Semakin hari jumlah pasien Virus Corona terus bertambah. Di Jakarta sendiri sudah sekitar 897(menurut data dari Kompas.com) Korban meninggal sudah 90.Tetapi berdasarkan Press release Anies Media Anies memberi data 283 meninggal dengan prosedur standar penanganan coronavirus. Padahal data nasional kematian akibat Corona  170 orang. Perbedaan itu memunculkan polemik karena tidak ada kesamaan data antara pusat dan daerah.
Pusat-pusat perbelanjaan, kantor-kantor sepi, pedagang-pedagang dengan pusat perkantoran mulai mudik ke Kampung halaman dan pergerakan ekonomi akibat Corona melambat. Jakarta tengah mengalami kepanikan saat melihat aktivitas sehari-hari di pusat perkantoran dan perdagangan.
Dengan meningkatnya kasus Corona banyak yang dipikirkan oleh Pemprov DKI ada wacana Isolasi ketat terhadap Jakarta dan menghimbau warganya untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Anies Baswedan bahkan tampak bergetar ketika membacakan jumlah korban Corona di Jakarta. Jakarta adalah kota terdampak Corona paling banyak korbannya. Berbagai upaya sudah dilakukan, dari penyemprotan disinfektan di jalan- jalan utama Jakarta sampai mengubah Wisma Atlet menjadi rumah sakit bagi para pasien yang terpapar virus Corona.
Jakarta tampak genting dan mulai memperngaruhi sisi psikologis warganya. Masyarakat mulai gelisah, sebab semakin lama di rumah tidak beraktivitas maka pendapatan semakin menipis. Kebutuhan untuk makan dan beraktifitas di rumah membutuhkan banyak uang, sedangkan harga-harga sembako di pasaran semakin naik tidak terkendali. APD (Alat Pelindung Diri) menghadapi covid-19 semakin langka. Jika bisa ditemukan harganya mencekik leher.Â
Banyak pedagang, penimbun, pengepul mulai jahat memainkan harga dan ingin meraih keuntungan besar di tengah penderitaan masyarakat menghadapi wabah ini. Sebagai kota besar harusnya Jakarta bertindak cepat membagikan masker, yang terjadi masyarakat malah kebingungan dengan harga masker yang gila-gilaan.
Rasa kemanusiaan para pedagang dan para pelaku penimbunan menipis. Mereka seperti ingin mengatakan biar saja mereka menderita yang penting saya untung besar. Persoalan lingkaran setan harga-harga masker ini tentu muncul dari pedagang besar. Mereka yang mempunyai modal luar biasa melepas masker di tataran pedagang dibawahnya dengan harga sudah di markup dan sampai pedagang kecil maka harganya menjadi melonjak tajam.
Indonesia memang luar biasa dalam solidaritas. Nilai-nilai kegotongroyongan yang dulu terkenal mulai luntur oleh sikap serakah dan individual. Nilai-nilai Pancasila benar-benar hanya tipis tertanam dalam jiwa raga masyarakatnya. Masyarakat mulai egois dan memikirkan diri sendiri.
Di Perkampungan Jakarta seperti tempat tinggal saya di Pedongkelan suasana tetap biasa. Hanya satu dua orang yang memakai masker, lainnya tetap beraktifitas biasa, semakin banyak orang yang duduk-duduk nongkrong di depan rumah, semakin terlihat kerumunan orang karena banyak dari mereka yang diliburkan.Â
Bagaimana melakukan darurat Corona jika disiplin masyarakatnya masih amburadul. Bukannya takut akan semakin merebak wabah akibat masyarakat yang cenderung cuek terhadap persebaran Cororna. Semakin lama wabah bertahan pasti akan semakin terdampak pada perekonomian terutama Jakarta sebagai pusat persebaran uang. Lihat aktifitas pedagang di Tanah Abang, Mangga Dua, Glodok, Asemka. Jika pusat perdagangan itu akhirnya tidak ada aktifitas berapa kerugian Jakarta dan juga Indonesia.
Jokowi sudah jauh -- jauh hari menghimbau masyarakatnya mematuhi anjuran pemerintah untuk sementara mengisolasi diri, beribadah di rumah, melakukan pekerjaan dari rumah. Tapi di sementara perkampungan padat penduduk sosialisasi isolasi diri itu rupanya hanya angin lalu. Jakarta Harusnya adalah tempat orang- orang yang berpengetahuan luas. Hampir tiap kepala punya HP punya kesempatan untuk update berita dan memberitahukan kepada keluarganya tentang bahayanya berkeliaran di jalan saat wabah Corona mengancam di mana- mana.
Kepada aparat Jakarta turun ke lapangan, coba masuk ke perkampungan padat penduduk, lakukan sosialisi, memberi pengertian kepada mereka untuk mulai menerapkan Social Distancing, Phisical Distancing. Bukannya ketakutan dan cemas, tetapi Jakarta adalah embrio dari persebaran Corona ke segala arah. Mereka yang pulang kampung barangkali membawa virus ke daerahnya, mereka yang santai tetap beraktifitas normal di tempat umum barangkali tidak sadar tertempel virus.Â