Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ritual Membaca Koran Sabtu Minggu

17 November 2019   16:57 Diperbarui: 17 November 2019   16:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang yang menyukai dunia tulis menulis dan kegiatan membaca ada ritual khusus bagi saya untuk membaca koran meskipun hanya sekilas. Saya paksakan ditengah greget membaca koran yang kian menurun berhubung dengan adanya gadget dan berita online yang lebih mendominasi. Paling tidak saya mempunyai imbangan dari beri berita instan yang hadir di internet.

Senjakala Koran dan Media Mainstream

Koran dan majalah yang sempat jaya kini sedang mengalami masa surut. Banyak majalah dan koran gulung tikar. Kata Bre Redana masuk koran masa senja kala. Dalam cerita pewayangan boleh dikatakan talu menjelang bubaran, ceritanya hampir tamat berganti dengan cerita yang lebih baru. Ketika koran -- koran mulai meredup maka yang hadir adalah berita yang bisa dilihat di internet. Yang bisa dibaca lewat smartphone, atau lewat PC ketika di kantor dengan teknologi digital yang semakin canggih.

Meskipun kadang hanya membaca berita tertentu, kadang hanya membaca cerpen dan berita olah raga serta melirik kolom dari penulis- penulis yang membuat mata terpaku dan sejenak meresapi risalah para penulis yang memotret budaya, memotret gaya hidup, perilaku politikus, masyarakat dan birokrat yang lucu- lucu.

Koran bagaimanapun adalah sumber pengetahuan. Tulisan para wartawan itu pasti telah melewatimasuk ke redaktur dibawa ke sidang redaksi, dilihat ditimbang- timbang yang cocok menjadi berita utama atau hanya berita selingan.

Dulu betapa megahnya dan irinya jika ada banyak penulis bisa menulis di koran, sebuah kebanggaan yang tidak bisa terkatakan dan tergambarkan secara sempurna. Pokoknya senang luar biasa. Bisa tampil dan masuk opini sudah sangat luar biasa, apalagi menerima honor dari hasil menulis tersebut. Bisa lompat- lompat dan korannya dibawa ke mana -- mana, ditunjukkan kepada teman, sahabat, orang tua.

Ya mungkin mereka tidak benar- benar mengerti mengapa bisa segembira itu ketika tulisan masuk halaman opini. Mungkin hanya yang mempunyai hobi menulis yang mengerti benar kebanggaan bisa menampilkan karya tulisnya di majalah atau koran.

Koran itu sebuah suntikan pengetahuan, saya tidak akan pernah berhitung sudah berapa koran yang saya beli atau seberapa banyak keluar uang untuk membeli koran atau berlangganan. Bagi saya koran- koran dan majalah itu memberi semangat besar agar saya terus memelihara asa untuk bisa berkiprah dalam dunia tulis menulis.

Betapa berat menembus media mainstream. Apalagi koran- koran yang sudah mempunyai reputasi semacam Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo. Koran itu sebuah asupan, makanan bagi yang hobi menulis. Dari koran dan berbagai berita dan rubriknya membuat penulis -- penulis bisa mecari ide segar. Para wartawan akan mencari tema- tema unik yang bisa menarik pembacanya.

Saya yakin jika eceran koran sudah menyusut tajam tetapi kantor dan orang yang biasa langganan koran akan merasa sayang  dan kangen jika belum membaca koran. Ada yang kurang dan kurang puas dengan berita- berita yang sangat cepat di dapat di media online.

Bau kertas, mengintip lembaran- lembarannya, melipat kembali agar rapi dan meletakkan koran- koran baru di tempat khusus dan jika yang senang mengkliping akan menggunting tulisan spesifik yang bisa menjadi bahan tulisan suatu saat.

Ini bukan perkara pengalaman dari sisa- sisa manusia yang masih disebut klasik, apalagi yang sudah berkarat dan bisa disebut vintage, sungguh koran itu bisa memberi keseimbangan informasi ditengah berita hoaks yang merebak bagai jamur. Paling tidak membaca tulisan para kolumnis di Kompas misalnya bisa menyerap pengetahuan dari mereka yang biasa menulis kolom seperti Bre Redana, Jean Coeteau, Alisa Wahid, Seno Gumira Ajidarma, Pri GS, Triyanto Triwikromo, Samuel Mulia, Putu Setia, Ono Sarwono, Edi AH Iyubenu, Sujiwo Tejo, Sentilan dari Butet Kertaredjasa.

Dari kolom- kolom para penulis tersohor itu saya bisa belajar banyak bagaimana menyusun opini dengan bahasa- bahasa kiasan, bahasa bahasa yang renyah dan enak dibaca (tentu saja bagi yang masih suka membaca berita serius). Koran atau yang bisa dikatakan media mainstream sarat dengan informasi yang tak lekang dimakan zaman, apalagi rubrik budaya, cerpen, kurasi- kurasi para budayawan saat membahas isu- isu terkini seputar kebudayaan.

Sebetulnya membaca koran itu jauh lebih menyehatkan mata daripada suntuk memelototi gadget. Font- font tulisannya tidak cepat membuat lelah mata. Apalagi ditambah dengan gambar- gambar dan foto yang mendukung.

Saya sendiri sebetulnya ingin mengkampanyekan agar tetap mencintai bacaan- bacaan berkualitas dari koran- koran yang sedang memasuki masa senjakala. Entah mungkin tidak banyak yang seperti saya yang masih melirik dan mencegat tukang koran yang semakin sedikit memajang koran yang dijajakannya. Mereka yang semula menjadi loper koran banyak yang berganti profesi, entah sebagai ojol, sebagai tukang dorong air atau mencoba peruntungan denga menjual minuman yang banya tersebar di jalanan. Saya yang tinggal di Jakarta Barat mulai susah mencari lapak koran. Dulu hampir tiap perempatan, tempat- tempat strategis pasti ada penjual koran dan majalah. Sekarang majalah itu diperlukan dan dicari hanya untuk bungkus makanan, sekarang mencari koran bekas semakin susah.

Kalau saya membaca koran seperti ada yang melihat dengan aneh. Anak saya pernah menyindir "Ngapain beli koran Pa, sudah ada gadget dan internet. Berita internet lebih cepat!". Ya kalau dipikir- pikir ada benarnya sih tetapi susah juga jika hari  Sabtu dan Minggu tidak ada koran.

Pada lembaran koran dan baunya yang khas saya merasa nyaman membacanya. Dan Kebutuhan utnuk terus membacanya itu yang sudah dihilangkan. Jujur. Intensitas memegang HP terus terang lebih banyak daripada memegang koran. Dari yang cuma sebentar dan sekilas itu saya menemukan banyak pengetahuan. Bukan berarti menyepelekan berita di internet, tapi menurut saya keseimbangan pengetahuan dibutuhkan agar tidak terlalu teracuni dengan opini- opini media sosial dan media online yang tendensius. Bisa dikatakan memihak.

Dengan membaca koran terus terang saya tidak bisa blak- blakan saat mengupload tulisan. Ketika menulis di platform blog semacam Kompasiana alur berpikir saya dan cara menulis saya sangat terpengaruh bahasa koran cenderung "main aman". Jika mengkritik, misalnya masalah kebijakan gubernur Jakarta Anies Baswedan jelas tidak bisa sefrontal Ninoy Karundeng, atau Denny Siregar. Balutan- balutan hukum penulisan jurnalistik masih kuat mencengkeram.

Koran dan Kerinduan pada Berita yang Jauh dari Hoaks dan Abal - Abal

Tetapi koran sebaiknya tetap bertahan agar berbagai pengetahuan yang hadir di masyarakat itu tidak melulu hoaks atau berita- berita abal- abal yang cenderung subyektif.

Memang dalam perkembangan teknologi, keberanian mengemukakan pendapat jauh berkembang. Opini tidak seketat ketika menulis di koran. Bahkan banyak orang mengatakan jauh lebih menarik membaca blog semacam kompasiana dibanding koran mainstream. Banyak tulisan cerdas yang bisa muncul tiba- tiba. Kebebasan mengemukakan ide dan mengalirkan tulisan tanpa terbelenggu aturan 5W 1H membuat para penulis bisa berimprovisasi bebas.

Kembali ke ritual membaca koran. Saya sih berharap koran semacam Kompas, Media Indonesia, Sindo, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat tidak segera meredup. Masih banyak yang menanti kehadiran media mainstream. Jikapun akhirnya masa itu tiba di mana koran dan majalah kertas tergantikan oleh media berbasis internet dan digital trend. Ada media yang tetap bertahan untuk memuliakan mata yang terjajah layar virtual. Saya sendiri sudah lebih sepuluh tahun mengikuti berita lewat internet, tetapi setiap hari masih menyediakan waktu untuk membaca buku phisik dan koran yang tidak bisa ditinggalkan. Mas Wartawan koran jangan patah semangat tetap semangat menulis ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun