Tepatnya hanya sebagai sambilan. Di Kompasiana ini saya menemukan lahan yang cocok untuk berbagi tulisan, bukan hanya saya simpan saja di deretan catatan diary saya, atau cerpen - cerpen yang kebanyakan ditolak oleh redaksi cerpen (karena saya sombong kirimnya ke koran -- koran besar yang susah ditembus).Â
Di Kompasiana saya menemukan tempat di mana saya bisa menulis apa saja, bukan hanya cerpen atau puisi, tetapi juga menulis gaya hidup, menulis olah raga, menulis sosial budaya. Tidak terasa sudah bertahun tahun. Saat para penulisnya datang dan pergi saya masih bertahan dan mendapatkan verifikasi biru, dengan perjuangan yang panjang.Â
Tulisan ini adalah tulisan saya ke 899 satu lagi tulisan saya akan genap 900. Bagi saya mungkin bukan pencapaian, tetapi 900 tulisan bukanlah sedikit. Saya berterimakasih kepada Kompasiana yang menampung tulisan - tulisan saya. Saya jadi bisa bernostalgia saat menulis pertama kali di Kompasiana sekitar Januari 2010. Melangkah pelan - pelan hingga akhirnya di tahun 2020 ini tulisan saya mencapai 900.
Sebuah konsistensi memang butuh pengorbanan. Kalau tidak berkorban pasti saya sudah bosan menulis di Kompasiana. Apalagi selama kurun waktu itu saya hanyalah bagian kecil dari penulis yang ada di tengah - tengah, tidak dipuncak tetapi juga tidak terlalu di bawah. Kompasiana telah membentuk kesabaran saya, membentuk konsistensi saya sehingga saya bisa bangkit dari rasa bosan dalam menulis.
Sedih Kecewa, Senang Harus Dilalui Sebagai Pendewasaan Menjadi Penulis
Ada proses yang pasti dilalui penulis yaitu kecewa, sedih, frustasi, putus asa ketika tulisan tidak diapresiasi dengan baik. Ketika hanya beberapa orang atau pembaca yang membaca tulisan - tulisan yang dengan berdarah- darah ditulis (lebay hehehe).
Apalagi ketika sudah capek capek mengikuti lomba tetapi tidak pernah mendapatkan kesempatan mendapat nominasi. Kesabaran itu antara lain ketika tidak terasa sepuluh tahun telah dilalui dengan berbagai pengalaman berharga.Â
Saya memang salah satu kompasianer yang kurang aktif di komunitas, bukan apa- apa saya sudah berkeluarga. Dalam keluarga mereka bukanlah pendukung setia saya menulis, saya menulis dari waktu - waktu saya di kantor atau di luar aktifitas di rumah, atau saat malam tiba ketika sudah tidak ada lagi kegiatan sebagai orang yang sudah berumah tangga. Beda dulu ketika masih bujangan yang bebas menulis kapan dan di mana saja.
Dari sempitnya kesempatan saya masih bisa menulis dan konsisten, itu sebuah pencapaian saya. Maka saya bersyukur saat menulis artikel ini ada beberapa orang yang masih konsisten mengikuti tulisan- tulisan receh saya. Bahkan saya sempat kaget ketika pulang kampung saya mendapat tanggapan bagus ketika ada teman dan kenalan yang selalu mengikuti dan membaca tulisan - tulisan saya di Kompasiana.
Semoga saya bisa belajar sukses dari para Kompasianer, yang mempunyai bakat khusus menulis, sehingga meskipun baru sebentar bergabung tetapi sudah menunjukkan prestasi luar biasa dalam menulis, sering menjuarai beberapa event menulis, sukses menapak karier dari kemampuannya dalam menulis.
Puasa Ujian Kesabaran dan Konsistensi
Kompasiana telah membentuk mental baik sebagai penulis tahan uji, yang tidak mundur ketika tulisan hanya sempat dilirik tanpa sempat dibaca.Saudara saudara Muslim saat ini juga sedang menghadapi ujian kesabaran,konsisten untuk berpuasa sebulan penuh.
Akan lebih nikmat jika sebulan penuh tidak melewatkan satu haripun tanpa puasa. Menulis juga akan memuaskan jika dilakukan dengan konsisten mengikuti proses, Ini tulisan saya menuju ke 900.Salam damai selalu.
Baca Juga:Â Dua Tipe Kompasianer: Menulis Tanpa Berpikir dan Berpikir Tanpa Menulis