Saya menapaki perjalanan menulis Kompasiana dengan merawat kesunyian sekaligus melintas kegaduhan. Saat menulis di sosial budaya kesunyian terasa, para pembacanya adalah kesunyian dan jarang ada komentar dan jarang ada yang melirik.Â
Kenapa memilih jalan sunyi, sebab saya ingin menuliskan idealisme, sebisa mungkin bicara sesuai passion. Sebab sehari- hari saya bergelut di sosial budaya menjadi perenung dan pengamat pasif. Saya bukan pelaku budaya hanya guru biasa yang kebetulan mengajar seni budaya.
Apakah saya mengajari etika dan karakter manusia. Terus terang saya lebih banyak bergulat dalam estetika, jarang menyentuh etika karena terbawa sikap saya yang "masa bodoh". Saya sering hanya peduli diri sendiri, kesenangan diri sendiri dan jarang menyelami kesulitan- kesulitan siswa saat merasa frustrasi dengan coretan- coretan yang menggelikan, tidak bermakna.
Tetapi apapun jika sudah mencoret sudah, sudah mau menggambar dan mengenal seni sudah mempunyai nilai. Saya menginginkan kebebasan dalam proses penciptaan karya.Â
Mereka perlu mengerti bahwa untuk mengejar kesempurnaan perasaan estetis diri mereka harus terbebaskan dari keterkungkungan dan pembatasan. Tetapi banyak dilema ketika mengajarkan kebebasan berekspresi karena akan membuat gaduh kelas, ketidakteraturan dan teguran dari pemangku kepentingan di sebuah institusi bernama lembaga pendidikan.
Saya menuliskan tulisan sosial budaya dengan penuh kesadaran tetapi para pembaca yang tidak sadar untuk mengerti bahwa persoalan sosial budaya adalah inti dari manusia yang ingin merangkul makna keindahan.Â
Sangat penting menghaluskan budi dan kepedulian, sayangnya bahasan politiklah yang sangat ramai dilongok. Jadilah saya menulis politik dan saudaranya untuk menaikkan tingkat keterbacaan. Ya sudah idealisme kadang harus dibayar mahal. Saya anggap tulisan-tulisan saya sebagai proses saya untuk memahami kehidupan.
Yang bergerak  cepat dan mempunyai kemampuan tinggi dalam menulis memang akan selalu dilirik, tulisan- tulisannya ditunggu, inspirasinya dijadikan patokan dalam menulis. Dan saya hanya remah- remah, kadang dilirik kadang dicampakkan. Terkadang dalam ketersunyian jiwaku menjerit, seperti ingin menangis. Aku ingin teriak atas kegagalan- kegagalan yang harus saya lewati. Tetapi nyanyian sunyi itu inspirasi manis berpuisi. Puisi yang bagus juga bisa menghentak dan menjaring pembaca.
Jadi saya tetap setia menulis walau kadang,sedih juga menyaksikan pergerakan pembaca yang super lambat. Konon kebanggaan penulis jika tulisannya ramai ditanggapi, dikasih vote, dikomentari syukur- syukur masuk Artikel utama dengan ribuan bahkan puluhan ribu viewer.
Siapa menanam dialah yang memetik hasilnya. Mungkin saya bukan marketing yang baik bagi tulisan- tulisan yang pernah terpublish, aku cenderung membiarkan tulisan mengalir menemui takdirnya sendiri. Di platform blog seperti Kompasiana seharusnya saya agresif, tidak pasif, mau berbagi, mau mengunjungi artikel teman, kolega, seteru, suhu atau guru menulis.Â
Saling interaksi sangat dibutuhkan agar artikel- artikel yang dipublish mendapat respon dari sesama kompasianer. Dulu Kompasiana mengusung tagline sharing and connecting. Ada sharing antar penulis dan pastinya terhubung satu sama lain dalam interaksi komentar secara online maupun saat kopi darat.