Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Double Job" Guru di Rumah Saat Darurat Corona

22 Maret 2020   07:50 Diperbarui: 22 Maret 2020   07:58 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika guru bekerja dari rumah, sebetulnya pekerjaannya menjadi bertambah dua kali lipat. Saya katakana sebagai guru yang mempunyai murid di beberapa kelas ia juga mempunyai murid tambahan yaitu anaknya sendiri. Kesibukan guru dua kali lebih banyak ketika ia bekerja di sekolah.

Bukan hal yang mudah mengajari anak. Guru bisa dengan sabar mengajari anak di sekolah, membuat rancangan pola belajar yang efektif di kelas, sedikit santai karena siswa di kelas pasti bisa diajak diskusi saling membantu dan menyempurnakan pengetahuan.

Tetapi jika muridnya adalah anaknya sendiri jauh lebih berat karena biasanya akan lebih emosional. Anak kadang lebih susah didorong belajar, banyak alasan bahwa ia malas belajar, dan guru menjadi lebih cerewet mengingatkan kepada anaknya untuk menyiapkan tugas – tugas dari gurunya. Kadang ia harus membantu anaknya memecahkan persoalan dari tugas yang diberikan oleh guru sekolahnya.

Yang jelas tenaga ekstra benar- benar disiapkan dengan pembelajaran di rumah. Maka menjadi maklum ketika banyak  guru merasa stres, kadang berpikir tidak sanggup mengajar di rumah, menyerah dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi perpanjangan tanggap darurat Corona. Semakin lama belajar di rumah, semakin banyak tekanan. 

Apalagi mereka yang susah mengikuti perkembangan digital. Biasanya guru senior yang lambat dalam mengikuti teknologi digital. Mereka yang biasanya mengajar secara manual, yang jarang memakai bantuan teknologi, dipaksa belajar pembelajaran online. Beban bertambah, stres datang, darah tinggi tidak terhindarkan.

Itulah dilema guru. Kadang menjadi aneh ketika KPAI seperti menyangsikan pekerjaan guru dan selalu menempatkan  kepentingan guru dibawah hak anak didik. KPAI selalu berfokus pada anak, hak anak, perlakuan guru terhadap anak dan berbagai sudut pandang lain yang menyudutkan guru. KPAI harus cerdas melihat permasalahan sehingga guru dan anak didik  mendapat porsi yang sama haknya dalam hal kesulitan pembelajaran di rumah. 

Yang dihadapi guru bukan hanya muridnya di dunia maya, tetapi juga kenyataan bahwa ia harus mendampingi anaknya untuk mendapatkan akses belajar sama dengan muridnya di sekolah. Ia menjadi guru banyak orang, tetapi kadang jauh lebih sulit mendidik anaknya sendiri yang susah diatur, susah diberitahu sehingga  ujung- ujungnya emosi jiwa.

Sebagai guru saya merasakan benar itu. Ketika dalam satu hari harus menjawab pertanyaan murid lewat email, Line, atau WA atau aplikasi lainnya yang digunakan untuk mengajar, saya juga harus merangkap sebagai guru bagi anak- anak saya membantunya menjawab pertanyaan dari guru. Untungnya anak tidak begitu rewel sehingga pembelajaran berjalan normal,beda jika yang dihadapi anak bandel yang sehari hari hanya main layangan dan nglayap. 

Adanya pembelajaran di rumah semakin membuat pusing guru. Ia masih harus mencari di mana anaknya bermain, bersama siapa, memastikan ia tidak berantem dan bikin masalah di luar. Ia harus menasihati agar anak mau belajar, membuka buku dan membuat tugas sesuai jadwal.

Tantangan itu yang sering luput dari perhatian pemangku kepentingan. Pembelajaran mandiri belum menjadi budaya bangsa maka ketika ada keadaan darurat sekolah diliburkan murid murid tampak bersorak seakan dengan libur ia tidak repot lagi seperti di sekolah. Padahal sesungguhnya belajar di rumah jauh lebih berat. Di samping tekanan tugas yang banyak, kemalasan itu adalah lawan sesungguhnya dari para siswa.

