Sekarang tampak aneh ketika Indonesia teramat bangga mengusung produk luar yang belum tentu cocok dengan alam dan budaya bangsa. Agama memaksa diri untuk memaksa penganutnya kembali ke keaslian budaya padang pasir dengan hukum gurun yang keras.
Harusnya setiap agama mau mengalah untuk masuk ke Indonesia dengan merasuk kepada kegembiraan alam, ke  kesuburan alam semestanya dan mengarahkan rasa syukur, penyembahan pada Tuhan lewat produk kebudayaan yang memang unggul daripada negara lain. Agama Islam tampak keindahannya saat melakukan syiar lewat budaya wayang, gamelan, tarian- tarian yang bisa ditemui dari Aceh sampai Papua. Agama tidak perlu alergi dengan tradisi yang sudah ada turun temurun di Nusantara. Jika syiar agama diperkenalkan dengan suasana riang gembira, tidak doktriner alangkah bahagianya. Karena bagaimanapun susahnya petani, jika malamnya bisa bergembira berjoget dan memuji Tuhan lewat sholawatan,  dengan rebana, kendang dan lagu -- lagu persembahan  lebih menyenangkan daripada pengerahan massa dengan orasi dan khotbah yang cenderung anarkhis diserta ancaman- ancaman yang membuat takut orang yang mendengarkannya.
Lima elemen dasar Kebudayaan Menurut Radhar Panca Dahana
Radhar  Panca Dahana, penulis budayawan dalam artikelnya di Kompas Senin, 8 April 2019 hal 7 (Fokus Hidup Bernegara) mengingatkan Bahwa bangsa ini harus mulai menghormati tradisi dengan lima elemen dasar yaitu nilai, norma, moralitas, etika dan estetika. Kelima  elemen itu adalah muara kebudayaan.
Jika lima elemen itu sudah bersenyawa dengan tradisi masyarakat apapun pengaruh produk budaya dari luar Indonesia tetap akan kokoh. Dengan tradisi yang kuat Indonesia tidak akan mudah dijajah kebudayaan asing yang belum tentu selaras dengan kepribadian bangsa. Lihat Jepang meskipun mereka punya visi pada kemajuan teknologi canggih tetapi akar tradisinya tetap kuat sehingga jepang tidak mudah terombang- ambing oleh pengaruh budaya luar.
Menjadi Pencipta bukan Pengguna
Indonesia saya pikir terlalu silau dan kagum pada sesuatu yang berbau luar negeri. Pada dimensi rligi banyak terpengaruh budaya Arab, pada teknologi digital secara terbuka terjajah oleh produk budaya China dan Korea. Kini banyak anak lupa budayanya sendiri, mereka terpukau untuk menggeluti budaya baru, sebagai gamer, sebagai pecinta teknologi digital.
Untuk maju teknologi memang diperlukan tapi kalau hanya menjadi pengguna, Indonesia akan selalu terjajah. dan akhirnya tersisih dari persaingan global karena tidak terpikir untuk menjadi pencipta tetapi lebih senang menjadi penikmat teknologi.
Sudahlah para elite, mulailah berpikir untuk memperkuat akar budaya Indonesia. Terpukau boleh terlena jangan. Saya sendiri rindu untuk menyaksikan pertunjukan seni tradisi yang penuh filosofi dan muatan ajaran luhur nenek moyang bangsa ini yang memang sudah unggul. Lihat saja Candi Borobudur, Bisakah membayangkan  secanggih itu pemikiran nenek moyang membangun candi besar yang menjadi warisan Budaya Dunia.Salam Budaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H