Menyeruak keseruan polemiik poligami yang membuat orang- orang terbelah antara yang mendukung dan kontra. Suara mendukung saya yakin berasal dari mayoritas laki- laki dan sebagian kecil perempuan. Saya tidak dalam kapasitas mendukung atau mengecamnya. Hanya mencoba melihat dalam sudut pandang sebagai sebuah egoisme laki- laki yang merasa mempunyai kekuasaan, kekuatan dan kemampuan untuk melakukan poligami.
Kekuasaan dan wewenang Poligami Para raja dan Bangsawan
Raja- raja zaman dahulu sudah melakukan poligami. Istilahnya mungkin bukan poligami sebab raja biasanya mempunyai istri utama atau permaisuri. Raja lalu mengambil selir sebagai syarat ketika daerah jajahannya takluk dan mempersembahkan perempuan sebagai selir raja. Kekuasaan raja yang tidak terbatas memungkinkan bisa meminta wanita cantik, perempuan- perempuan yang mereka temukan dalam perjalanan menjadi selirnya. Para raja itu tentu tidak sampai berpikir perasaan perempuan karena kekuasaan dan kekayaan memungkinkan dia menitahkan apa saja pada rakyatnya termasuk jika ia tiba- tiba jatuh cinta lagi pada seorang wanita yang disukainya. Ia tetap mempunyai permaisuri yang menjadi prioritas cintanya. Satu istri utama yang menjadi simbol kekuasaan.
Poligami dan egoisme Laki- Laki
Boleh jadi egoisme laki- laki dari kalangan bangsawan zaman dahulu ingin diterapkan sekarang oleh mereka yang merasa mampu beristri lebih dari satu. Dan kebetulan ada agama yang membolehkan untuk melakukan poligami. Secara budaya memang membolehkan tetapi bila dipikir- pikir setiap pasangan hidup tentu menginginkan cinta sejati cukup dengan satu istri. Satu saja tidak habis- habis kenapa masih menginginkan lebih.
Jika sekarang polemik poligami terangkat karena ada celah untuk melakukannya karena populasi perempuan lebih banyak dari laki laki.Kebetulan di Kompasiana diskusi sangat hangat menyangkut poligami.
Surakarta dan Jogjakarta adalah kerajaan terakhir di Jawa ( yang saya kenal ) yang raja- rajanya menerapkan poligami pada sebagian besar rajanya, kecuali Sultan Hamengkubawana ke X yang hanya mempunyai satu istri yaitu GKR Hemas.
Kisah pilu tentang garwa selir bisa dibaca dari tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Gadis Pantai. Pramoedya menceritakan betapa menyakitkan menjadi selir bangsawan Jawa yang hanya menginginkan anak laki- laki dari istri -- istrinya. Sebab anak laki- laki akan meneruskan garis keturunan raja atau bangsawan. Sedangkan anak perempuan tidak dianggap karena tidak memberikan dampak bagi kesinambungan garis keturunan bangsawan.Jika selir itu kebetulan melahirkan anak perempuan semakin sengsaralah dia karena selanjutnya selir itu akan di usir keluar istana. Anaknya dibiarkan di dalam rumah bupati/ raja/bangsawan.
Jika perempuan mempunyai hasrat dinikahi oleh bangsawan dan orang kaya persepsinya adalah mereka(perempuan) itu hanya ingin merasakan kenikmatan sebagai orang berkecukupan atau sebagai bangsawan atau istri raja. Secara bathin mereka tentu akan lebih menyukai suami yang mencintai dirinya sepenuh hati.
Kisah poligami hendaknya dipahami sebagai bagian dari sejarah feodalisme bangsawan- bangsawan di masa lalu. Sebuah situasi yang membuat istri- istri banyak menjadi bagian dari simbol kekuasaan dan kekuatan.
Sekarang apakah relevan membuat undang- undang yang melindungi hasrat berpoligami. Meskipun agama membolehkan seharusnya tidak perlu disahkan dalam sebuah undang- undang. Jika ada laki- laki yang ingin berpoligami ya berunding dahulu dengan istrinya apakah istrinya membolehkan atau sebetulnya keberatan tetapi takut cerai gara- gara tidak setuju dengan suaminya masalah mengambil istri pertama, kedua dan sebagainya.
Masalah Keadilan dan Kemampuan Ekonomi Pelaku Poligami
Kalau tidak bisa berlaku adil dan kebetulan ekonomi pas-pasan, Â tidak usah memaksa poligami. Kalau poligami akhirnya menjadi masalah dan bahkan rumah tangga berantakan untuk apa setuju poligami.Pikirkan yang lebih penting pada negara ini yang lebih sibuk membahas poligami, politik identitas. Produktifitas, kecepatan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, memberikan prioritas pendidikan pada anak- anak, memberikan fasilitas generasi muda untuk bisa bersaing dan mengejar ketinggalan dari negara lain lebih utama daripada sibuk membuat undang- undang poligami yang sebetulnya hanya bagian dari warisan feodalisme zaman dahulu.
Kalau mau poligami silahkan jika mampu, kalau tidak mampu jangan memaksakan diri, itu egois namanya. Perempuan juga butuh perhatian, prioritas dan persembahan cinta laki- laki yang utuh tidak terbagi- bagi. Jika ada sementara perempuan yang setuju poligami tentu itu kasus saja. Mereka nyaman karena suaminya memperlakukan adil kepada semua istrinya. Adil karena suaminya cukup dalam hal finansial. Coba kalau tidak cukup bisa terjadi perang dunia dalam rumah tangga.
Kisah poligami para raja mungkin salah satu referensi pada lelaki yang ingin melakukan poligami tetapi di era modern ini sudahkah dipikirkan matang- matang bagaimana perasaan perempuan yang dipoligami. Jangan hanya karena egoisme laki- laki lalu melegalkan poligami sebagai bagian dari kebijakan publik. Saya ulangi satu istri saja tidak habis- habis bagaimana menghadapi dua istri. Satu istri saja kadang pusing dengan omelan- omelan yang selalu hadir apalagi dua sampai tiga istri bisa anda bayangkan peluru omelannya mendarat ke telinga hahaha. Bukankah kekuasaan istri absolut. Mereka biasanya tidak mau disalahkan dalam hal berdebat karena semua perkataannya maha  benar yang salah suaminya...eh kok jadi curhat.... Jangan- jangan saya termasuk suami- suami takut istri....wk-wk...wk  kaburrrrr. Salam Damai.