Hari Ini 27 Januari 2010 tepat 10 tahun lalu aku tercatat sebagai warga baru Kompasiana, tidak terasa menapak tahu tahu sudah 2020. Bagaimana perasaanku bisa gabung Kompasiana. Tentu senang, sekaligus berdebar- debar. Senang karena bisa belajar banyak dari para penulis penulis baik pendatang baru maupun senior yaitu mereka yang benar benar disebut penulis.Â
Aku sih sebenarnya tidak baru- baru amat menyenangi dunia tulis menulis, sebelumnya saya pernah menulis di blog khusus organisasi yang saya ikuti, menulis di warnet, menulis spontan dengan audience terbatas.
Jika menerima honor menulis aku mendatangi kantor redaksinya atau dengan wesel (wah jadul banget ya). Bunyi mesin ketik itu unik dan jika banyak salahnya maka tidak bisa langsung dihapus seperti halnya mengetik word di komputer. Aku harus menyiapkan tip - ex atau harus mengetik ulang, ribet khan tetapi ada banyak seninya.
Maaf sepertinya aku sombong menceritakan secara flash back tentang latar belakangku mengapa aku suka menulis. Apa yang kutulis itu semata- mata ingin membesarkan hatiku sebab bergabung di rumah Kompasiana tentunya harus siap mengeluarkan sumber daya terbaik.Aku seperti pemain baru yang baru belajar mengolah pikiran, ide untuk bisa diterima pembaca terkhusus media sosial.
Di Kompasiana tentu saja aku lebih bebas mengeksplorasi kata- kata. Lebih bisa meliukkan ide dengan bahasa- bahasa bertutur. Kalau di media mainstream aturan menulis tentu lebih ketat dengan pemilihan kalimat yang disesuaikan dengan media yang dituju.
Di Kompasiana jaminan tulisan terbaca pasti lebih besar dan ada interaksi antar Kompasianer sehingga kalau ada salah typo agak melenceng dan "ngawur" ada pembaca yang secara langsung mengkritik atau memberi masukan.
Kalau tidak salah aku memposting tulisan pertama kali masalah bonek, suporter persebaya yang bikin jantung deg- deg sir. Tertulis di Kompasiana artikel itu tayang di tanggal 29 Januari 2010 (Bonek Cermin amburadulnya Anak Muda?). Masih banyak kesalahan tetapi tentu saja aku hargai keberanianku sudah bisa menyumbangkan tulisan.Â
Selanjutnya aku terus menulis, meskipun tidak setiap hari tetapi cukup konsisten sampai kurang lebih dua tahun. Sempat vakum sekitar  3 tahun  lebih aku rindu menulis sebab Kompasiana dengan segala kegiatan kopdarnya dan interaksi antar penulisnya membuat aku ingin mendorong diri sendiri untuk yakin bahwa menulis itu bisa membuat bahagia.Â
Ya Kompasiana memang telah memberi banyak pengalaman, dengan membaca tulisan- tulisan kompasianer aku melihat banyak aspek yang mesti dimiliki oleh seorang penulis jika mau total dan sukses memanfaatkan kemampuan menulis.
Kompasianer itu rumah yang nyaman untuk mengembangkan talenta menulis. Ada persaingan ada komentar obyektif ada reward dari hasil mengikuti kompetisi. Aku jujur selama menulis di Kompasiana masih belum beruntung mendapat award-award yang rutin diberikan saat acara Kompasianival. Sebetulnya ngarep sih tetapi Kompasiana tentu jeli siapa yang layak mendapat piala atas usahanya yang total dalam menulis.
Siapa aku, jika mau mendapatkan hasil bagus tentu harus bekerja keras agar bisa merengkuh penghargaan.
Tetapi Kompasiana tetaplah penyemangat bagi cita- cita yang masih jauh mengawang- awang sebagai penulis. Aku masih belum berani total memilih dunia menulis, aku masih menduakan dengan profesi utama sebagai guru.
Kompasiana sudah memberi banyak ya jangan meminta lebih, jika ingin berada di puncak maka harus mempunyai senjata agar mampu meluluhkan pengelola kompasiana untuk melirik perjuangan Kompasianer.Â
Ada banyak kompasianer berbakat, masih muda dengan segudang talenta, mereka jelas memberi warna tersendiri. Dengan gagasan original dan kemampuan mencari topik dan bahasan aktual mampu memberikan kekuatan pada Kompasiana sebagai Media Platform papan atas di negeri ini.
Saya bahagia meskipun tetap penasaran untuk merangsek masuk ke jajaran penulis papan atas. Ciee...(mimpi kali). Tapi  banyak tulisan mampu menginspirasi sehingga tidak menyerah pada kegagalan- kegagalan yang pernah dialami penulis sukses. Aku belajar pada siapa saja tanpa kecuali. Semua penulis punya potensi untuk dijadikan sandaran harapan tentang bagaimana meraih sukses.Â
Barangkali bisa belajar dari Cristiano Ronaldo yang bisa total main boleh dengan pencapaian luar biasa dalam hal rekor sebagai pemain bola terbaik sepanjang jaman, pencetak gol terbanyak dan berbagai prestasi lain.Semuanya sebermula dari kerja keras, konsistensi dan totalitas dalam belajar dan berlatih.
Sisi positif perjuangan itu yang perlu diamati dipelajari dan dibuat sebagai motivasi. Jika dalam karier kurang mendapat kesempatan menduduki puncak, dengan menulis aku mampu menaikkan daya tawar pribadi karena banyak orang mengamati dan mengikuti tulisanku.Â
Dengan kemampuan menulis aku mampu lebih percaya diri dan yakin banyak peluang jika mampu mencintai passion, mendorongnya memperjuangkannya sampai pada tataran di mana penulis mampu yakin bahwa menulis bisa membahagiakan, mendongkrak mental sehingga tidak lagi minder berhadapan orang lain yang telah sukses menggeluti pekerjaan yang memang diraih dengan perjuangan keras. Hiperbolisnya meraihnya dengan berdarah-darah.
Ya semoga ketika melakukan permenungan gabung selama 10 tahun di Kompasiana aku jadi lebih semangat menulis. Aku janji akan lebih meningkatkan kualitas dalam menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H