Ada banyak ajaran yang menjadi dasar dari wartawan, penulis untuk selalu menimba ilmu dan mencari banyak peristiwa yang bisa dijadikan berita. Wartawan itu harus gumunan. Artinya dalam masa sekarang bisa diibaratkan wartawan itu orang  yang kepo, mau tahu saja apa yang sedang hangat dibicarakan. Jika wartawan atau penulis tidak kepoan maka berita yang ditampilkan cenderung kering, karena hanya mengandalkan informasi kedua, ketiga dan mereka yang bergerak di dunia literasi bisa diibaratkan hanya jemput bola, memungut yang sudah ada.
Pergumulan wartawan sekarang adalah bagaimana tetap mengedepankan hati nuraninya bukan hanya mengejar kehebohan atau agar medianya mendapat raupan iklan yang banyak dan dengan memungut berita bombastis yang bisa menjadi viral. Padahal yang viral belum tentu bernilai berita, mungkin hanya sensasi saja. Sementara yang dibutuhkan masyarakat adalah informasi akurat dari data dan sumber yang terpercaya, mampu memberikan jaminan bahwa informasi yang sampai di masyarakat itu bukan informasi sampah, atau karena campur tangan buzzer.
Simpangsiurnya berita di media online membuat wartawan mengingat lagi prinsip cover both site. Ada dua pandangan tentang berita yang beredar di masyarakat tersebut. Dua pandangan itu memiliki kekuatan masing -- masing, yang terbiasa berbeda pandangan dengan pemerintah misalnya akan selalu mencari informasi yang menyudutkan pemerintah.
Sudut pemberitaan media massa cenderung mencari titik lemah pemerintah. Demikian dengan pembela dan fanatik pada seorang tokoh yang kebetulan ada di jajaran pemerintah. Apapun sepak terjang pemerintah dan tokoh panutannya akan selalu tampak benar, maka penulis, wartawan cenderung mencari sudut pandang yang berbeda sehingga mereka akan mencari faktor -- faktor kebaikan yang membuat isi berita yang ditulis wartawan tersebut selalu dalam sudut pemihakan pada pemerintah.
Yang terjadi sekarang ini agama menjadi lebih dominan, peran mediapun kadang tidak netral lagi. Ada kecenderungan muncul pembelaan karena faktor agama, ada yang dianggap menentang hegemoni agama dan disudutkan mendukung munculnya ideologi komunis yang saat ini sedang ramai diperbincangkan.
Netralitas "kuli tinta(jaman dulu)" dipertanyakan karena banyaknya media yang dimiliki oleh pemilik modal dan pemilik modal itu adalah pengusaha yang aktif dalam partai politik. Dua titik pandang yang berbeda itu yang seharusnya menjadi tugas wartawan, penulis untuk menulis dengan objektif. Wartawan, penulis berdiri di tengah -- tengah untuk menampilkan berita dari survei, wawancara dari sumber terpercaya.
Amanat Hati Nurani Rakyat, menjadi acuan tegas dari pendiri Kompas P K Ojong dan Jakoeb Oetama. Masih sering di dengar bahwa banyak yang mengaitkan bahwa kompas itu adalah singkatan dari Komando Pastor. Banyak alumni seminari, frater, dan bahkan ada wartawan sekaligus Pastur seperti Sindhunata bisa menulis di Kompas karena gemblengan pendidikan seminari menengah(setingkat SMA) yang mencetak pelajar tangguh yang menguasai bahasa, belajar tampil di depan umum dengan latar belakang public speaking, bisa jadi tabungan bila nanti menjadi pejabat, pengusaha, mempunyai posisi khusus di pemerintahan. Padahal Kompas adalah koran umum yang kebetulan pendirinya pernah mengenyam pendidikan calon pastur.Â
Koran dan media cetak kata St Sularto dalam kondisi "remang -- remang", ini sebuah peringatan dan pertanda bahwa peralihan ke era digital itu tidak mungkin terhindarkan dan sebagai koran yang luwes maka grup Kompas sudah mengantisipasi perubahan itu. Yang remang- remang semoga menjadi terang benderang kembali.
Semoga di tengah pandemi dan matinya hati nurani Kompas tetap Promotio iustitiae (Penganjur keadilan) sebab penulis merasa capek membaca komentar di media sosial yang secara tidak langsung menyuburkan ketidakadilan. Salam sehat jiwa, raga, bathin dan masyarakat.Dirgahayu Kompas yang ke 55 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H