Pak Tua itu sudah mengerti bahwa kehidupan telah mematangkan jiwanya. Goresan wajahnya adalah sebuah cermin kerasnya kehidupan yang sudah ia lalui. Pasrahkan saja ke Yang Maha Kuasa. Â Yang penting sudah berusaha sebisa -- bisanya di sisa tenaganya mulai menurun. Tetapi jika jiwanya masih kuat, fisiknya tetap mampu menopang keinginan baik yang muncul dari jiwa, sebab Yang Maha Tahu pasti mengerti apa yang diperlukan dalam hidupnya.
"Menjadi tua itu pasti, Jalan menurun dan menanjak itu realita kehidupan. Tetapi berusaha itu wajib agar manusia tetap bertahan dalam kehormatannya yang hakiki."
"Iya Pak Tua saya salut dengan perjuangan anda. Saya yang gajinya cukup untuk menghidupi satu istri dan 3 anak masih saja mengeluh kekurangan uang, mengeluh masih banyak utang dan selalu berharap bisa seberuntung orang- orang yang kebetulan kecukupan, mempunyai mobil, bisa tiap pekan makan di mal dan menonton bioskop.kadang tidak ada rasa syukur Pak dan banyak mengeluh karena apa- apa serba mahal."
"Ya,karena kadang banyak orang mengukur kesejahteraan dari kehidupan orang lain."
"Ya...itu saya akui Pak Tua... Sudah punya rumah ingin mobil, sudah punya mobil ingin mempunyai tabungan untuk bepergian ke luar negeri... tidak ada habis- habisnya keinginan."
"Kalau mau tenang ya sesuaikan dengan kemampuan mas."
"Betul..."
Perkataan Pak Tua itu seperti menonjok kesadaran saya. Ya seharusnya saya tidak usah memaksakan diri harus bisa seperti yang saya impikan, sesuaikan saja dengan kemampuan... Tapi namanya manusia pasti punya cita- cita dan keinginan. Tapi keinginan yang dipaksakan akan menyengsarakan.
Belajar dari Pak Tua bekerja saja. Apa saja yang penting halal. Hidup sesuai kemampuan.
Tapi ya jangan berprinsip Muda foya- foya tua kaya raya...mati masuk surga...