Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Meditasi di Tengah Kemacetan Jakarta

18 Mei 2019   14:30 Diperbarui: 18 Mei 2019   19:56 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meditasi bisa di mana saja bahkan dalam kota yang penuh kemacetan (suara.com)

 

Menjelang Waisak rasanya umat Budha akan sejenak melupakan hiruk pikuk kota terutama Jakarta dengan kemacetannya. Ojek online yang cenderung susah diajak kompromi jika harus tertib berlalu lintas dan tentu saja kebisingan malam bertambah saat anak dengan riang gembira membunyikan petasan sebagai cara untuk menyambut ramadhan.

Rehat Sejenak Menenangkan Pikiran

Harus bagaimana caranya bisa merehatkan pikiran, mengistirahatkan emosi dengan hiruk pikuk politik yang terus menyuarakan curang-curang sementara yang berteriak juga berbuat curang. Orang lebih banyak melihat orang lain, lebih senang menghakimi, lebih senang mengolok-olok orang lain daripada meneliti apakah diri sendiri sudah lebih bagus dari orang lain.

Makanya ketika Pemilu berlangsung riuh seperti tidak ada penyelesaian yang menguntungkan semua pihak, harus ada orang yang mau berkorban untuk mendamaikannya berdiri atau duduk di tengah-tengah guna membangunkan tubuh yang tidur lelap dalam maupun terlalu dalam dalam arus penghakiman terhadap orang lain. 

Jauh dalam jiwa manusia ada suara damai yang mendendangkan ketentraman. Dalam diam ada pencerahan dalam pencerahan ada kata-kata bijak tanpa harus merasa diajari. 

Suara itu akan datang ketika tubuh tenang, lepas dari kerumitan hidup di sekeliling. Mungkin itu juga yang dirasakan Siddhartha Gautama dalam pencariannya mencari kebajikan.

Dalam meditasi, keheningan batin dan jiwa bisa dirasakan bila ada kepasrahan menemima diri dan tidak takut akan banyaknya masalah-masalah dalam hidup. 

Keluarnya nafas dan kemudian hembusan udara yang masuk dari dalam ke tubuh manusia memberi kekuatan. Kekuatan itu tidak terukur. Semakin merendah, semakin merunduk hadirnya sang sabda yang terus memberi nafas kehidupan sehingga hawa ketenangan begitu meresap masuk dalam setiap edaran darah yang mengalir di seluruh tubuh.

Para pemimpin agama yang sudah melewati hijrah batin akan melihat betapa luasnya kebajikan dan betapa tenangnya menyikapi perbedaan. Sebab manusia memang ditakdirkan untuk berbeda antara satu dengan yang lain, tujuannya adalah untuk saling melengkapi bukan saling memotong atua saling jegal.

Bagaimana dengan orang- orang yang terlalu berpikir untuk dirinya sendiri dan egois dan susah berbagi. Dalam ajaran Budha ada semacam karma. Karma diterima sesuai amal baktinya sewaktu hidup di dunia. Jika dalam kehidupan sebelumnya selalu berbuat baik dan selalu menolong orang lain, maka dalam kehidupan selanjutnya pasti akan mendapat karma yang baik dari transformasi kehidupan sebutlah reinkarnasi.

Orang yang sebelumnya penuh dosa tentu akan mendapat ganjaran setimpa atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Meditasi di tengah kesumpekan apalagi padatnya aktivitas Jakarta butuh kesabaran. Butuh jiwa yang besar, apalagi jika dalam setiap kehidupan selalu tidak berjarak dengan gawai dan media sosial. 

Selalu ada kemarahan, kekecewaan, kesedihan dalam menyaksikan keajaiban dunia ini. Selalu ada muncul sebab akibat dari rentetan peristiwa. Ada semacam de javu kehidupan. Manusia akan mengalami halusinasi seakan-akan pernah merasakan peristiwa tapi lupa kapan terjadinya.

Ajaran Budha dan inspirasi kehidupannya

Saudara-saudara yang beragama Budha tengah mempersiapkan diri untuk melakukan laku sepi, masuk dalam dunia meditatif, mencoba meresapi kisah kelahiran (623 SM) Pencerahan Sempurna tahun (588 SM) dan kisah Wafat Sang Budha, Siddhartha Gautama 543.

Dari Mendut menuju ke Borobudur ribuan bahkan jutaan umat Budha akan mengadakan prosesi melakukan perjalanan spiritual. Katakan people power untuk hijrah dari hal yang buruk ke laku yang baik. 

Hijrah jiwa dari laku jahat menjadi lebih baik memang layak dilakukan. Lebih- lebih juga para pemimpin yang sedang asyik menggoyang ketenangan masyarakat dengan teriakan- teriakan provokatif.

Boleh sejenak diam melakukan introspeksi, meneliti batin mengenai apa yang sudah dilakukan. Apakah karena kekuasaan tali persaudaraan menjadi terputus, setiap orang merasa berhak curiga dengan teman, saudara, tetangga dan masyarakat sekitar karena beda pilihan. Jakarta memang selalu macet dan susah terurai kemacetannya jika manusianya tidak sabar, selalu emosi meskipun sangat rajin melakukan doa.

Doa bukan hanya sebatas ritual dan kewajiban saja, doa itu sebuah dialog kehidupan. Manusia perlu untuk merasakan manfaat doa dengan membaca dan menghayati ayat-ayat dan juga bagaimana mampu untuk menempatkan diri sebagai lilin kebenaran bagi orang lain. Jika karena beda agama lalu kemudian berantem, maka ada yang masih kurang dalam menghayati kehidupan agama.

Seorang rohaniwan dengan tingkat spiritual yang tinggi tentu adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Ia tidak akan merasa tinggi, sebaliknya semakin belajar agama semakin merasa bodoh. Sebab Tuhan itu Maha Luas.

Ketika seseorang bisa konsentrasi di tengah hiruk pikuk kemacetan tentu sebuah pencapaian istimewa. Berapakah pemimpin bangsa yang bisa mengalahkan ego diri, tidak nggengge mangso (atau mendahului kehendak), sabar menunggu hasil sesuai prosedur hidup. 

Sang Budha sudah mencontohkan yang baik semua agama bisa memetik hikmat dari pengorbanan Budha. Dan bagi umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa akan sangat gembira menerma kemenangan nanti jika puasanya mampu meredam hawa makan, minum serta yang terpenting adalah menjaga jiwa dan perilaku untuk tidak terpancing hasutan maupun provokasi yang berusaha menggiring mereka untuk mengumbar kemarahan yang seharusnya bisa dicegah dengan adanya bulan suci.

Bagi Umat Budha, Selamat Hari Waisak yang ke 2563 tahun 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun