Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pantang Lelah di Usia Senja

12 Mei 2019   17:02 Diperbarui: 12 Mei 2019   17:04 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap pagi Pak Tua itu selalu mondar- mandir di kompleks rumah di Cengkareng Timur tepatnya di depan SMK PGRI 35, dengan kantong beras besar ia mencari botol air mineral dan barang- barang yang bisa dipungut dan disetorkan ke penadah plastik.

Pak tua itu rajin, mengumpulkan sisa gelas plastik, botol botol yang berserakan hampir di setiap sudut. Sampah menggelasah di perkampungan memang sudah biasa. Banyak orang tidak peduli dengan satu dua sampah yang selalu bertambah sepanjang hari. Anak sekolahpun lupa bahwa sampah plastik itu harus ditempatkan di tempat khusus seperti drum atau kotak sampah.

Banyak yang berpikir toh cuma sampah plastik. Habis jajan es ya buang saja. Nanti juga ada tukang sampah yang mengumpulkan. JIka setiap anak berpikiran sama maka ribuan sampah, bahkan jutaan sampah menggelasah. Semakin menumpuk dan semakin malas pula memungut dan memilahnya untuk di buang ke tempat penampungan sampah.

Tak Apa memulung toh pekerjaan Halal (Foto Joko Dwiatmoko )
Tak Apa memulung toh pekerjaan Halal (Foto Joko Dwiatmoko )

Pak Tua itu paling tidak membantu mengurangi volume sampah yang berceceran. Boleh dong menambah penghasilan untuk mengisi masa tua. Menganggur itu berat dan membuat hidup menjadi gelisah. Tidak perlu malu memungut sampah toh pekerjaannya lebih mulia dari pada hanya berpangku tangan atau mengharapkan nasi bungkus bila dibayar untuk demo.

Meskipun paling banter 10 ribu kalau lagi kenceng bisa sampau 100 ribu tetapi lebih berkah daripada 1 juta tapi dengan mengemis, menjual belas kasihan.

"Pak Tua pantang lelah di usia senja. Tetap berkarya, tetap bekerja meskipun penghasilan tidak seberapa."

"Iya daripada nganggur tanpa kerjaan, lebih enak memulung. Ya selain mendapat uang juga badan menjadi lebih sehat karena terus bergerak."

"Plastik itu akan selalu ada mas. Penghasilan pasti meskipun kecil."

Tidak ada pujian yang lebih mulia jika seseorang lebih senang bekerja dengan tidak mengharapkan belas kasihan orang. Tidak perlu membuat anak dan keluarga terbebani dengan usia yang semakin senja. Pak Tua itu masih bisa bergerak, tangannya masih cekatan memilah- milah sampah, jiwanya juga sudah tulus menerima garis hidup. Nasib, keberuntungan tiap manusia itu beda- beda. Kalau mau menerima hidup dengan berpikir sederhana dan menjalani hidup tanpa mengeluh tentu sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa.

Pak Tua itu sudah mengerti bahwa kehidupan telah mematangkan jiwanya. Goresan wajahnya adalah sebuah cermin kerasnya kehidupan yang sudah ia lalui. Pasrahkan saja ke Yang Maha Kuasa.  Yang penting sudah berusaha sebisa -- bisanya di sisa tenaganya mulai menurun. Tetapi jika jiwanya masih kuat, fisiknya tetap mampu menopang keinginan baik yang muncul dari jiwa, sebab Yang Maha Tahu pasti mengerti apa yang diperlukan dalam hidupnya.

Diantara tumpukan samapah yang menggelasah itu ada rejeki yang bisa dikorek (Foto Joko Dwitmoko )
Diantara tumpukan samapah yang menggelasah itu ada rejeki yang bisa dikorek (Foto Joko Dwitmoko )

"Menjadi tua itu pasti, Jalan menurun dan menanjak itu realita kehidupan. Tetapi berusaha itu wajib agar manusia tetap bertahan dalam kehormatannya yang hakiki."

"Iya Pak Tua saya salut dengan perjuangan anda. Saya yang gajinya cukup untuk menghidupi satu istri dan 3 anak masih saja mengeluh kekurangan uang, mengeluh masih banyak utang dan selalu berharap bisa seberuntung orang- orang yang kebetulan kecukupan, mempunyai mobil, bisa tiap pekan makan di mal dan menonton bioskop.kadang tidak ada rasa syukur Pak dan banyak mengeluh karena apa- apa serba mahal."

"Ya,karena kadang banyak orang mengukur kesejahteraan dari kehidupan orang lain."

"Ya...itu saya akui Pak Tua... Sudah punya rumah ingin mobil, sudah punya mobil ingin mempunyai tabungan untuk bepergian ke luar negeri... tidak ada habis- habisnya keinginan."

"Kalau mau tenang ya sesuaikan dengan kemampuan mas."

"Betul..."

Perkataan Pak Tua itu seperti menonjok kesadaran saya. Ya seharusnya saya tidak usah memaksakan diri harus bisa seperti yang saya impikan, sesuaikan saja dengan kemampuan... Tapi namanya manusia pasti punya cita- cita dan keinginan. Tapi keinginan yang dipaksakan akan menyengsarakan.

Belajar dari Pak Tua bekerja saja. Apa saja yang penting halal. Hidup sesuai kemampuan.

Tapi ya jangan berprinsip Muda foya- foya tua kaya raya...mati masuk surga...

Hehehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun