Kalau calon pemimpin sedang mendaraskan janji- janjinya kepada calon pemilihnya yang tercetus adalah janji- janji manis. Bila pemimpin sedang berusaha mengambil hati masyarakat atau dalam istilah politik wong cilik ia akan memberikan sentuhan- sentuhan kata- kata yang mampu meluluhkan "wong cilik".
Penggusuran  Antara Janji dan Realitas Lapangan
Karena wong cilik selalu menjadi sasaran dan sangat mengharap kebaikan hati pemimpinnya maka meskipun pada setiap rezim menjadi korban penggusuran, korban kebijakan tetap saja dalam sekejap mereka menyerahkan hak suaranya pada mereka yang saat kampanye bisa meluluhkan hati dengan janji- janji selangit. Tidak luput siapapun termasuk gubernur Anies Baswedan bisa saja melupakan janji yang pernah ia ucapkan. Toh sebagai politisi ia memang harus bicara manis, bicara yang penuh bunga- bunga agar menjaring banyak pengikut.
Kali ini iapun harus mengorbankan wong cilik karena penggusuran memang tidak bisa dihindari. Masyarakat yang disebut wong cilik terkadang bandel. Demi usaha dan murahnya hunian mereka mendirikan rumah illegal. Sudah resiko bermukim ditanah negara atau tanah yang sudah dikapling perusahaan. Sewaktu- waktu tanah itu akan diambil pemiliknya. Wong cilik pun dijadikan sasaran "drama" media, menjadi lahan manis bagi politikus untuk menyerang balik. Lagi- lagi wong cilik menjadi bidikan empuk fotografer, sasaran empuk cerita tragis dari kehidupan urban.
Tidak semua janji bisa ditepati, apalagi yang terlalu berharap pada janji bisa makan hati. Yang masih bekerja dan masih trengginas mencari uang anggaplah janji pemimpin itu bumbu- bumbu saja. Sebagai hiburan kalau janjinya ditepati ya syukur kalau tidak ya maklum saja sebab calon pemimpi butuh energi agar mimpinya tercapai cita- citanya tergapai.
Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta mempunyai sejumlah kendala untuk mewujudkan cita- citanya. Angan angan di otak dan pikiran dengan kenyataan jauh berbeda. Di lapangan banyak hal yang harus dilakukan termasuk tega "mblenjani janji" seperti kata Didi Kempot yang membuat ambyar hatinya saat kekasihnya cidro atau tega mengkianati cintanya. Banyak yang  semula mendukung Anies berbalik kecewa karena nyatanya sebagai pendukung mereka tergusur juga.
Setiap Pemimpin Membawa Ego Masing-masing
Anies telah janji akan memberikan perlindungan dan tidak akan menggusur, tetapi sebagai pimpinan daerah dan "pemilik lahan" maka keberadaan wong cilik yang mendiami dan mendirikan rumah di tanah pemerintah itu harus digusur. Sebuah dilema tetapi harus dilakukan. Menjadi pemimpin memang siap dipuji dan siap dicaci. Semakin tinggi kedudukan semakin banyak musuhnya, semakin terkenal maka badai cibiran semakin riuh.
Untuk melaju sebagai pemimpin ada ujian- ujian berat yang mesti dilalui. Bara dan onak ada didepan mata. Pemimpin harus siap menginjak bara siap terluka onak duri dan jika lulus ia bisa jadi pemimpin tangguh. Sampai kapan Anies bisa melewati ujian dari berbagai cacian netizen?
Dari jejak kepemimpinannya ia perlu memperbaiki banyak hal terutama pembuktian anggaran- anggaran DKI yang harus bisa dipertanggungjawabkan publik. Iapun tidak harus alergi terhadap jejak kesuksesan BTP dan Jokowi. Â Toh Ahok dan Jokowi bukan tanpa kelemahan. Mereka manusia banyak sisi lemahnya yang bisa menjadi senjata musuhnya untuk menyerang. Dan Anies tampaknya juga selalu menyindir jejak pendahulunya.Â
Tetapi Anies tidak perlu alergi jika jejak Ahok yang positif perlu dilanjutkan. Toh Anies bukan raja, bukan Sultan yang mempunyai otonomi mutlak terhadap kebijakan dalam memerintah negara.Anies Baswedan adalah bagian dari sistem yang seharusnya berkesinambungan, saling berkelindan dan saling mengisi. Yang kurang diperbaiki, yang baik diteruskan. Tapi jejak dendam dan persaingan rupanya banyak membuat pemimpin politik alergi bila harus memuji pendahulunya. Mereka beranggapan dirinya dan timnyalah yang paling baik dan yang lain harus kalah.
Sama juga dengan birokrasi-birokrasi yang berubah-terus tergantung pimpinannya. Bila Kesinambungan sudah masuk dalam sistem maka semua pemimpin harus taat alur taat sistem. Masalahnya di Indonesia penguasa seperti raja- raja kecil. Tiap raja mempunyai alam pikiran yang berbeda.Â
Seperti Pendidikan di Indonesia rakyat sudah bisa menebak bahwa tiap ganti mentri ganti pula kurikulum, ganti perspektif berpikirnya tentang pendidikan. Nah jika sudah ada blueprint, sudah ada cetak biru pendidikan maka siapapun pemimpinnya atau menterinya tidak bisa lepas dari sistem yang sudah jadi.
Pendekatan Kemanusiaan Pada Korban Gusuran
Jika mau maju dan bisa bersaing dengan negara lain butuh pola kebijaksanaan yang berkesinambungan antara pemerintah satu dengan yang lainnya, bukan seperti sejarah raja- raja Indonesia yang harus tragis tumbang oleh perebutan kekuasaan dan saling berperang untuk pergantian tahta.
Anies Baswedan harus mau melakukan pendekatan dan penjelasan mengapa akhirnya ada penggusuran di zamannya. Padahal janjinya sewaktu kampanye tidak akan melakukan penggusuran. Bagaimanapun masyarakat butuh pemimpin yang mengayomi, melindungi dan memberi jalan agar tidak lagi menjadi korban penggusuran, jika ada penggusuran ya harus ada solusinya. Â
Di Zaman Jokowi dan Ahok juga ada penggusuran, semua pemimpin menghadapi dilema penggusuran saat menjadi pemimpin. Jika tidak ingin dicaci maki carilah cara menggusur yang elegan. Bisa? Itu pertanyaan rakyat yang selalu ditunggu keluar dari mulut pemimpin sepanjang masa. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H