Aniespun menjadi sasaran tembak para netizen. Semuanya karena katanya Anies yang sering ngeyel, selalu membantah perintah Presiden. Bahkan presiden sendiri turun langsung memeriksa alat pompa di waduk Pluit untuk memastikan waduk aman sebagai penampungan air sebelum dialirkan ke laut.
Anies memang selalu pandai menata kata, sehingga tetap saja banyak yang bersimpati oleh sosok dan gelontoran kata- katanya yang memukau. Barangkali Indonesia sebagai pengguna smartphone paling heboh akan selalu ramai melontarkan kata- kata. Penduduk yang pintar meskipun bukan penggagas dan pencipta teknologi tetapi pengguna aktif produk teknologi. Anies entah beruntung atau sial seperti.
Jokowi menjadi sasaran caci maki warga net yang memang tampak puas jika bisa memaki. Menjadi pemimpin sekarang haruslah sempurna, salah sedikit, blunder sedikit akan menjadi sasaran empuk mereka yang amat puas menggelontorkan kata- kata makian seakan diri mereka paling sempurna dan bisa memecahkan persoalan hanya lewat deretan kata di media sosial.
Menjadi gubernur DKI itu berat, berat menanggung segala suara- suara yang datang dan pergi, harus cekatan menuntaskan masalah, sigap dalam menampung keluhan.Â
Warga Jakarta yang sebagian besar pendatang itu mempunyai banyak tuntutan yang harus terpenuhi, maka segala karakter muncul dari yang bermental preman, berlagak suci tapi ternyata pemeras, atau mereka yang sok dekat, sok akrab tetapi ternyata berhati ular beludak, siap menerkam bila lengah.
Saya yang sudah merasakan menjadi warga Jakarta paham banjir Jakarta itu adalah cerita pilu, cerita sedih, menggemaskan, namun juga sebuah hiburan di tengah kepahitan. Berenang di kubangan banjir bagi anak- anak adalah kegembiraan spontan, seperti halnya mereka main- main kalau hujan deras melanda.Â
Anak- anak yang masih polos merasa ada permainan baru meskipun harus beriringan dengan tangisan ketika saat lapar tidak ada makanan di dekatnya seperti ketika banjir belum membenamkan rumahnya.
Masih ingat ketika saya terjebak hampir sebulan di perkampungan padat di petogogan ketika masih menumpang di rumah Pak Lik. Banjirnya setumit orang dewasa tetapi dilantai dua. Tidak bisa ke mana- mana kecuali mengandalkan bantuan dari tim SAR untuk sekedar makan nasi bungkus.Â
Kalau lapar ya makan sisa mie instan hasil bantuan warga. Tiap malam harus mengalami suasana gelap gulita dengan air bau amis yang bercampur kotoran manusia.
Jakarta rutin disambangi banjir tetapi anehnya warga Jakarta cepat lupa dengan penderitaannya. Baru sehari dua hari menjadi korban banjir, toko makanan, tempat kuliner,mal sudah ramai dikunjungi warga seakan lupa kejadian barusan yang menguras keringat, harta benda dan air mata bagi para korbannya. Memang unik orang Jakarta. Termasuk saya. Hehehe. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H