Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Surabaya Aparatnya Galak Masalah Corona, Bagaimana Jakarta?

28 Maret 2020   17:17 Diperbarui: 28 Maret 2020   17:43 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Surabaya upaya memangkas penyebaran Covid -- 19 gencar dilakukan. Berbagai upaya dari penyemprotan pakai drone, mencegat ojek online dan melakukan penyemprotan dengan menggunakan desinfectan pembunuh virus dan turun langsung Trirismaharini untuk melakukan jaga jarak antar manusia. Di Tegal Wali kotanya melakukan isolasi kotanya dengan menutup akses ke Tegal dan melakukan pemeriksaan ketat pada pendatangnya.

Bagaimana dengan Jakarta. Para pekerjanya yang notabene para pendatang berbondong- bondong pulang kampung. Mereka bingung sebab susah mencari uang saat pemberlakuan social distancing dan para pekerja, karyawan, guru, anak sekolah untuk melakukan aktifitas di rumah saja.

Imbasnya bukannya membaik. Kerumunan di Jakarta tidak berkurang terutama di kantong- kantong perkampungan padat penduduk seperti di Pedongkelan Jakarta Barat. Mereka tetap bisa jalan -- jalan tanpa masker, nongkrong di teras, memenuhi jalan dengan bermain sepak bola di jalan dan area kosong dipenuhi anak yang main layang- layang. Ini sih tidak ada bedanya. Mereka yang berpakaian rapat dan selalu mengenakan masker sedikit bahkan kadang ancaman Corona seperti tidak manjur bagi mereka.

Kepiye sih Jakarta?Bagaimana sih Jakarta? Banyak orang ngeyel dan bandel tidak mau melaksanakan instruksi pemerintah. Ada sih upaya penyemprotan tetapi baru sekali sejak munculnya berita merebaknya Corona sepertinya cuek- cuek saja seperti tidak pernah terjadi peristiwa yang luar biasa. Memang boleh dikatakan hebat benar orang Jakarta. 

Hanya sedikit yang mengindahkan pengumuman itu. Padahal di Masjid,  sudah sering diinformasikan untuk tidak membuat kerumunan, tetapi memang watak kaum urban yang menghuni pemukiman amat bandel. Apa tidak takut wabah menyergap mereka.Dari informasi yang didapat dari portal berita Detik dan Kompas.com. 

Jakarta hari ini ditemukan 627 kasus, tetangganya Jakarta yaitu Jawa Barat sudah ada 119 kasus dan Banten 103 kasus. DKI , Jawa Barat dan Banten saja kalau digabungkan sudah sekitar 849 positif Corona, tetapi yang penulis lihat di lapangan terutama di wilayah Jakarta Barat Khususnya di Pedongkelan masyarakatnya masih basa saja seperti tidak merasakan betapa penularan covid -- 19 sangat mengkhawatirkan.

Sebetulnya bukan menakut- nakuti tetapi memutus rantai penyebaran Corona khan lebih baik daripada mengobati. Mereka tidak sadar ancaman virus itu ada di sekitar mereka tetapi penduduk Jakarta terutama di perkampungan benar- benar kelewatan beraninya.  Mereka yakin tidak akan terserang virus, dan tidak perlu panik seperti pemberitaan- pemberitaan di media massa dan media sosial. 

Memang bagus sih jika tidak panik, tetapi berjaga- jaga itu lebih penting daripada tertular. Nah itu yang jarang ada dalam pikiran masyarakat. Ketika sebuah peristiwa luar biasa muncul baru mereka tunggang langgang mencari perlindungan, jika masih biasa saja "sok jagoannya" itu mengalahkan apapun yang seharusnya dipatuhi agar tidak muncul bahaya yang lebih besar.

