Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Manusia Lebih Takut Agama daripada Tuhan

5 Juni 2020   11:06 Diperbarui: 5 Juni 2020   11:23 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama tercipta karena manusia butuh ruang sosial, komunitas dan kesamaan persepsi tentang siapa pencipta alam semesta. Agama memberi tempat untuk bersama orang -- orang yang sepaham, sekeyakinan dalam memandang bagaimana wujud Tuhan sesungguhnya. Mempunyai agama membuat manusia lebih tertata moral, tindak tanduk dan kelakuannya. 

Yang disebut orang beragama adalah orang -- orang yang tunduk pada aturan seperti tidak boleh menyakiti manusia lain, tidak boleh melakukan perzinahan diluar ketetapan yang diatur dalam agama masing masing. Dengan agama manusia menahan diri untuk beda dengan makhluk lain seperti hewan yang tidak terikat dalam aturan misalnya tidak boleh membunuh, tidak boleh penganiayaan, ikut aturan hukum yang berlaku, tidak hidup karena naluri saja untuk bisa bertahan hidup.

Agama memberi landasan tingkah laku untuk sebagai manusia yang penuh kasih sayang, saling menghargai manusia satu dengan manusia lainnya, membiarkan manusia tunduk khusuk berdoa menyediakan diri berdialog dengan Tuhan.

Orang dekat Tuhan pasti menginginkan perilakunya tidak menyalahi ketetapan Tuhan. Intinya agama itu membuat orang lebih sabar, jujur, penyayang, pengasih, pengampun dan tidak takut ancaman. Semua agama mengajarkan kasih sayang, mengajarkan orang untuk saling respek. Yang terjadi sekarang di era media sosial terasa aneh, ketika banyak artikel, banyak tulisan di media sosial baik opini atau berita malah membuat orang takut pada agama. 

Agama sebagai sumber penyejuk saat ini beralih fungsi menjadi agama sebagai sumber konflik, sumber rasa was- was, tidak nyaman dalam beribadat dan berdoa.

Mengapa banyak manusia beragama takut akan perkembangan agama lainnya. Apa yang terjadi ketika sebuah negara berlandaskan Pancasila yang didalamnya toleransi dan keberagaman dilindungi, masih ada pejabat yang pura pura bodoh atau benar -- benar khilaf dengan apa yang dilakukannya. 

Bagaimana bisa pejabat mengatur agama. Mengatur pembuatan aplikasi Kitab suci tidak boleh diterjemahkan dalam bahasanya. Ia malah seperti Tuhan yang berhak mengatur hak mati dan hidup orang, bagaimana cara beragama dan bagaimana menempatkan diri dalam sebuah wilayah yang alergi perbedaan.

Sebuah tragedi kemanusiaan yang diperlihatkan betapa orang -- orang pandai bisa dibodohkan karena fanatisme agama yang sempit. Perilaku orang- orang yang katanya "beragama" namun melanggar hak -- hak orang lain untuk beribadah. Bukankah agama itu wilayah pribadi, wilayah privat. Hanya dia dan Tuhan yang bisa mengukur kadar keimanannya. Kalaupun tidak khusuk beragama tetapi dalam hidupnya  selalu ringan tangan sering menolong sesama, sering menyumbangkan harta benda dan tenaga apa yang salah dengan orang itu yang ibadahnya masih bolong- bolong.

Kenapa harus ada hitung- hitungan imbalan dan perhitungan matematis dari jasa dan kebaikan yang sudah dilakukan manusia. Seberapapun kebaikan dan kasih  sayang manusia hanya nurani dan Tuhan yang tahu. Saat ini banyak manusia malah lebih takut agama lain daripada takut akan Tuhan. 

Takut terhadap perkembangan agama, takut akan kebaikan -- kebaikan dari agama lain, takut bahasanya lebih diterima, sehingga melahirkan kecemasan yang tidak perlu. Bukankah sering diajarkan untuk berlomba -- lomba dalam kebaikan, lalu mengapa harus takut jika orang atau agama lain juga melakukan kebaikan, bukankah itu malah semakin bagus karena semakin banyak agama dan manusia sadar untuk berbuat baik terhadap sesama.

Ketika agama sudah masuk dalam lingkaran pemikiran politik rasanya menjadi aneh dan membingungkan, sebab rasanya menjadi sebuah transaksi dari sebuah kebaikan. Orang menuntut upah atas kebaikan, orang selalu mengukur dan membanding- bandingkan dengan yang lain. Kenapa tidak berpikir berbuat baik ya berbuat baik sebab itu keyakinan, kepercayaan bahwa ketika mencintai Tuhan maka ia juga mencintai manusia, karena manusia itu secitra dengan Tuhan. Ketika manusia bisa mencintai makhluk hidup, mencintai dan mengasihi manusia lain berarti ia sudah beragama dengan benar.

