Kegelapan bukan kiamat kecil karena nyatanya malam yang sunyi lebih mendekatkan kami pada suasana desa yang damai meskipun sepi. Belum ada masalah jika listrik tidak ada karena peralatan elektronik belum banyak, masih bisa diatasi dengan Aki dan teplok dengan bahan bakar minyak tanah.
Kembali ke masalah listrik padam, yang bersorak adalah mal - mal, penjual lilin, pom yang menjual bahan bakar solar. Orang- orang berbondong ke mal untuk sekedar makan dan "ngadem". Permintaan menginap di hotel melonjak penjual Genset kebanjiran permintaan. Itulah fenomena listrik mati, ada yang diuntungkan banyak pula yang merasa rugi.Â
Anak-anak dan kaum milenial tentu saja merasa tersiksa ketika tidur tidak bisa nyenyak karena AC mati dan kipas anginpun tidak berfungsi, hanya tangan yang sibuk memegang kipas, mengibas-ngibaskannya untuk mengurangi panas dan serbuan nyamuk nakal.Â
Terasa betul kota industri daerah yang tergantung pada peralatan yang mengandalkan peralatan listrik begitu menderita, untuk sementara kiamat kecil datang, penderitaan terasa meletup- letup. Ah manusia modern begitu bergantungnya kau pada listrik.
Dan ketika lampu kembali menyala rasa bahagia meluap, rasanya baru keluar dari derita panjang, padahal tidak sampai berhari- hari. Dan dari padamnya listrik manusia harusnya mengambil hikmah.Â
Manusia tidak harus bergantung sepenuhnya pada peralatan elektronik. Kembali menanam pohon, menyejukkan lingkungan dan mendesain rumah tropis yang tetap terang dan sejuk ketika  listrik mati. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H