Peristiwa pembelahan dukungan antara Jokowi dan Anies Baswedan yang seharusnya menjadi satu paket itu membuat Jakarta terus memanas, bukan saja karena cuacanya saja tetapi juga iklim politiknya, orang- orang yang memanfaatkan konflik untuk kepentingan tersembunyi.
Drama  Politik Itu di Mulai dari Media?
Apakah antara Jokowi dan Anies Baswedan punya dendam pribadi? Pastinya tidak, tetapi media dan netizen seperti asyik mengipasi perbedaan , pembelahan itu sehingga seakan - akan dua tokoh publik itu sedang berkonflik.Â
Kadang kita melihat asyik - asyik saja keduanya bicara, tetapi dalam kondisi berbeda dalam kesempatan berbeda kata "media" seperti ada saling sindir, saling menonjolkan gaya berbeda.
Anies yang berasal dari dunia akademis, dikatakan sebagai orang yang pandai berkata - kata, pandai membuat istilah. Selalu ada yang beda antara Anies dan Jokowi.Â
Kata orang Anies itu pintar betul membuat kata - kata sehingga apapun istilah yang muncul dari Jokowi, ia seperti membantahnya dan membuat atau memberi istilah sendiri dalam setiap wawancara dengan media.Â
Masih ingat kata, rumah lapis dan rumah susun, Banjir dan genangan, naturalisasi dan normalisasi. Anies pun kata media menajamkan perbedaan antara New Normal dan Transisi.
Penajaman istilah yang dipakai para pejabat pemerintahan itu sebetulnya tidaklah urgen. Yang paling utama adalah apakah istilah itu memberi pengaruh terhadap respon pemerintah dalam mengupayakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan golongan, ormas, agama maupun perbedaan lainnya. Sebab sekarang ini banyak yang mabuk istilah, mabuk politik, mabuk agama, mabuk komentar di media.
Media tidak lagi netral  duduk di tengah - tengah  peliknya persoalan bangsa. Tentunya dengan semakin serunya perbedaan dan gerakan- gerakan yang ingin mendongkel kekuasaan para pemburu kekuasaan semakin tersenyu lebar untuk bisa membuat pemerintah pontang - panting. Mereka para politisi memanfaatkan situasi tidak normal dalam suasana pandemi untuk mencoba mengulik sisi lemah pemerintah.
Anies dalam posisinya sebagai gubernur DKI diuntungkan oleh konflik tersebut. Disebutnya nama yang masif, terstruktur  akan menguntungkan dirinya yang digadang- gadang untuk menjadi next presiden.Â
Kelemahan Jokowi menjadi makanan empuk bagi mereka yang katanya "pintar berkata- kata" itu untuk segera melengserkan sandungan. Kalau perlu dipercepat transisi kekuasaan tentu akan dilakukan oleh para petualang politik.Â