Publik figur itu dianggap istimewa, pilihan dan pintar, maka bila dalam setiap tindakan dan pernyataan selalu kontroversial dan mengundang kritikan bagaimana mereka bisa menjadi teladan.Â
Malah akhirnya masyarakat menjadi bertanya- tanya kok bisa sih terpilih sebagai anggota DPD, kok bisa sih terpilih sebagai wakil rakyat sementara pernyataannya cenderung meresahkan masyarakat. Jadi sangsi ternyata wakil rakyat dipilih seperti kucing dalam karung. Orang hanya memilih karena namanya dikenal masyarakat ternyata kualitasnya memble.
Fahira Idris menjadi contoh agar masyarakat lebih pintar memilih pemimpinnya bukan karena sudah dikenal publik, tampak religius. Anggota DPR, mentri dan jabatan- jabatan publik lainnya adalah istimewa karena mereka terpilih mewakili jutaan masyarakat. Perkataan, mulut publik figur itu menjadi cermin masyarakatnya.
Pemilihan bukan hanya karena ia selalu muncul seperti halnya selebritis, tetapi juga karena kualitas kinerjanya yang baik. Dan saat ini Indonesia sedang mengalami krisis keteladanan.Â
Banyak pernyataan -- pernyataan kontroversi yang datang dari wakil rakyat, pemimpin agama, pemimpin ormas, pejabat negara. Masyarakat dibuat bingung oleh betapa mudahnya pemimpin atau pejabat mengeluarkan pendapatnya tanpa disertai data dan analisis dampak sosial. Ketika akhirnya pernyataannya salah lalu minta maaf dan akhirnya kasusnya menguap.
Masyarakat yang Gampang Lupa Terhadap Rekam Jejak Politisi
Masyarakat sendiri tampaknya gampang lupa dengan "dosa" publik figur, meskipun pernah terekam melakukan kesalahan dan merugikan negara dengan melakukan korupsi atau pernah dipenjara karena rekam jejaknya yang buruk tetap terpilih dan menjadi wakil rakyat karena kekuatan modal, koneksi dan kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.
Yang benar- benar mempunyai prestasi harus tenggelam karena tidak punya modal untuk maju dan menjadi wakil masyarakat di lingkaran kekuasaan. Banyak tokoh agamapun hanya berorientasi populer.Â
Semakin kontroversial semakin populer maka pengundangnya semakin banyak. Masyarakat hanya mencatat dan mengagumi yang populer, yang kata- katanya mampu membakar emosi, yang sosoknya seperti selebriti, bahkan para mualafpun didapuk menjadi pemimpin agama agar semakin riuh suara- suara karena masyarakat masih lebih melihat orang terkenal daripada esensi kotbah yang menyejukkan dan memberi ketenangan.
Banyak pemimpin agama mempunyai keluasan berpikir, dalam ilmu, tetapi tenggelam karena secara fisik atau penampilan kurang menarik.Â
Budaya instan dengan bungkus menarik rupanya menjadi tren masyarakat, sedangkan pengetahuan yang memerlukan proses, pengendapan, kontemplatif sering ditinggalkan. Itulah fenomena yang terjadi saat ini. Semakin kontroversi, semakin aneh maka akan menjadi idola baru  masyarakat. Salam damai selalu.