Duh, Apakah saya dan keluarga saya sih yang begitu parno (paranoid) sehingga ke mana- mana memakai masker. Mereka yang masih biasa menganggap orang memakai masker itu orang aneh, padahal apa salahnya memakai masker. Ini khan upaya perlindungan diri dan pencegahan juga. Sayang benar- benar sayang Jakarta memang dipenuhi oleh orang- orang ngeyel. Sudah dibilang tidak keluar rumah malah berbondong- bondong pulang kampung. Mereka pikir di desa lebih aman, di daerah lebih nyaman. Padahal di daerah pengawasannya lebih ketat daripada ibu kota sendiri.

"Piye to mbak Yu, sampeyan malah pulang, siapa tahu juragan njenengan terkena virus, itu khan hanya memindahkan penyakit dari kota ke desa tho."

Mereka hanya bilang. Hehehe nyuwun sewu, di Jakarta susah mencari uang gara- gara kantor- kantor tutup, tidak banyak yang jajan sehingga percuma mendirikan lapak kalau tidak ada yang beli.

"Susah, mas ting Jakarta (susah mas di Jakarta), kebutuhan pokok minggah sedoyo, telur larang, nggangge nopo mangane mangkeh"(kebutuhan pokok naik semua, telur mahal, pakai apa nanti makannya)

"Ting Mriki taksih saget mangan najan namung godhong- godhongan." (Di sini masih bisa makan meskipun hanya dengan daun daunan)

Memang dilema bagi kaum urban yang hidup di Jakarta. Mereka mencari rejeki dari banyaknya kerumunan dan dari mobilitas warganya. Kalau Orang Jakarta hanya diam di rumah, jalanan lengang, kantin sepi, lapak kaki lima senyap bagaimana bisa bertahan hidup. Sampai kapan bencana berlalu, bagaimana bisa hidup dengan keuangan terbatas. Sedangkan banyak dari mereka yang menggantungkan pendapatan harian dari kehidupan Jakarta yang dinamis.

Menurut informasi pandemic Corona Jakarta terbanyak dibanding dengan daerah lain. Korban Covid -- 19 akan melaju jika tidak ada kedisiplinan yang datang dari masyarakat. Dan di antara pandemic itu ternyata kaum urban yang akhirnya pulang kampung maka ia hanya akan menyebarkan penyakit ke daerah.

Pemerintah harus secepatnya untuk bertindak. Kalau ada larangan pulang kampung insentif bagi mereka yang terdampak Corona terutama pada mereka yang sama sekali tidak bisa bekerja karena banyak orang melakukan isolasi diri harus segera dikasih kepada mereka. Agar mereka tidak bondong- bondong ke kampung maka penuhi kebutuhan pokok untuk bisa bertahan di Jakarta selama masa isolasi berlangsung. 

Karena kalau cuma imbauan saja ya dadah -- dadah saja, Karena percuma mereka tidak takut sakit, mereka Cuma takut kelaparan karena tidak bisa bekerja. Kalau tidak bekerja berarti tidak punya pendapatan, tidak punya pendapatan berarti tidak punya uang sedangkan makan keseharian, tinggal di rumah juga butuh asupan gisi dan makan yang cukup supaya tetap sehat dan tidak stres.

"Terus bagaimana ini. Kalau tidak mau kami mudik yang kasih kesempatan kami mencari rejeki. Kalau pegawai negeri dan swasta tetap diganji bagaimana dengan orang- orang lapangan seperti kami?"

Begitulah derita orang- orang lapangan. Jangan hanya melarang pulang tetapi tidak kasih solusi. Perut juga minta diisi, jika tidak diisi maka virus mudah nempel dan akhirnya terkena penyakit.Sekarang sakit itu siksaan berat. Sebab batuk sedikit saja dokter langsung jaga jarak, takut terserang virus yang menyerang siapa saja tidak peduli. Kalau dokter jaga jarak bagaimana penyakit disembuhkan kalau dokter saja takut memeriksa. Bagaimana ini Bang, Jangan hanya santuy- santuy saja di rumah bantu dong mikir. semoga virus cepat berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun