Penulis sebetulnya tidak pernah benar- benar mengerti dunia politik, kalau teori mungkin pernah menerimanya ketika selama setahun pernah menimba ilmu di STPMD (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa). Ada dasar- dasar politik yang diajarkan dan kewajiban membaca buku dari Miriam Budiardjo tentang dasar- dasar politik. Itupun masih sebatas ilmu dasar, entah apakah mereka para politisi itu benar- benar paham ilmu politik atau hanya menduga- duga.Â
Tetapi menurut saya ilmu politik itu patut dipelajari karena menyangkut tata kelola pemerintahan. Tentang sistem dan aturan main bagi para politisi, hanya sayangnya rasanya sekarang politik memang boleh dikatakan Hwarakadah kata Dwi Koen dalam kartunnya di Kompas Minggu. Politisi itu lebih terlihat sebagai bajing loncat atau bisa dikatakan para pemburu kekuasaan. Tidak ada yang benar- benar berjuang untuk rakyat. Itu hanya janji manis saat sedang melakukan kampanye, merebut simpati masyarakat. Aslinya boleh dikatakan srigala yang siap menerkam atau bunglon yang boleh dikata bisa berubah tergantung suasananya.
Lupakan teori politik, lupakan kesopanan dalam sebuah hubungan sebuah relasi terutama dalam dunia politik. Kalau perlu bergaya agamis namun berhati materialis dan penghayat kekuasaan sejati. Asal menguntungkan secara politik apa saja dilakukan termasuk menggadaikan kehormatan diri.
Penulis melihat fenomena ini, sejak lama, sejak orde baru berlanjut ke era reformasi. Bahkan ketika era reformasi mereka benar- benar telanjang dalam memainkan petualangan politik. Bisa melompat dari satu partai ke partai lain. Berkoalisi dari satu pemilu dan kemudian beroposisi di pemilu berikutnya. Sah- saja siapa yang melarang. Dan pertunjukan itu ada di depan mata.Â
Mana yang baik mana jahat, susah dibedakan. Bagaimana bisa menilai jejak petualang politik. Mulut boleh berbusa- busa bicara tentang visi kebangsaan, tetapi lain waktu dengan koalisi berbeda bisa mengatakan sebaliknya. Jungkir jempalik narasi tentang politik itu yang membuat masyarakat akhirnya apatis, sudah susah bicara lagi tentang politik. Mungkin Ilfeel, atau benar- benar sudah muak.
Belum selesai sensasi hoaks pemilu yang masih gress, mereka sudah bermanuver untuk pemilu berikutnya, mencoba mengusung tokoh tokoh yang sebelumnya lawan diusung menjadi kawan. Huaduh bagi orang awam bagaimana ini. Bagi mereka yang susah mikir ya akhirnya mual dan mungkin muntah ditempat. Politik kok begini sih. Njuk Piye? Kata Mbah Ngatmo.
Megawati yang sudah kenyang dalam dunia politik tampaknya masih gamang melepaskan jabatan politiknya sebagai ketua umum, regenerasi politikus mandeg. PSI yang notabene representasi politikus muda terus diserang oleh partai politik lama. Seperti tidak diberi nafas untuk memperbarui imej politik dikalangan generasi millennial. PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem PPP, PKB sibuk melobi presiden untuk jatah menteri.Â
Mereka terus memelototi Jokowi dan menebak nebak apa yang ada dalam pikiran Presiden petahana tersebut. Tentunya mereka mau jatah mentri, bagi bagi kue kekuasaan. Jokowi semakin pusing karena ada nada ancaman dari partai politik untuk menagih jatah. Sedangkan PDIP malah sedang CLBK dengan Gerindra dalam hal kerjasama politik. Padahal sebelumnya musuh bebuyutan.
Sudah berapa kerugian masyarakat akibat gntok- gontokan elite politik, sudah berapa juta masyarakat terbelah dalam dukung mendukung, e lladalah mereka sedang bersandiwara seakan musuh- musuhan. Sekarang ketika ada rekonsiliasi berbagai trik politik membandang datang, lalu siapa sih yang dipercaya.Â
Semoga saya salah menduga pikiran Jokowi, Pikiran Prabowo dan Megawati. Penulis masih berharap pada ketegasan Jokowi untuk memilih mentri berdasarkan kinerjanya bukan karena titipan partai politik.Sebab untuk membenahi SDM mau tidak mau harus merombak cara berpikir politisi yang cenderung oportunis.
Masyarakat Indonesia masih berharap sosok Jokowi mampu membenahi carut marut persoalan politik. Pembangunan infrastruktur dan kemajuan bangsa harus dikejar. Harapan besar masyarakat adalah perubahan sisem, perubahan pelayanan publik, kurangnya mental korupsi dan perubahan pola pikir jajaran eksekutif dari menjadi bendoro yang yang harus dilayani menjadi pelayan masyarakat yang selalu siap membantu masyarakat bangun dari tidur panjangnya yang ditiup aroma feodalisme  sejak zaman Belanda.
Para politisi memang berhak duduk sebagai eksekutif, tetapi mereka harusnya tahu diri tidak memaksa bisa bila sebenarnya ia tidak mampu bekerja, sebagai eksekutor yang membawahi departemen dalam pemerintahan yang butuh keahlian, kepemimpinan, integritas dan semangat bekerja tinggi melayani masyarakat. Kalau hanya ingin ngenger dan akhirnya menjadi duri dalam daging atau benalu ya tidak usah menyodorkan diri. Nanti kalau dipecat terus "serik" lalu menjadi oposisi pembenci presiden sejati.
Kepada Presiden Jokowi, selalu ingat janji ya untuk menyikat mafia- mafia yang merongrong kedamaian, tegas mencegah ormas radikal mendikte negara. Agama jangan sampai bercampur dengan politik dan kekuasaan, sebab sudah banyak bukti jika negara- negara berbasis agama tidak bisa mengendalikan negara dan cenderung susah menghindar dari kecamuk perang saudara. Salam Damai Selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H