Lalu mengapa sepanjang sejarah manusia manusia beragama selalu rawan konflik, saling bertengkar dan membunuh demi sebuah keyakinan. Karena manusia sudah mencampuradukkan politik dan agama, sehingga sebagai orang beragama ia masih berambisi untuk menjadi yang terbaik, kalau perlu menyingkirkan manusia lain, menyingkirkan keyakinan lain agar ia bisa duduk sebagai yang terbaik dan tidak tersaingi sebagai orang ter -- di muka bumi ini.

Yang terjadi dalam relasi beragama di Indonesia adalah betapa wawasan orang beragama amat rendah sehingga muaranya  bukan berlomba -- lomba dalam kebaikan tetapi berlomba -- lomba mendapat perhatian Tuhan agar ia sebagai manusia beragama lebih didengar, lebih dilihat, diprioritaskan karena ia telah berhitung bagaimana ia sudah berbuat kebaikan, menyisihkan sebagian hartanya untuk menolong yang lain, menyisihkan sebagian pendapatannya untuk orang lain supaya diakui bahwa ia adalah orang baik. Di satu sisi ia perlu menekan, mengancam dan membuat orang lain tidak nyaman karena ia tidak suka orang lain, keyakinan lain lebih baik dari dirinya.

Saya bukan sedang menyerang atau mendiskreditkan manusia lain atau agama lain. Saya hanya memotret, merenungkan dan mengambil garis imajinasi. Apa yang terjadi saat ini manusia termasuk saya ternyata terjebak dalam sebuah situasi dimana manusia jauh lebih takut pada agama daripada kepada Tuhan sendiri. 

Jika manusia takut pada Tuhan ia pasti tidak akan menyingkirkan orang lain atau melarang orang lain berdoa dengan cara mereka sendiri. Mau dengan bersimpuh, berdiri, duduk, dengan bahasa apapun sejauh doa itu diniatkan untuk memuji dan mengagungkan Tuhan apa yang salah. Setiap agama punya aturan sendiri, punya kebaikan masing- masing. Orang yang sudah menyerap esensi beragama pasti takut untuk melakukan pembohongan, korupsi, apalagi melakukan fitnah yaitu menyebarkan berita yang belum tentu benar ke publik.

Manusia sekarang  termasuk saya terjebak dalam situasi dimana manusia lebih percaya benda digital yang kadang sering membawa pengaruh buruk, menyebarkan berita hoak lebih banyak daripada menyebarkan berita sukacita dan dengung kebaikan. Banyak orang lebih suka berita bombastis, berita -- berita yang menaikkan adrenalin daripada berita permenungan dari orang -- orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Banyak pemuka agama yang lebih suka terjebak dalam permainan politik daripada memberi pencerahan pada orang- orang yang masih perlu dibimbing keimanannya. Anak -- anak sejak awal sudah diarahkan untuk fanatik dan selalu curiga pada keyakinan lain. Padahal dulu ketika manusia masih terikat dengan tradisi dan upacara- upacara untuk menghormati alam dan segenap penghuninya, rasa damai itu hadir karena agama bukan sebagai pembeda, agama bukan sebagai penyekat. Dalam satu ikatan rasa dalam suasana tradisional yang lebih menghargai orang lain sebagai teman, satu komunitas, satu wilayah, sedangkan agama adalah urusan manusia dengan yang menciptakan.

Kerinduan untuk tidak saling curiga itu masih bergema di lingkungan, di kompleks perumahan. Di kompleks saya misalnya canda tawa itu masih terbawa karena kesamaan sebagai penghuni satu kompleks yang menghadapi permasalahan kompleks bersama -- sama. Masalah agamapun agamaku agamamu. Tidak ada perasaan saling mengganggu. Lalu ketika saya masuk dalam perdebatan dunia maya konflik itu tampak semakin dramatis, terlihat dari komentar netizen yang merasa lebih agamis dari netizen lainnya.

Sebagai penutup dari artikel ini. Siapakah saya, hanya debu dari besarnya alam semesta ini. Kalau saya mencoba merenung bukan berarti lebih baik dari pembaca, saya hanya merasa kok banyak manusia pintar mengorbankan diri menjadi bodoh hanya karena fanatisme sempit. Belajar lama di institusi baik formal dan non formal namun dalam pola pikirkan masih terjebak dalam pandangan pendek tentang relasi jika manusia sudah terjebak dalam permainan bernama politik.

Semoga momentum Corona covid 19 itu membuka hati jiwa manusia untuk saling tenggang rasa, saling respek, saling membantu baik dalam susah dan senang. Bukan mencuri start untuk menjatuhkan lawan politik. Kalau manusia terjebak untuk takut akan agama lain, takut akan kebaikan manusia lain, bagaimana manusia bisa memperkuat kualitas diri. Jangan sampai Indonesia terjebak dalam perdebatan aneh yang tidak membuat efek kemajuan bangsa malah memberi efek buruk relasi antar manusia. Salam damai selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun