Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bergugurannya Koran Minggu, Berkurangnya "Lahan" Sastra di Media Cetak

21 Maret 2020   11:18 Diperbarui: 22 Maret 2020   06:08 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini saya mendengar satu lagi koran fisik, khususnya hari Minggu, terpaksa berhenti cetak. Pikiran Rakyat Minggu.

Koran Harian kebanggaan masyarakat Jawa Barat terpaksa berhenti setelah merasa bahwa susah bersaing di tengah maraknya media internet yang berkembang dengan cepat.

Perubahan perilaku pembaca yang lebih melirik media internet tidak bisa dihindari. Sampai saat ini hanya koran dengan modal besar seperti Kompas saja yang tampaknya masih bertahan di tengah gempuran media internet.

Yang utama dari koran Minggu adalah rubrik-rubrik ringan tentang gaya hidup, travelling, budaya, seperti puisi dan cerpen serta kolom-kolom dari penulis yang bergerak di bidang seni dan budaya.

Bagi yang suka membaca hari Minggu, tutupnya koran seperti Pikiran Rakyat minggu lalu tentu sebuah kehilangan besar, seperti ada yang hilang dari rutinitas. Para pecinta bacaan koran Minggu kehilangan bacaan ringan, sebagai relaksasi akhir pekan.

Saya biasanya suka rubrik-rubrik khusus seperti cerpen minggu dan puisi-puisi dari para penyair Tanah Air. Namun semakin berkurangnya koran Minggu semakin sedikit kesempatan sastrawan penyair untuk menuliskan cerpen dan karya sastranya ke media mainstream.

sumber gambar: kompasiana/wahyuni susilowati
sumber gambar: kompasiana/wahyuni susilowati
Saya masih percaya bahwa kualitas sastra koran masih setingkat lebih tinggi dari cerpen-cerpen yang ada di media online. Redaksi pasti benar-benar memilih tulisan yang masuk dengan ketat. Ya meskipun tidak bisa diabaikan juga dengan selera redaktur masing-masing koran. 

Sampai saat ini saya masih langganan 3 koran Minggu. Kompas, Jawa Pos, dan Media Indonesia. Sayangnya Media Indonesia sudah meniadakan rubrik cerpen dan meskipun masih ada kolom hiburan dari Ono Sarwono yang bercerita lewat tema-tema pewayangan sebagai latar belakang penulisannya.

Koran itu memberi pengaruh terutama dengan susuna bahasa saat menulis, memberi kekayaan kosa kata, dan mencoba membangun opini yang bukan sekadar menulis tetapi berdasarkan referensi yang terpercaya. 

Sudah sejak SMA, saya sisihkan uang untuk membeli koran Minggu. Cuma kelemahan saya adalah saya tidak tekun membuat kliping, sehingga banyak koleksi koran Minggu saya (terutama rubrik cerpen dan artikel budaya) hilang entah ke mana.

Kalau dipikir lucu juga kenapa harus memborong koran-koran Minggu. Waktu saya untuk membaca hanya sekitar 1 jam saja, lainnya banyak dihabiskan di luar dan ketika pulang capek dan tidak sempat membaca lagi. 

Namun dari sekilas bacaan-bacaan di koran Minggu saya menemukan banyak ragam cerita yang mengendap yang bisa dijadikan ide menulis. Entah bermanfaat atau tidak atau malah buang-buang uang karena hampir tiap minggu saya mengeluarkan sekitar 21 ribu rupiah untuk memborong koran Minggu yang masih eksis. 

Saya menikmati hari Sabtu dengan membaca koran Tempo dan Kompas, dan hari Minggu dengan membeli tiga koran Kompas, Jawa Pos, dan Media Indonesia. Sampai saat ini belum pernah terpikir untuk menghentikan kebiasaan ini. Rasanya aneh jika setiap Sabtu dan Minggu tidak membaca koran.

Saya menghadapi kenyataan para penjual koran sudah jarang menggelar dagangannya di hampir setiap sudut kompleks. Di daerah saya di Cengkareng yang masih setia menggelar lapak korannya bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya melayani yang masih setia langganan koran, terutama kantor- kantor yang masih setia langganan koran. 

Dulu saya melihat banyak sekali koran yang bisa digelar. Dari majalah remaja, kumpulan cerpen, majalah wanita, gaya hidup, ayah bunda sampai majalah hobi seperti majalah untuk penggemar nggowes dan fotografi.

Awal saya menyukai koran tentu saja Koran Kompas, Kedaulatan rakyat, dan Bernas. Setelah itu saya juga suka tabloid yang banyak mengekspos selebriti seperti Monitor, dan tabloid Bola.

Kalau dihitung modal saya untuk membeli koran ya.. susah. Saya tidak mau berhitung tentang pengeluaran saya membeli koran karena hobi itu ya berapapun yang diusahakan ada. Dan selalu ada uang yang bisa disisihkan untuk hobi membaca ini.

Saya sedang berpikir bagaimana dengan penyair dan sastrawan yang menggantungkan hidup dari penulisan cerpen dan puisi. Koran-koran yang banyak dulu memberi kesempatan untuk memanen uang dari keterampilan menulis, tetapi ketika koran minggu pelan-pelan senyap dan banyak yang gulung tikar, senja kala sastra apakah ikut terbawa?

Saya sih berdoa media-media online menyediakan lebih banyak desk seni budaya. Saya masih melihat Kompas.id menyediakan rubrik cerpen.

Koran-koran lain yang dulu jaya di koran cetak banyak beralih ke koran berbasis internet. Mereka sadar diri bahwa bertahan di koran cetak tidak semakin menguntungkan tetapi malah merugi.

Masyarakat sekarang kurang melirik media cetak. Tergantikan oleh media digital karena mudah dibawa ke mana-mana. Kalau mau mencari berita tinggal membuka sejumlah media berita di internet. 

Banyak media yang bersaing untuk menjadi yang terdepan dalam menampilkan berita yang up to date, tidak sedikit juga media abal-abal yang menulis hanya mengandalkan kopi-paste dari platform blog. Mereka berlomba mencari iklan dan ditempelkan di medianya.

Iklan-Iklan yang dulu sering muncul di media mainstream banyak yang beralih ke media online. Mereka melihat bahwa media online lebih efektif dalam memasarkan produknya.

Maka semakin sepinya iklan di media mainstream membuat koran-koran yang dulu berjaya harus berhitung dan akhirnya menyatakan gulung tikar. Kesempatan bagi sastrawan dan penyair untuk berpaling dan mengharuskan dirinya mulai mencintai media online. 

Saat ini sejumlah media online menyediakan rubrik rubrik untuk mereka yang menyukai dunia sastra. Saya mempunyai beberapa karya novel yang saya pajang di wattpad dan Storial.co.

Untuk yang sangat concern menulis cerpen dan puisi ada Kompas.id, Detik.com, basabasi.co, islami.co, Mojok.co. 

Di samping media online di atas masih banyak media online lain yang menerima tulisan dan berhonor seperti janang.id, gogirl.id, apajake.id, alif.id, berdikaribook.red, kurungbuka.com, jejak publisher.com, hot.detik.com, rumahcikal.com, malangvoice.com, simalaba.net, cendananews.com, cadik.co, buruan.co, balairungpress.com, bacapetra.co, satupena.com.(Makasih referensinya untuk Bung Pringadi Abdi Surya) dan tentu saja Kompasiana.com.

Di media-media itu para penulis tinggal melihat selera redaktur dan tentu saja kualitas tulisan perlu diperhatikan. Di Kompas.id redaktur yang mengkurasi cerpen-cerpen Kompas sama yaitu Putu Fajar Arcana. 

Jadi jika sekarang koran-koran berbasis cetak berguguran, saatnya para penulis aktif mengarahkan penanya ke media online tersebut. Siapa tahu banyak kesempatan lebar untuk tetap bisa mengepulkan asap dapur, tentunya modal kuota internet, serta kuatnya mata memandang layar komputer. 

Rajin buka-buka internet dan menenteng HP ke manapun pergi. Sebetulnya saya tidak menganjurkan untuk menjadi tergantung pada HP tapi para penulis mau tidak mau harus bergantung pada benda digital tersebut.

Saya sendiri selama koran Minggu masih ada tetap akan berlangganan, karena membaca koran cetak lebih enjoy daripada memelototi layar laptop atau gawai. Salam Literasi, salam damai selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun