Dalam sebuah konferensi pers Fahira Idris meminta maaf atas pernyataan hoaksnya di Twitter. Ia minta masyarakat memaafkan pernyataannya yang ia lontarkan di media sosial. Melihat fenomena pejabat atau wakil rakyat yang dengan entengnya bicara tanpa dipikir lalu begitu mudah juga minta maaf tanpa ada sangsi hukum sama sekali rasanya miris melihat sisi keadilan di masa kini.
Apalagi sosok kontroversial itu selalu kontra dengan pendapat khalayak dan prihatinnya lagi bersembunyi di balik baju agama sebagai tameng untuk mencuci segala kesalahannya. Padahal jabatannya adalah jabatan politis yang tidak ada hubungan sama sekali dengan agama. Politik wilayah Profan, sekuler sedangkan agama adalah tanggung jawab pribadi terhadap yang Maha Mendengar dan Mencipta.
Fahira Idris masuk kategori publik figur karena ia adalah anggota DPD RI perwakilan DKI. Â Fahira Idris termasuk politisi yang mati- matian membela Anies Baswedan. Jika ada serangan komentar negatif terhadap Anies Baswedan Fahira Idris menjadi yang terdepan untuk mementahkankannya.Â
Ia geram melihat serangan kritik terhadap Anies yang menyatakan Anies gagal mengatasi bencana banjir di Jakarta. Ada pernyataan yang menghimbau Anies mundur karena tidak mempunyai solusi terhadap banjir yang melanda Jakarta.Â
Terhadap pernyataan itu Fahira Idris mengerahkan ormas yang ia pimpin yaitu Bang Japar (Jawara Betawi)agar membakar apapun spanduk yang menjelek- jelekkan nama Anies Baswedan.
Sisi Ketidakadilan Hukum dari Permintaan maaf Fahira Idris
Sebagai publik figur  bila melakukan kesalahan terutama yang membuat masyarakat resah harus diproses hukum. Semua harus sama di hadapan hukum.Â
Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok atau BTP terus berjalan meskipun Ahok sudah minta maaf. Ahok tetap dihukum dan demikian seharusnya terhadap  Fahira Idris.Â
Meskipun sudah minta maaf, tapi karena pernyataannya sudah masuk ranah publik maka demi keadilan hukum tetap harus ditegakkan. Jangan sampai tebang pilih. Kalau tidak akan muncul sikap skeptis dari masyarakat bahwa hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.Â
Apapun jabatannya tidak ada hak imunitas yang melekat, kalau salah ya salah. Malah seharusnya pejabat menjadi panutan masyarakat dalam bertindak, berpikir  dan berpendapat.
Fahira diduga melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 ayat 2 Juncto Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE Sumber) pasal itu menyasar pada dugaan bahwa Fahira telah menyebarkan berita bohong. Maka dari sisi keadilan hukum maka Fahira seharusnya melanggar hukum dan mendapat hukuman setimpal.
Publik figur itu dianggap istimewa, pilihan dan pintar, maka bila dalam setiap tindakan dan pernyataan selalu kontroversial dan mengundang kritikan bagaimana mereka bisa menjadi teladan.Â
Malah akhirnya masyarakat menjadi bertanya- tanya kok bisa sih terpilih sebagai anggota DPD, kok bisa sih terpilih sebagai wakil rakyat sementara pernyataannya cenderung meresahkan masyarakat. Jadi sangsi ternyata wakil rakyat dipilih seperti kucing dalam karung. Orang hanya memilih karena namanya dikenal masyarakat ternyata kualitasnya memble.
Fahira Idris menjadi contoh agar masyarakat lebih pintar memilih pemimpinnya bukan karena sudah dikenal publik, tampak religius. Anggota DPR, mentri dan jabatan- jabatan publik lainnya adalah istimewa karena mereka terpilih mewakili jutaan masyarakat. Perkataan, mulut publik figur itu menjadi cermin masyarakatnya.
Pemilihan bukan hanya karena ia selalu muncul seperti halnya selebritis, tetapi juga karena kualitas kinerjanya yang baik. Dan saat ini Indonesia sedang mengalami krisis keteladanan.Â
Banyak pernyataan -- pernyataan kontroversi yang datang dari wakil rakyat, pemimpin agama, pemimpin ormas, pejabat negara. Masyarakat dibuat bingung oleh betapa mudahnya pemimpin atau pejabat mengeluarkan pendapatnya tanpa disertai data dan analisis dampak sosial. Ketika akhirnya pernyataannya salah lalu minta maaf dan akhirnya kasusnya menguap.
Masyarakat yang Gampang Lupa Terhadap Rekam Jejak Politisi
Masyarakat sendiri tampaknya gampang lupa dengan "dosa" publik figur, meskipun pernah terekam melakukan kesalahan dan merugikan negara dengan melakukan korupsi atau pernah dipenjara karena rekam jejaknya yang buruk tetap terpilih dan menjadi wakil rakyat karena kekuatan modal, koneksi dan kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.
Yang benar- benar mempunyai prestasi harus tenggelam karena tidak punya modal untuk maju dan menjadi wakil masyarakat di lingkaran kekuasaan. Banyak tokoh agamapun hanya berorientasi populer.Â
Semakin kontroversial semakin populer maka pengundangnya semakin banyak. Masyarakat hanya mencatat dan mengagumi yang populer, yang kata- katanya mampu membakar emosi, yang sosoknya seperti selebriti, bahkan para mualafpun didapuk menjadi pemimpin agama agar semakin riuh suara- suara karena masyarakat masih lebih melihat orang terkenal daripada esensi kotbah yang menyejukkan dan memberi ketenangan.
Banyak pemimpin agama mempunyai keluasan berpikir, dalam ilmu, tetapi tenggelam karena secara fisik atau penampilan kurang menarik.Â
Budaya instan dengan bungkus menarik rupanya menjadi tren masyarakat, sedangkan pengetahuan yang memerlukan proses, pengendapan, kontemplatif sering ditinggalkan. Itulah fenomena yang terjadi saat ini. Semakin kontroversi, semakin aneh maka akan menjadi idola baru  masyarakat. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H