Anies memang sukses menghentikan laju Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama dalam  pemilihan Gubernur digelar pada 19 April 2017). Ia menang dan dipilih 58 persen warganya yang menginginkan pimpinan yang mengusung sosok yang dipersepsikan santun, ramah, sejuk tidak temperamental seperti Ahok  tentunya karena dipilih ulama.
Anies diharapkan menggantikan sosok keras dan blak-blakan Ahok yang tidak pernah tedeng aling- aling jika ada pejabat melakukan kesalahan. Gelegar Ahok saat memarahi bawahannya begitu diingat, tetapi warga DKI bahkan tidak mencatat kebaikan Ahok ketika membuka lebar- lebar pintu kantornya untuk dilihat rakyat dan menjadi rumah semua warga yang ingin berkeluh kesah atas segala keruwetan hidupnya tinggal di Kota besar Jakarta.
Basuki mendengarkan mereka, menampung keluhan masyarakat dan membuat sibuk aparat, pejabat, karyawan pemda. Mereka harus siap sedia setiap saat mendengarkan keluhan, mendengarkan uneg- uneg warga. Tetapi Ahok manusia biasa yang bisa khilaf dan akhirnya meringkuk ke pencjara akibat tuduhan pelecehan agama, dibuktikan dengan potongan suara yang dibuat oleh Buni Yani. Segera masyarakat yang masih mabuk agama segera bereaksi. Dengan mengusung kaum agamawan, ulama, kaum radikal, dan mereka yang tidak suka dengan gaya Ahok yang cenderung tanpa basa- basi mereka berhasil memenjarakan Ahok dengan tuduhan yang didekatkan dengan masalah sensi masyarakat berkembang yaitu agama.
Dengan tulus Ahok menerima dan mengikuti vonis dan harus meringkuk di penjara selama dua tahun. Hukuman yang tidak adil menurut para pemujinya dan masyarakat yang berpikir rasional. Rasanya alasan pemenjaraan Ahok terlalu dibuat- buat, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Ahok sudah menjadi pesakitan dan dipenjara atas ketulusannya menjalani hukuman.
Anies  melenggang karena dukungan 58 persen warga. Anies akhirnya harus sendiri ketika Sandiaga Uno mengundurkan diri demi melompat ke jabatan lebih tinggi yaitu wakil presiden. Jakarta yang masalahnya kompleks harus dihadapi sendiri Anies. Anies adalah seorang konseptor. Gagasannya sering tampak briliyan dan idealis tetapi Jakarta adalah masalah yang harus diselesaikan bukan dengan retorika tetapi tindakan nyata. Pemimpin Jakarta itu tidak hanya harus tegas, tetapi harus tegaan dan out of the box. Kesantunan Anies mulai mendapat reaksi dari warga, karena program- programnya yang terkesan humanis namun tidak menyelesaikan persoalan. Pola berpikir teknis dengan kecepatan penyelesaian dimiliki oleh BTP. Sedangkan sosok Anies cocoknya memang di lingkungan pendidikan dengan gagasan- gagasan besar yang cocok untuk sikusi ilmiah tetapi kurang cocok untuk kompleksitas masalah Jakarta yang centang perenang.
Anies, Guru dan Dunia Pendidikan
Jika idealis saat menghadapi Jakarta tentu susah diharapkan persoalan Jakarta cepat terurai. Harus diakui dalam beberapa hal Anies boleh dikasih jempol terutama kepeduliannya pada pendidikan dan bagaimana "Nguwongke" Jakarta. Tipe orang Jawa yang serba tidak enak dan ingin membuat setiap warga bahagai tanpa hentakan kemarahan yang diperlihat seperti Ahok. Bagi guru, pensiunan guru dan PNS Anies adalah idola karena ia bisa memaklumi kekurangan posisi mereka. Sebagai guru saya tersanjung jika Anies mau mengusahakan pembebasan pajak, itu berita bagus, tetapi bagaimanapun bisa menjadi blunder jika hanya memperhatikan para guru karena tentu semua warga ingin juga mendapat prioritas sama seperti guru.
Masalah pendidikan terus terang Anies sangat mengerti, bagaimanapun ia pernah menjad dosen dan rector tentu amat  menguasai dalam hal pendidikan. Tetapi gubernur adalah jabatan publik apalagi Membawahi Kota yang sekaligus Ibu kota Negara. Tentu ia menjadi sorotan, salah sedkit, blunder sedikit ia akan dimaki - maki bukan hanya dari warganya saja tetapi warga lain yang tidak tinggal di Jakarta. Semua tertuju pada Jakarta dan jika Jakarta sebagai Ibu Kota negara semrawut tentu berpengaruh juga terhadap persepsi negara lain atas kesemrawutan ibu kotanya.
Maka seharusnya antara Presiden dan Gubernur satu visi, satu pandangan sehingga bisa bersinergi. Jika Gubernurnya jarang melaksanakan instruksi presiden dan tidak cekatan mengatasi persoalan Jakarta akan banyak masyarakat yang berusaha mengadili segala kebijakan pemimpin ibu kota negara.
Anies Dalam Bayang- Bayang Kesuksesan Ahok
Maka ketika Ahok sukses mengubah Jakarta dalam waktu relatif singkat Anies menjadi korban dari kesuksesan Ahok. Kesuksesan Ahok menghantui Anies karena setiap warga tentu menuntut Anies lebih cekatan dari Ahok yang sudah dipilih oleh sebagian besar warga Jakarta. Suara penyesalan mulai muncul ketika Banjir baru saja menggenang Jakarta. Berbagai komentar Anies mendapat cibiran, lucu lucu komentarnya dan rata- rata menggunggat pola kerja Anies yang cenderung lambat dan selalu memotong kebijakan Ahok yang sudah berjalan dan sukses. Kini Anies berusaha menciptakan istilah sendiri, konsep sendiri yang susah dipahami anak buahnya. Naturalisasi sungai, yang dulunya normalisasi sungai dan secara berkala dan masif terus digenjot sehingga banjir di titik titik rawan banjir bisa diminimalisir dampaknya.
Anies seharusnya bisa memanfaatkan terobosan Ahok, tidak perlu gengsi jika pekerjaan Ahok yang sudah bagus tidak perlu diubah. Program Smart City yang bagus tidak perlu diubah cukup diteruskan dan dikuasakan pada ahlinya juga tidak menutup kaum milenial terlibat sehingga pengaturan lalu lintas Jakarta serta pengaturan atministratif terbantu dengan konsep yang sudah ada. Jika bekerja sendiri dengan konsep mengawang- awang tentu susah terimplementasikan. Tidak harus mengganti istilah yang sebetulnya konsepnya sama seperti menggusur dengan memindah, rumah susun diganti rumah lapis.
Tidak Perlu Malu Belajar dari Ahok
Tidak usah malu bertanya pada BTP. Sesekali merendah untuk mendapatkan simpati yang mulai menyingkir. Bukannya pemimpin yang visioner dan cerdas itu termasuk mereka yang tidak malu bertanya pada pendahulunya yang sudah sukses membuat program, Kalau berbalut politik kental dan gengsi karena ingin mendapat pujian sejarah karena gagasan- gagasan yang high class sebaiknya memang bukan menjadi pemimpin yang praktisi. Lebih baik bekerja di belakang layar dengan aneka gagasan. Menjadi Profesor yang mengembangkan penelitian- penelitian untuk mendapat sertifikat atas gagasannya yang belum pernah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H