Guru pasti rindu pembelajaran formal di sekolah. Salah satu hal yang dirindukan karena interaksi dengan banyak murid membuat ia menemukan sesuatu yang baru. Dinamisnya kelas dengan berbagai persoalan kelas itulah yang membuat guru merasa awet muda. Guru menemukan banyak hal baru setiap hari. Dari yang konyol, lucu, menggelikan dan meledaknya emosi yang cepat teratasi karena relasi sosial di sekolah lebih cair.

Di rumah selain menghadapi kebosanan, juga ekstra waspada pada sikap, sifat anaknya yang kadang membuat kontrol emosinya kadang tidak terkendali. Mengapa banyak guru merasa lebih sulit mengajari anaknya sendiri daripada anak orang lain. Guru sanggup mengajar puluhan siswa di sekolah setiap hati, tetapi menghadapi satu anak di rumah rasanya seperti menghadapi ribuan masalah. Di  rumah kadang umpatan kasar sering terdengar, berdebat, dan mengontrol kemarahan agar anaknya tidak semakin malas belajar.

Sebagai guru tidak semua mata pelajaran ia kuasai. Guru akan mengajar spesifik sesuai bidangnya (Untuk SMP ke atas). Sedangkan di rumah ia mesti ikut membatu anaknya membuat tugas untuk semua mata pelajaran. 

Secara teori guru hanya akan mendorong siswa mencari pengetahuan lewat internet, lewat aplikasi online, tetapi pada prakteknya sebagai guru bagi siswa sekaligus anaknya tetap harus bekerja ekstra memastikan anak didiknya mendapat pembelajaran, juga anaknya sendiri yang sudah pasti selesai melaksanakan tugas guru hari setiap hari sampaii pembelajaran selesai setelah itu baru lega. Sebab semua tugasnya sudah tuntas.

Sebagai guru saya tidak akan menonjolkan betapa susahnya guru ketika mengajar dari rumah, Ini sebuah pengalaman berharga guru menghadapi tantangan baru. Bagaimanapun guru harus bisa menyesuaikan diri terhadap segala kondisi. Ia harus selalu mengikuti perkembangan zaman, tidak gagap dalam penguasaan teknologi baru, mampu mengikuti pola pembelajaran baru yang lebih mandiri.

Semakin maju negara tentu tuntutan kerja akan semakin berat, Tapi jika bisa mengikuti perkembangan teknologi tugas guru sebetulnya sudah diringankan oleh berbagai aplikasi yang membuat guru hanya sebagai fasilitator, sebagai pembentuk karakter dan akhlak, selebihnya untuk pengetahuan guru hanya mengarahkan dan membantu memperoleh pembelajaran yang lebih efektif. 

Murid secara mandiri harus bisa menemukan cara untuk mandiri dalam belajar, mampu memecahkan persoalan dengan belajar lebih giat dan berinteraksi dengan murid lainnya. Sebab semakin lama siswa dituntut untuk bisa menciptakan peluang pekerjaan bukan mencari lapangan pekerjaan. Inovasi, kreatifitas, kemandirian, kemampuan dalam interpreneurship sangat diperlukan alam persaingan global saat ini dan di masa mendatang. Bonus demografi Indonesia harusnya ditangkap sebagai peluang bagi yang muda untuk berkarya.

Jika karena keadaan darurat sekarang guru harus melakukan “Double Job” bolehlah itu sebagai momentum guru sebagai upaya bakti guru terhadap guru juga terhadap suksesnya keluarga dalam menanamkan sifat ketekunan, dan kemandirian dalam belajar. Good Job Guru.(Maaf bila saya sok ngenggris di artikel ini.hehehe). Salam damai selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun