Hampir semua orang mengenal media sosial. Dalam hitungan tahun media sosial telah membuat perubahan bagi kebiasaan, perilaku dan karakter manusia.Â
Manusia penggila gadget tentnya termanjakan dengan adanya kemudahan untuk mendapatkan sesuatu. Ingin bepergian tidak perlu repot-repot mencari biro travel dan kantor yang melayani jasa konsultasi, hanya tinggal klik melalui aplikasi, semua pun terpenuhi.
Media sosial, modernitas informasi, dan perubahan budaya masyarakat
Sekarang sudah banyak aplikasi untuk mengetahui tempat-tempat yang bagus sesuai budget. Pemesanan hotel, pembelian tiket pesawat maupun transportasi lainnya sudah siap, hanya cukup menggunaka aplikasi dompet dan aplikasi digital lainnya, kemudahan pun dapat segera terpenuhi.Â
Betapa mudahnya hidup di era media sosial dengan layanan digital yang memudahkan semua orang. Start up bermunculan, belanja pun tidak lagi harus keluar masuk mal atau supermarket, tinggal pesan makanan bisa via ojek online, makanan pun langsung datang. Terus, jikalau malas beli token listrik, cukup membayar lewat mobile banking atau aplikasi online.Â
Asal sudah top up baik melalui bank atau lewat supermarket terdekat, urusan pun selesai, mudah kan? Setiap bulan dari sebagian gaji disisihkan untuk melakukan top up di aplikasi pembayaran tersebut. Tidak usah lagi membawa uang fisik dalam jumlah banyak, hanya cukup memegang smartphone, urusan pun selesai.
Saya sebetulnya termasuk generasi yang susah menyesuaikan diri dengan kemajuan tren IT tersebut. Menggunakan HP juga sebisanya, tidak pernah yang aneh-aneh. Keterpaksaan yang mengharuskan itu, karena sudah tak dipungkiri lagi bahwa perkembangan teknologi di sekitar memaksa kita harus menyesuaikan.Â
Makanya meskipun daya tangkap saya untuk memahami bahasa program dalam berbagai aplikasi di gadget, tetap saya harus semangat untuk belajar terus, karena hanya itu satu-satunya yang bisa memberi nilai lebih kepada saya sebagai blogger.
Jika umur seperti saya yang mendekati kepala 5 malu bertanya dan gengsi untuk belajar pada yang muda, ya silahkan menjadi manusia jadoel, yang menggantungkan nasib pada kecerdasan teman, adik, anak, atau keluarganya untuk memandu saya dengan perkembangan teknologi.
Saya sudah membayangkan bibir- bibir sinis yang menawan tawa ketika saya bertanya seperti ini:
"Mbak, Mas, saya kok bingung bagaimana caranya mematikan HP ini, pusing mbak HP-nya canggih yang punya jadoel, hehehe"
Pasti yang tergambar dalam benak dan ingatan embak tersebut pasti akan mengatakan "Wah orang udik ndeso tenan."
Pasti ia nanti akan membuat bisik-bisik kepada teman, saudara maupun anaknya dengan bercerita bahwa ia bertemu dengan orang udik. HP-nya canggih, tapi yang punya Jadoel, mematikan saja tidak bisa...malu deh!
Setelah urusan cara mematikan HP selesai, maka selanjutnya, minta diajarkan cara mendownload aplikasi transportasi online.Â
"Minta tolong lagi ya... bisa bantu bagaimana caranya download aplikasi ojek online?"
Wah sudah terbayang embak tersebut semakin terbahak-bahak menyaksikan saya yang "ndesit" ini tanya- tanya soal HP. Baru datang dari pelosok ya Pakde. Ah masa bodoh sumonggo kerso yang penting bisa. Malu bertanya sesat pikiran eh salah sesat dijalan maksudnya.
Era media sosial dengan teknologi digital benar-benar mengubah kebiasaan masyarakat. Semua serba simple, cepat, dan efektif. Tetapi yang menjadi masalah adalah ruang privacy semakin susah, apapun masalah yang sepele maupun yang berat dengan cepat tersebar.
Cepatnya pesebaran ujaran kebencian dan berita viral yang belum tentu benar
Demikian juga dengan sifat dasar manusia yang suka iri, benci, dan dendam seperti mendapat penyaluran. Dengan enteng mereka mengujar kebencian menggunakan nama samaran guna merusak citra diri orang lain, seperti masalah yang pernah terjadi oleh Ruben Onsu.Â
Banyak netizen iri, benci serta berusaha merusak reputasi Bensu. Berbagai motif dilancarkan oleh hatters-nya dengan mendiskreditkan Ruben Bensu dengan berbagai isu pesugihan.Â
Pernyataan kebencian, aksi fitnah, dan mengumbar dendam selalu ramai dibincangkan. Media sosial menjadi semacam penggiringan opini bahwa yang terjadi dan dijadikan viral adalah tindakan biadab. Padahal pasti ada sebab mengapa misalnya polisi menendang pengemudi ojol, sempat direkam dan akhirnya yang disalahkan adalah aparatnya.
Opini publik itu semacam kebenaran mutlak. Padahal semua masalah pasti ada sebab musababnya. Ada rekaman guru menampar muridnya. Penonton tidak mau tahu mengapa sampai guru menampar muridnya. Semuanya karena era media sosial membuat yang benar bisa salah dan yang salah dianggap benar.
Emosi yang gampang meletup membuat banyak yang dirugikan dengan adanya media sosial. Budaya check and recheck, mencari alternatif berita yang berimban, kini semakin susah karena opini- opini yang terbangun di media sosial terus terang kadang mengerikan.Â
Click bait, judul-judul yang mengecoh dari berita- berita di media sosial dengan cepat diviralkan, tanpa perlu mengetahui isi berita asal judulnya heboh langsung diviralkan.
Manfaat dan sisi buruk media sosial
Di satu sisi banyak nilai- nilai kebaikan bisa dipetik dengan adanya media sosial, namun di sisi lain masyarakat seperti hidup dalam dunia yang serba cepat, serba instan, dan apapun informasi dengan cepat datang membandang.
Banyak selebriti, orang terkenal sangat geram dengan media sosial sekaligus diuntungkan. Geram ketika gosip-gosip miring dengan cepat tersebar padahal tidak sesuai dengan kenyataan.Â
Diuntungkan karena posisi sebagai orang terkenal dengan mudah mendapat follower, sehingga ia bisa mencari uang dari pembuatan content di media sosial. Sebut saja, Atta Hallilintar dan Ria Ricis, yang termasuk orang yang mendapat durian runtuh dari fenomena media sosial.Â
Semua orang yang disebut millennial dan berbondong-bondong ingin memanfaatkan media sosial supaya bisa terkenal, otomatis mereka juga mendapatkan penghasilan dari ngevlog, upload foto, atau video yang berpotensi viral dan banyak disukai orang.
Fenomena yang terjadi sekarang ini adalah fenomena yang tidak bisa dihindari. Sebuah anugerah bisa mengikuti perkembangan zaman. Hanya manusia tetap harus sadar tidak boleh dikendalikan oleh barang bernama HP.Â
Manusia tetap harus bisa berinteraksi sosial secara langsung agar manusia tidak menjadi robot- robot yang manut disetir mesin canggih bernama smartphone.
Smartphone amat membantu aktivitas baik bisnis maupun mendapat informasi, tetapi manusia tetap harus berpijak di bumi, yang hidupnya akan selalu berhubungan dengan manusia lain.
Kebencian ada sejak dalam pikiran menjadi-jadi ketika kemudian dikendalikan mesin yang hanya bergerak dengan bahasa pemrograman, sedangkan manusia mempunyai nurani, mempunyai akal yang bisa menelaah berbagai masalah. Yang benar harus dibela yang salah diarahkan agar menjadi benar.
Jika terkendali oleh berita-berita viral takutnya manusia otak dan pikirannya menjadi terbalik-balik, yang salah dibelanya mati-matian, sedangkan yang benar benar tidak salah malah digoblok- goblokkan bahkan disudutkan atas nama berita viral yang beredar.
Kalau mau membenci sebuah peristiwa atau masalah dari media sosial sebaiknya check and recheck dulu, agar tidak menjadi dun** karena pengaruh buruk media sosial. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H