Jauh -- jauh hari  seorang penulis selalu berharap ia akan menemukan kebahagiaan setelah menulis. Senang karena ia telah menaklukkan kemalasan dirinya dengan menuliskan satu artikel utuh. Lalu artikel itu dikemanakan? Karena berkali -- kali ditolak oleh koran maka ia memutuskan menaruhnya di platform blog.Â
Padahal kalau dibaca mendalam tulisannya itu mengandung tuntunan nilai dan pengetahuan luar biasa. Seperti tulisan seorang intelektual yang biasa menuliskan kata di jurnal ilmiah. Artikel itu ternyata merana, hanya merangkak lambat dan jarang dilirik pembaca blog yang rata- rata tidak menyukai artikel serius.
Lalu ke mana artikel artikel sunyi itu harus berdiri. Sementara sekuat mentalnya berharap ada pembaca tetaplah bisa dihitung dalam hitungan menit. Mata penulis itu menyiratkan kecewa dan seperti ingin menangis menyaksikan tulisannya hanya dilihat oleh segelintir pembaca termasuk dirinya. Ke mana pembaca, ke mana nuranimu, Â sejauh mana nuranimu mau peduli pada kesedihan yang penulis artikel.
Ingin menjerit, ingin teriak tetap saja akhirnya waktulah yang memenggal citanya. Artikel itu masuk rak terdalam dari ingatan pembaca. Lalu bagaimana sih selera pembaca.Â
Ia telah menulis dengan berdarah- darah, mengalahkan ego, mengalahkan kemalasan, kepurusasaan, namun lagi -- lagi deretan kata dalam artikelnya tetaplah hanya sebagai pajangan yang dalam waktu beberapa menit sudah hilang tanpa mata pembaca yang mau melirik tulisannya.
Artikel masuk dalam deretan kesunyian. Menulis tidak lebih membahagiakan ternyata. Ia hanyalah bagian dari kesunyian dan rasa sakit hati. "Apakah aku harus dendam", bathin penulis. Toh ini baru tulisan satu -- satunya.Â
Untuk mampu menghasilkan tulisan yang dicintai kau harus melewati seribu gunung. Kau sudah melewati turunan dan tanjakan kehidupan. Dalam menyusur seribu gunung itu, kau pernah merasakan puncak popularitas, puncak ketenaran. Jika baru satu artikel dan kau sudah menyerah lebih baik tidak menulis.
Mulai saja menjadi pembaca. Sebagai pembaca tentu kau akan tahu apa yang dimaui pembaca terhadap artikel, terhadap karya sastra. Kau akan tahu komparasi yang pas bagaimana memahami pembaca saat menjadi penulis, dan memahami misi penulis saat menjadi pembaca. Artikel- artikel sunyi tidak perlu disingkirkan.Â
Ia sudah menjadi bagian dari sejarah. Suatu saat akan tetap ada pembaca yang membuka lembaran -- lembaran katanya. Belum waktunya artikel membunuh dirinya sendiri, karena sejelek- jeleknya artikel toh hasil dari pemikiran, hasil dari pengalaman hidup sang penulis.
Apakah kau pernah merasakan betapa menderitanya artikel tanpa pembaca. Bagaimana pengarang dan penulis tahu bahwa berkat tulisannya oplah majalah dan artikelnya naik tajam.Â
Meskipun hanya satu dan dua pembaca tetaplah sebuah artikel menjadi bagian dari sejarah. Kecuali tulisan karya penulis ternyata hanyalah plagiat dari penulis lain, Itu sih hanyalah salah satu cara penulis membunuh nasibnya. Ia akan tertelan sejarah karena menjadi penulis Copy Paste.
Baiklah tulisan diatas adalah bagian tulisan seriusku. Deretan kata itu lebih sebagai penggenjot semangat dan kadang sebagai penghiburku saat tulisan- tulisanku merangkak lambat di deretan perhatian pembaca.Â
Padahal tulisanku sudah dibuat dengan sepenuh rasa dengan bumbu referensi dari buku dan link terpercaya. Tetapi pembaca mungkin pas sedang jenuh dengan tulisan tulisan saya yang paling tidak masuk rating tertinggi ataupun terpopuler.
Apa salahnya tulisanku sehingga hanya menghuni dinding sepi pembaca. Apakah mereka sedang merenungi dan membayangkan betapa ngerinya corona virus Covid-19.Â
Apakah mereka menginginkan tulisan dari mereka yang belum mempunyai kesempatan naik daun. Penulis harus berani menapak jalan sunyi dan sekaligus tidak harus sombong ketika ia dan tulisannya selalu membuat jatuh cinta pembaca dan pengelola konten.
Tulisannya sudah terbranding, maka apapun tulisannya tulisannya tetaplah mampu menangguk sejumlah pembaca yang penasaran dengan karya tulisnya. Artikel- artikelnya yang sunyi ia depak, disingkirkan dari deretan prestasinya yang mengkilap.Kalau saya biarlah artikel- artikel sunyi itu menjadi bagian dari proses kehidupan.Â
Tidak selalu kehidupan itu di atas. Seperti roda nasib bisa saja menyeret bahwa ia masuk dalam kehidupan paling bawah, lalu pelan -- pelan naik hingga menggapai puncak, selanjutnya hidup kembali menurun dan terjerembab dalam titik terendah, menderita, sakit dan nestapa melanda. Tetapi bagaimanapun roda itu terus berputar.
Bisa jadi tulisan- tulisan sudah populer tetapi hidup ternyata bukan hanya masalah bagaimana memperoleh kesuksesan. Kehidupan itu penuh warna. Sebuah peristiwa bisa tiba- tiba datang tanpa diduga. Maka manusia selalu harus siap menerima kesunyian, sama seperti artikel -- artikel sunyi yang kehilangan pembaca.
Mari berdialog kenapa artikel hidup dalam kesunyian tanpa pembaca, tanpa komentar. Setiap manusia normal akan selalu bisa belajar dari kesalahan. Setiap kegagalan akan selalu diiringi dengan kesuksesan, dengan catatan manusia tidak lantas putus asa pada usaha pertama. Kegagalan pertama adalah kunci dari kunci kesuksesan selanjutnya.Â
Yang penting manusia mesti sadar bahwa tidak ada kesuksesan tanpa melewati kegagalan. Adanya putih karena ada hitam yang menjadi perbandingan.Â
Adanya keindahan warna karena ada banyak warna lain yang memperkaya. Ada artikel sunyi karena pasti ada artikel yang mencapai tangga sukses dan populer. Jadi jika gagal hari ini bukan berarti tamat cerita sukses hari esok. Usaha dan konsistensi itu yang terpenting. Di Kompasiana.Â
Hukum alam terjadi. Ada yang sukses. Ada yang selalu berusaha menjadi terbaik tetapi masih terganjal kualitas dan keberpihakan. Bagaimanapun waktu akan menjawab.Â
JIka ingin bangkit maka tidak perlu takut ditinggal pembaca, karena bagaimanapun dari ribuan dan jutaan pembaca akan mencari cerita dengan sudut pandang lain. Dan barangkali tulisan sunyi suatu saat akan terbaca karena pembaca akan selalu mencari sudut pandang berbeda.
Jadi tetaplah bertahan meskipun artikel-artikel sunyi melekat dan menjerit dalam himpitan penulis populer. Suatu saat tulisanmu akan bergema karena sudah menemukan jatidirimu.Â
Itulah suara hatiku sedang berbicara, adakah pembaca lain merasakan kata hati yang tengah dibekap dalam kesunyian. Semoga masih ada pembaca yang mengerti sudut pandangku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H