Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Ambyar" Dunia Pendidikan Swasta Gara- Gara Corona

11 Maret 2020   11:37 Diperbarui: 11 Maret 2020   11:38 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemeriksaan suhu tubuh untuk siswa (dokumen Pak Yoga SMPK 3 Penabur)

Agak lebay sebetulnya judul yang saya ambil untuk artikel kali ini, tapi aku merasakan benar bekerja di sekolah swasta yang sejak awal menerapkan standar tinggi terhadap siswanya harus jumpalitan menghadapi gempuran isu -isu global yang meresahkan. Satu yang utama tentu karena  Covid - 19, Virus yang telah menelan korban meninggal 4000 lebih si seluruh dunia.

Darurat Sekolah Antisipasi Corona

Semua terguncang, ekonomi morat marit, industri pariwisata babak belur dan perjalanan udara seperti tengah dalam puncak kelesuan. Sebagai sekolah yang anak dan orang tuanya sering bepergian ke luar negeri dampak Corona membuat sekolah menjadi kalang kabut. Segera diambil tindakan preventif, dengan melakukan pemindaian suhu tubuh. 

Yang terdeteksi suhunya di atas 37, 3 derajat Celsius maka siswa atau guru, dan karyawan bahkan orang tua muridpun tidak boleh masuk. Demi keamanan yang suhunya 37, 3 lebih sebaiknya pulang dan istirahat di rumah. Kalau mau masuk harus mendapat rekomendasi dokter dulu dan menunggu sampai suhu tubuh benar- benar turun.

Pemeriksaan suhu tubuh untuk siswa (dokumen Pak Yoga SMPK 3 Penabur)
Pemeriksaan suhu tubuh untuk siswa (dokumen Pak Yoga SMPK 3 Penabur)
Semua  yang melibatkan banyak orang, yang beresiko kontak fisik, yang beresiko menebarkan penyakit maka akan dibatalkan sampai situasi benar- benar kondusif. Sekolah dan yayasan tegas menerapkan standar keamanan dan perlindungan diri agar tidak terpapar virus Corona. Situasi menjadi agak aneh dan terus terang saya menegaskan peristiwanya dengan istilah ambyar. 

Pendidikan swasta bergantung pada welas asih orang tua yang cukup mampu membiayai anaknya untuk mendapat pendidikan berkualitas. Untuk saat ini ada beberapa sekolah swasta yang masih menjadi favorit bagi mereka yang mencari sekolah dengan kualitas tinggi, bermutu dan bermasa depan cerah. Sekolah seperti Penabur, Kanisius, Ursula, Santa Maria (di Jakarta) tampak pontang- panting menghadapi corona. Orang tua yang mobile keluar masuk dari dan keluar negeri. 

Yang terduga membawa virus masuk dan menularkannya ke sanak saudaranya. Pengetatan pemindaian perlu karena menyangkut reputasi. Akan mudah medsos memviralkan kasus corona jika muncul dari sekolah- sekolah yang secara nasional sudah terkenal. Bisa ambyar jika sekolah favorit yang mengandalkan kualitas harus terjerembab reputasinya gara gara terpapar virus. 

Maka meskipun pemerintah masih agak longgar, sekolah swasta seperti Penabur sudah membatalkan ratusan kegiatannya yang melibatkan banyak siswa, mau live in, jambore, home stay, wisata. Semua demi menekan dampak penyebaran virus sampai benar- benar kondusif entah sampai kapan.

Semua rencana batal, semua yang sudah dibayangkan lenyap dan semua yang seharusnya membahagiakan berubah menjadi cemas dan bisa- bisa menjadi sakit jiwa. Hampir semua orang akhinya terjebak dalam paranoia, takut pada bayang- bayang, takut akan Corona yang sudah menjadi musuh bersama.

Apapun Corona Adalah Pembelajaran Kehidupan Manusia

Kalau terpapar cinta itu membahagiakan, tetapi terpapar corona sungguh menyedihkan. Kalau terkapar karena rindu masih ada yang diharapkan tetapi rebah karena corona berimbas diisolasi dari lingkungan. Jika institusi pendidikan resah bagaimana negeri ini akan menghadapi masa depan yang masih kabur.

Bagaimana pembelajaran mencapai titik kemerdekaannya jika banyak cerita horor yang menakutkan gentayangan di sekitar. Ah, seandainya Corona itu gadis cantik maka ia hanya kupandangi dari jauh. Aku bukan takut oleh virus cinta yang kau tebarkan tetapi aku takut sakit jiwa karena setiap hari harus merasa dicekoki oleh berita simpang siur yang belum tentu. Benar. Aku ingin cinta sejati...cinta yang melindungi bukan menakut- nakuti.

Hari -- hari ini orang bicara tentang keburukan, tentang ancaman tentang isu - isu. Tentang kegiatan yang tertunda entah kapan, tentang suhu tubuh, tentang masa depan yang kabur. Tidak ada yang bicara tentang optimisme, tentang harapan, tentang kasih dan cinta. Semuanya ambyar, Orang hanya bicara hari ini, entah esok, tentang kemungkinan, tentang wabah dan tentang kesuraman ekonomi. Tentang manusia yang tercerai berai karena penyakit.

Tidak kurang- kurang presiden ikut menenangkan, mentri terkait menjelaskan tentang ciri- ciri orang yang terjangkit, perbedaannya dengan flu biasa dan tentang ketenangan yang membuat jiwa tetap sehat.Namun semuanya ambyar karena ketakutan lebih besar daripada ancaman itu sendiri.

Bahkan politisi, petualang -- petualang, mafia, pemimpin agamapun ikut gagap, saling melontarkan pernyataan yang "horor" bukannya menenangkan.  Mereka bicara tafsir bukan bukti otentik, praduga bukan data akurat. Mencomot dari media kabar kabur, bukan dari sumber yang terpercaya.

Paranoia dan Pendidikan yang Gagal Menenangkan

Orang- orang yang pernah mengecap pendidikan merasa kecolongan karena nyatanya jejak pendidikan selama belasan tahun bahkan puluhan lenyap. Mereka bicara naluri seperti halnya binatang, bukan selayaknya manusia yang mempunyai akal, nurani dan akhlak. Bicara berdasarkan perasaan bukan dengan sistem yang pernah diajarkan guru kepada muridnya. 

Apakah dulu manusia tidur saat diajar, hingga sudah jadi "orang" mereka lebih percaya berita hanya dari judulnya saja, terjebak emosional hanya karena Clicbait yang terpampang di depan, bukan mencari akurasi dengan membaca utuh artikel dan berita, sehingga lahirlah kematangan literasi.

Pendidikan gagal membentuk manusia, karena awal mulanya pelajaran hanyalah hapalan, bukan lahir dari proses berjenjang pengetahuan dengan cara mencari, melakukan penelitian, eksperimen, pembuktian- pembuktian, analisis dan akhirnya kesimpulan.

Pendidikan akhirnya hanyalah sekumpulan ancaman yang tidak lagi mendewasakan manusia menghadapi emosi- emosi yang kadarnya lebih besar daripada ketenangan menghadapi ujian terberat kehidupan. Ketika ancaman datang pendidikan mengajarkan untuk berkelit, menghindar  dan tidak mengajarkan tentang bagaimana memecahkan teka- teki bagaimana menghadapinya tanpa takut tersedot dalam pusaran buruk pengaruh pengetahuan baru. Manusia berpendidikan mampu melepas dampak negatif dari ancaman di depan mata tersebut.

Ini menjadi perenungan dunia pendidikan,saatnya dunia pendidikan bangun dari tidur. Setelah peringatan virus Corona ada baiknya baik sekolah swasta maupun negeri saling bahu membahu memelekkan arti merdeka belajar dan belajar merdeka. Ini mengantispasi agar pendidikan tidak ambyar. Dalam istilah Jawa ajur sewalang- walang. Salam damai selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun