Yang dialami Gubernur DKI pada peristiwa banjir di tahun baru menyisakan perdebatan panjang. Lawan dan kawan Anies Baswedan saling serang dan tangkis isu- isu yang memposisikan gubernur.
Satu sisi mengatakan good bener sisi lain menyertakan istilah gakbener. Masih teringat istilah kecebong dan kampret. Ternyata perang kata di media massa itu masih berlangsung.
Di satu sisi ada yang menyindir, orang- orang yang gagal move on, orang- orang yang frustrasi karena junjungannya kalah. Kadrun(kadal Gurun) disematkan para pendukung fanatik yang mengusung agama sebagai senjata untuk mengamini pemimpin yang dipilihnya.
Lemparan- lemparan cacian, sindiran terus saja berlangsung di tengah bencana yang belum mendapat penanganan secara tuntas, Para blogger, penulis, pengamat, pemerhati politik, petualang politik seringkali menyindir dengan  lewat artikel opini. Lontaran sindiran dan makian lewat media sosial sudah menjadi makanan sehari- hari.
Saya yang kebetulan suka menulis di platform blog seperti Kompasiana sering terjebak dalam arus dukung mendukung tokoh.
Secara sekilas menulis obyektif, tetapi tetap saja ada sisi subyektif yang terbawa karena bagaimanapun suasana hati cenderung condong memilih pemimpin berdasarkan kata hati dibumbui dengan berita- berita media yang memberi tekanan pada seorang tokoh sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi seorang penulis cenderung partisan, ada kecenderungan membela tokoh idola, tokoh politik berdasarkan rekam jejak dan (mungkin) karena kesamaan ideologi dan agama.
Manusia selalu berada di kerumunan caci maki, dan olok- olok. Selalu ada korban dan yang dikorbankan. Di era media sosial ini yang kenal akrab dengan Smartphone banyak yang menggunakan benda kecil itu untuk melontarkan makian, kekesalan, kekecewaan yang seharusnya tidak dishare di media.
Dengan kasar banyak pengguna media sosial memaki pemimpinnya, mengolok- olok dengan bahasa tidak  senonoh. Kebencian diperlihatkan dengan modal nama yang disamarkan. Era Post Truth sering membawa olok olok dan kata diulang ulang hingga akhirnya kata berulang itu dipercaya sebagai kebenaran.
Manusia  selalu hidup dalam pusaran kebencian dan meskipun sudah terbentengi oleh keyakinan atau agama tetap saja tidak bisa membendung gelegak kebencian yang tampak selalu ingin muncul meskipun kibaran baju "suci" membalut dirinya.Â
Ah betapa lemahnya manusia, sama sepertiku yang terlalu lemah menghindar dari pusaran caci maki. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H