Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Listrik Mati, Kiamat Kecil di Rumah, serta Meriah di Mal dan Hotel

6 Agustus 2019   14:09 Diperbarui: 6 Agustus 2019   17:31 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:Seorang anak kecil di Bekasi belajar mengunakan lilin saat listrik padam se-Jabodetabek. katadata.com)

Kecewa dengan listrik mati? Bagaimana rasanya hidup tanpa listrik?Pernah Merasakan bagaimana hidup tanpa listrik? Berondongan pertanyaan itu memaksa untuk dijawab. Bagi saya tentu saja sebagai orang yang menggantungkan kehidupan dari listrik amat kecewa dengan matinya listrik di sebagian Jawa terutama Jawa Barat, dan Jabodetabek. 

Bagi yang belum sempat men-Cash HP dan mengisi cadangan air di toren lengkap sudah penderitaan. Mau membunuh kebosanan tetapi tidak ada hiburan, jalan keluar cuacanya panas, mau mengambil uang banyak swalayan yang tutup. Kalau saya masih bisa terhibur karena saya suka membaca buku, tetapi membaca di kegelapan apa enaknya. 

Akhirnya mau tidak mau pergilah banyak keluarga ke Mal atau pusat perbelanjaan yang selalu mempersiapkan genset jika tiba- tiba listrik mati. Bisa ngadem dan nongkrong di Mal sambil menunggu listrik nyala. Tetapi tentu saja pengeluaran semakin membengkak. 

Bagi yang terbiasa tidur nyaman oleh dinginnya AC, mereka ke hotel yang menyediakan genset dan tentu panen rejeki para pengelola hotel, meskipun harus mengeluarkan budget besar untuk membeli bahan bakar diesel.

Rasanya kiamat kecil terasa terutama hidup dalam perkampungan padat penduduk, ketika ruang hijau dan tanah lapang sudah semakin hilang di perkampungan penderitaan semakin lengkap dengan peristiwa listrik mati, apalagi padamnya listrik cukup lama, bagi beberapa tempat malah bisa sehari semalam. 

Akhirnya kita hanya mengeluh menyalahkan PLN, menyalahkan pemerintah, menyalahkan pohon waru, menyalahkan daun lidah setan, menyalahkan situasi gelap yang membuat aktifitas terganggu, aktifitas bisnis mengalami kerugian besar dan diikuti dengan kekacauan- kekacauan lain.

Bagaimana rasanya hidup tanpa listrik. Tentu saja susah dibayangkan. Gerah, panas, HP mati tidak bisa main internet, komunikasi kembali semula seperti zaman dulu. Tidur harus mengungsi ke tempat lebih adem, ruang menjadi gelap karena ventilasi tidak bagus. Keren khan. (keren mbahmu hehehe)

Kebetulan sewaktu mati saya dan keluarga tengah berada di Bogor (Ciomas) untuk keperluan pertemuan keluarga. Pas di perjalanan kipas mobil tiba- tiba rusak dan AC mobilpun hanya mengeluarkan angin. Panas menyerbu, gerah melanda, sumpah serapah terdengar. 

Tapi mau apalagi, lebih pusing lagi ketika perjalanan hanya mengandalkan JPS tetapi komunikasi ngadat dan akhirnya mati. Pusing memikirkan alamat yang masih belum jelas. Untung saja dekat dengan mobil kakak ipar yang kebetulan sudah mendownload lebih dulu alamat rumah, jadi lumayan lancar perjalanan.

Berita tentang listrik padam cepat sekali tersebar. Terutama saya mendengarnya di radio karena untuk mengakses internet susah banget.

Saya pernah merasakan hidup tanpa listrik waktu masih kecil di desa Saya di lereng Gunung Merapi dan Merbabu( Magelang). Waktu itu penerangan hanya memakai lampu minya. Lebih mewahnya lagi dengan petromak. Gelapnya malam sudah menjadi kebiasaan, televisi bisa dihidupkan dengan aki yang harus diisi setrumnya di kota. 

Kegelapan bukan kiamat kecil karena nyatanya malam yang sunyi lebih mendekatkan kami pada suasana desa yang damai meskipun sepi. Belum ada masalah jika listrik tidak ada karena peralatan elektronik belum banyak, masih bisa diatasi dengan Aki dan teplok dengan bahan bakar minyak tanah.

Kembali ke masalah listrik padam, yang bersorak adalah mal - mal, penjual lilin, pom yang menjual bahan bakar solar. Orang- orang berbondong ke mal untuk sekedar makan dan "ngadem". Permintaan menginap di hotel melonjak penjual Genset kebanjiran permintaan. Itulah fenomena listrik mati, ada yang diuntungkan banyak pula yang merasa rugi. 

Anak-anak dan kaum milenial tentu saja merasa tersiksa ketika tidur tidak bisa nyenyak karena AC mati dan kipas anginpun tidak berfungsi, hanya tangan yang sibuk memegang kipas, mengibas-ngibaskannya untuk mengurangi panas dan serbuan nyamuk nakal. 

Terasa betul kota industri daerah yang tergantung pada peralatan yang mengandalkan peralatan listrik begitu menderita, untuk sementara kiamat kecil datang, penderitaan terasa meletup- letup. Ah manusia modern begitu bergantungnya kau pada listrik.

Dan ketika lampu kembali menyala rasa bahagia meluap, rasanya baru keluar dari derita panjang, padahal tidak sampai berhari- hari. Dan dari padamnya listrik manusia harusnya mengambil hikmah. 

Manusia tidak harus bergantung sepenuhnya pada peralatan elektronik. Kembali menanam pohon, menyejukkan lingkungan dan mendesain rumah tropis yang tetap terang dan sejuk ketika  listrik mati. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun