Sejak Anies  Baswedan dipaksa meletakkan jabatan sebagai Mendikbud, aliran cacian mulai rintik menerpa Anies. Sebermula ia adalah Jubir pada era ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di republik  ini.
Ia menuai puja dan puji sebagai jubir yang pandai menata kata dan tampak santun dalam pembawaan. Mantan Rektor termuda dengan talenta luar biasa. Banyak orang terkesima dengan rekam jejaknya dan mulailah ia menuai jumput emi jumput popularitas.
Sebagai Jubir yang dinanti adalah katanya untuk mendengarkan narasi betapa Jokowi Layak dipilih sebagai calon Presiden. Meskipun sebagai gubernur hanya seumur jagung dan ada keraguan apakah bisa memimpin Indonesia dengan bakat- bakat nyinyir luar biasa, tapi para jubir dan tim kampanye mampu meyakini agar memilih Jokowi sebagai presiden.
Anies pun melenggang sebagai mendikbud dengan sukses. Di tengah jalan ternyata sang Jubir tidak bisa bertahan mesra dengan "sang presiden" Ia diresuffle dengan suara miring tentang perencanaan keuangan yang membuat meradang menteri keuangan.Â
Anies pun melangkah dalam senyap. Merenungi nasib dan mencoba legowo dengan nasibnya yang dihentikan di tengah jalan. Tetapi tidak seberapa lama peristiwa politik menjodohkan Anies dengan keberuntungan. Kontestasi Gubernur DKI Jakarta.
Nasib menggiringnya merangkak pada kesuksesan. Dengan rasa iba dan sosok santunnya yang dipuja oleh 58 % penduduk Jakarta ia bisa melemparkan Ahok sang gubernur fenomenal yang penuh kontroversial tetapi juga meninggalkan kinerja luar biasa. Ia meskipun terlihat kasar mampu bersinergi dengan Presiden.Â
Tetapi sosok Ahok bukan pujaan bagi mereka yang tengah mabuk agama. Ia sosok pendosa, sosok yang dibenci oleh para pejuang agama. Maka meskipun tempat ibadah besar ia bangun tanpa merugikan masyarakat, Ahok tetaplah antagonis oleh mereka yang terlanjur terluka oleh kata- katanya yang kasar menohok.
Anies menjadi sosok pahlawan bagi sebagian masyarakat Jakarta yang selalu diliputi kontroversi. Jakarta yang penuh warna, Jakarta yang selalu berlalu lalang nyinyiran bertambah ramai oleh pro kontra jabatan gubernur.Â
Mula- mula puja puji kepada gubernur Jakarta ramai mengisi media sosial hingga banyak hal kontroversi kebijakan yang akhirnya menggiring media sosial mengeroyok sosok santun pujaan 58% warga Jakarta.
Kini saat banjir awal tahun baru 2020 Anies Baswedan lagi lagi disorot. Ribuan makian membandang, bahkan ada petisi untuk memakzulkan Anies Baswedan seperti Presiden Donald Trump.Â
Anies sedang menuai makian. Netizen yang pintar- pintar, blogger- blogger yang mendadak cerdas menjadi analis kebijakan publik beramai- ramai membelejeti Anies Baswedan dengan dosa sejarah masa lalu.
Aniespun menjadi sasaran tembak para netizen. Semuanya karena katanya Anies yang sering ngeyel, selalu membantah perintah Presiden. Bahkan presiden sendiri turun langsung memeriksa alat pompa di waduk Pluit untuk memastikan waduk aman sebagai penampungan air sebelum dialirkan ke laut.
Anies memang selalu pandai menata kata, sehingga tetap saja banyak yang bersimpati oleh sosok dan gelontoran kata- katanya yang memukau. Barangkali Indonesia sebagai pengguna smartphone paling heboh akan selalu ramai melontarkan kata- kata. Penduduk yang pintar meskipun bukan penggagas dan pencipta teknologi tetapi pengguna aktif produk teknologi. Anies entah beruntung atau sial seperti.
Jokowi menjadi sasaran caci maki warga net yang memang tampak puas jika bisa memaki. Menjadi pemimpin sekarang haruslah sempurna, salah sedikit, blunder sedikit akan menjadi sasaran empuk mereka yang amat puas menggelontorkan kata- kata makian seakan diri mereka paling sempurna dan bisa memecahkan persoalan hanya lewat deretan kata di media sosial.
Menjadi gubernur DKI itu berat, berat menanggung segala suara- suara yang datang dan pergi, harus cekatan menuntaskan masalah, sigap dalam menampung keluhan.Â
Warga Jakarta yang sebagian besar pendatang itu mempunyai banyak tuntutan yang harus terpenuhi, maka segala karakter muncul dari yang bermental preman, berlagak suci tapi ternyata pemeras, atau mereka yang sok dekat, sok akrab tetapi ternyata berhati ular beludak, siap menerkam bila lengah.
Saya yang sudah merasakan menjadi warga Jakarta paham banjir Jakarta itu adalah cerita pilu, cerita sedih, menggemaskan, namun juga sebuah hiburan di tengah kepahitan. Berenang di kubangan banjir bagi anak- anak adalah kegembiraan spontan, seperti halnya mereka main- main kalau hujan deras melanda.Â
Anak- anak yang masih polos merasa ada permainan baru meskipun harus beriringan dengan tangisan ketika saat lapar tidak ada makanan di dekatnya seperti ketika banjir belum membenamkan rumahnya.
Masih ingat ketika saya terjebak hampir sebulan di perkampungan padat di petogogan ketika masih menumpang di rumah Pak Lik. Banjirnya setumit orang dewasa tetapi dilantai dua. Tidak bisa ke mana- mana kecuali mengandalkan bantuan dari tim SAR untuk sekedar makan nasi bungkus.Â
Kalau lapar ya makan sisa mie instan hasil bantuan warga. Tiap malam harus mengalami suasana gelap gulita dengan air bau amis yang bercampur kotoran manusia.
Jakarta rutin disambangi banjir tetapi anehnya warga Jakarta cepat lupa dengan penderitaannya. Baru sehari dua hari menjadi korban banjir, toko makanan, tempat kuliner,mal sudah ramai dikunjungi warga seakan lupa kejadian barusan yang menguras keringat, harta benda dan air mata bagi para korbannya. Memang unik orang Jakarta. Termasuk saya. Hehehe. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H