi itu buah perjuangan. Menulis itu sebuah kegiatan yang membahagiakan, meskipun hasilnya  belum bisa untuk makan sehari hari. Maka saya juga merangkap loper majalah dan memasarkan dari pintu ke pintu sambil mencari profil yang bisa diangkat sebagai tokoh inspiratif yang bisa diangkat menjadi tulisan.

Sayangnya orang tua menganggap bahwa menulis belum bisa memberi kehidupan maka saya perlu pekerjaan tetap.Saya masih dianggap menganggur. Kedua orang tua saya adalah guru dan pegawai negeri, ukuran kesuksesan anak adalah ketika sama dengan orang tua atau bahkan lebih dari orang tuanya. Saya yang memang lulusan Pendidikan guru harus melamar kerja sebagai guru. Maka sejak tahun 2001 saya akhirnya diterima disebuah yayasan besar di Jakarta yang bergerak di dalam pendidikan.

Ketika menjadi guru, cita -- cita dan semangat menulis masih tinggi. Di awal sebagai guru saya hanya menulis di buku tulis, apa saja yang penting tetap menulis.  Ketika di sekitar tahun 2004 2005 saya sempat rutin setiap minggu menulis artikel disebuah majalah berbasis internet, katakanlah itu blog organisasi dan saya menyumbang tulisan untuk menulis reportase tentang kegiatan rutin organisasi dan kadang sedikit bicara tentang rohani.

Rasa suka menulis itu mendorong saya tertarik menulis di blog keroyokan Kompasiana. Sekitar 2010 saya tercatat sebagai kompasianer dan pertama kali menulis sekitar 28 Januari 2010. Selanjutnya saya rutin menulis meskipun tidak setiap hari. Lama -- lama saya merasakan keasyikan menulis.

Di Kompasiana saya menulis apa saja. Tidak terbatas pada spesifikasi bahasan tertentu, yang penting menulis, Namun sebagian besar tulisan saya ada di kisaran seni budaya, dan Life style dan politik. Karena saya tidak folus pada satu bidang spesialisasi maka centang hijau dan centang biru tidak terpikirkan. Yang penting saya menulis, mau mendapat centang hijau dan centang biru ya syukur. Kalau saya terlalu berharap malah membuat saya frustrasi dan tidak fokus menulis. Akhirnya di Kompasiana prinsip saya adalah mengali saja, kalau ada ide ya ditulis, kalau tidak ada ide tidak usah dipaksa. Nyatanya setelah melewati beberapa tahun tidak terasa tulisan saya sudah terkumpul ratusan.

Centang hijau dan centang biru mungkin sebagai pengakuan konsistensi dan kesetiaan. Kalau dikatakan kompasianer bercentang biru adalah orang -- orang yang sudah kenyang pengalaman menulis dan terjamin kualitasnya, saya pikir tidak juga. Nyatanya saya merasa masih belum apa -- apa dibandingkan dengan para kompasianer yang dalam waktu hanya satu tahun sudah menghasilkan ratusan artikel dan dengan cepat meljit mendapatkan centang biru sebagai pengakuan terhadap kualitas tulisan -- tulisannya.

Banyak Kompasianer yang dengan cepat melejit itu memang pas dengan misi dan visi kompasiana dan terutama nge "klik" dengan admin dan jajaran editornya, maka tulisan mereka judul apapun patut ditempatkan sebagai HL (Headline). Saya sendiri sudah bahagia karena setiap kali menulis, label pilihan selalu mengiringi.

Untuk bersaing di NT (Nilai Tertinggi) Tp (Terpopuler), harus rajin blogwalking, menyapa para kompasianer, rajin nge Vote, rajin komentar). Sekarang ini mencapai view lebih 100 saja susahnya bukan main, kalau saya tidak menulis politik dan hanya bertahan di rubric Sosial budaya, Life style, apalagi menulis fiksi di Kompasiana, kadang "ngenes" menyaksikan pergerakan pembacanya, tidak terkecuali yang centang biru, apalagi teman  teman yang belum mendapat centang harus berjuang keras menyajikan tulisan berkualitas, aktual dan viral.

Centang biru menurut saya sih belum jaminan tulisan berkualitas. Namun pengalaman kompasianer bercentang biru pasti sudah diakui. Saya mungkin termasuk senior dalam hal usia bergabung di Kompasiana, namun masalah skill menulis dan pintar mengemas tulisan sehingga selalu dilirik pembaca dan langganan HL serta selalu masuk  terpopuler mungkin masih kalah dengan yang lain. Namun apapun karena saya sudah membawa label centang biru, tulisan yang saya sajikan tidak boleh sekedar menulis, terkesan abal -- abal. Setidaknya saya harus selalu membaca, terutama buku yang sesuai dengan latar belakang saya dan juga peminatan saya di rubrik - rubrik sosial budaya dan gaya hidup.

Label itu tersemat dan menjadi sebuah tanggungjawab untuk selalu menulis dan menyajikan karya yang inspiratif, sesuai pengalaman dan kompetensi.Saya percaya kompasianer bercentang biru adalah sosok -- sosok kompeten yang diakui kepakarannya. Kalau saya yang kebetulan sudah bercentang biru saya masih belajar, tidak terbatas pada mereka yang bercentang biru, yang bercentang hijau bahkan yang belum punya label sama sekali. Karena menurut pengamatan saat ini, penulis centang biru juga sangat susah bersaing untuk mendapatkan tempat di HL.

Banyak penulis baru yang kualitas tulisannya memukau dan admin saat ini sering menampilkan HL penulis bercentang hijau.Penulis centang biru saat ini tidak menjadi jaminan mampu menulis nangkring di HL, masuk jajaran terpopuler. Sudah bisa dibaca lebih dari 100 saja sudah bersyukur, sudah dikomentari dan di vote lebiih dari 10 kompasianer saja sudah prestasi.

Kompasiana Premium

Lalu dengan tambahan Kompasiana premium bagaimana? Saya masih bingung, yang saya tahu di Kompasiana Premiun iklannya boleh dikata sedikit, Label premium disematkan karena akhirnya untuk bisa membaca kompasiana harus membayar lewat lewat paket langganan premium. Kalau untuk reader sih mungkin maklum karena mungkin perlu ada penghargaan seperti uang untuk bisa menikmati tulisan yang berkualitas. Bagaimana dengan user yang otomatis adalah Kontributor, mereka adalah penyumbang tulisan tanpa mereka Kompasiana akan sepi sunyi, menulis saja sudah menghabiskan kuota, apalagi diharuskan langganan perbulan. Kalau dari menulis hasilnya lebih dari beban lengganan perbulannya sih tidak masalah, namun bagaimana dengan Kompasianer yang sudah menyumbang tulisan tetapi bukannya menghasilkan malah harus mengeluarkan biaya untuk langganan kompasiana Premium?

Saya saat ini langganan Kompasina Premiun namun dengan label uji coba yang akan selesai 16 Juli, selanjutnya nasib saya bagaimana jika sebagai user saya tidak membayar langganan tersebut, kembali melihat Kompasiana dengan banyak iklankah. Atau dengan Premium tulisan saya semakin sepi. Doa saya sih semoga dengan Kompasiana premium, nasib tulisan para user/ kompasiana semakin baik, dan rewardnya bertambah pula, karena tulisan kita khan sudah dianggap sebagai tulisan profesional, maka layak mendapat reward yang sesuai. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun