Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jogjakarta, Pariwisata, Kebudayaan, dan Sengatan Intoleransi

7 April 2019   16:20 Diperbarui: 7 April 2019   16:26 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya dulu cukup mengenal Jogjakarta. Kota dengan magis seni yang luar biasa. Hampir setiap hari ada kegiatan kesenian yang bisa disaksikan. Entah di Purna Budaya, di Gedung Sosietet, Vrederburg, Seni Sono.

Gedung tua di Seberang Vredeburg sebelah Istana Presiden. Kekentalan kegiatan kebudayaan menenggelamkan fanatisme agama yang memang ada sejak dahulu. Deru kebudayaan lebih menggema daripada pernik- pernik fanatisme penganut agama yang tumbuh subur di kampus- kampus.

Saya menilai di IKIP lah radikalisme, fanatisme  bertumbuh karena kegiatan rohani mahasiswanya. Hampir sepanjang hari saya membaca edaran di dinding masjid atau selebaran tentang ujaran kebencian. Kampus calon guru itu memang subur bagi pengembangan paham radikal.

Beda dengan UIN atau IAIN yang malah lebih terbuka, lebih toleran dan lebih modern dalam menanggapi perbedaan. Untungnya saya tetap berteman dengan orang- orang yang menghargai perbedaan, maka meskipun saya seringkali tidur di masjid mereka yang muslim tidak mempermasalahkannya. Jogjakarta yang tidak memungkiri ada warganya yang fanatik dan penganut paham radikal tetap bisa adem ayem.

Saya dulu tetap bisa tidur nyaman di selasar masjid menunggu kuliah berikutnya.

Media Sosial dan Berita Intolerasi yang Merebak

Sejak adanya media sosial Jogjakarta memang agak terkaget- kaget dengan perilaku oknum warga yang melakukan intimidasi, pembakaran nisan salib, melarang agama lain berdoa di lingkungannya, tidak memperbolehkan penganut agama lain indekost di dusun wilayah Jogjakarta (kasus yang menimpa Slamet Jumiarto di Dusun karet,  Desa Pleret, Bantul).

Rasanya orang Jogja terbiasa merasakan fanatisme agama. Dan gaung itu selalu kalah gayeng dengan riuh ramainya kesenian yang memberikan rasa damai. Sebab relasi seniman dengan masyarakat rasanya lebih fair. Mereka akan bersatu menyisihkan ego agama untuk melakukan kreasi seni yang selalu gayeng dan jauh dari fanatisme.

Jogja, sudah diketahui umum merupakan basis Muhammadiyah. Di Kauman, kaum terpelajar muncul. Daerah dekat Kesultanan Jogjakarta itu adalah pusat kegiatan agama. Dan situlah masjid Agung Jogja berdiri.

Akhir- akhir ini isu tentang intoleransi memang membuat risi masyarakat Jogja. Apalagi Sultan agak terlambat merespon tragedi intoleransi tersebut. Bagi pemeluk agama Katolik, Kristen dan agama lainnya rasanya mereka sudah maklum dengan situasi Jogjakarta. Apalagi sejak ada FPI dan paham- paham radikal yang memang susah ditangkal karena Jogjakarta notabene adalah kota pelajar yang sebagian besar dihuni oleh pendatang. Mereka tentu membawa budaya sendiri dari daerahnya. Relasi agamapun tentu beragam.

Boleh dikatakan yang terjadi di Karet itu tidak lantas membuat warga Jogjakarta resah dengan relasi antar agama. Media sosial memang cukup ampuh mengagetkan masyarakat dengan isu intoleransi tetapi saya yang pernah menghirup udara Jogja cukup lama yakin bahwa sebagian besar masyarakatnya masih sadar bahwa intoleransi itu hanya dilakukan oleh oknum. Keresahan yang utama saat ini adalah perpecahan karena peristiwa politik. Semuanya seperti dikaitkan dengan politik.

Jogjakarta sebagai kota Budaya tetaplah melaju sebagai pusat kebudayaan, diantara sebagian warganyayang fanatik gemanya tetap selalu kalah dengan kreatifitas warganya yang terpelajar. Pendatangnya selalu menggantungkan harapan bisa menyesap pengalaman di kota gudeg yang kental derap keseniannya.

Saat ini sekitar Jogja sudah bermunculan destinasi wisata yang tetap menjadi magnet wisatawan datang dan selalu datang kembali ke Jogjakarta. Hotel- hotel yang dulunya hanya segelintir kini bertebaran. Kalau dulu hotel- hotel ada di sekitar Jalan Solo dan Sekitar Malioboro saja, kini wisatawan bisa mendapatkannya di pinggiran Jogja. Semua karena pesona Jogja dan potensi wisata di daerah sekitarnya.

Jogja Adem karena Kebudayaan dan Pariwisata

Semoga tragedi intoleransi yang sering muncul di pemberitaan media meredup dengan peraturan baru yang diterbitkan Pemda Jogja. Semoga panasnya cuaca Jogjakarta siang hari tersiram oleh segarnya pemberitaan yang adem dengan nyamannya relasi kerukunan antar agama. Sebagai pecinta Jogja meskipun saya lebih nyaman tinggal di Magelang yang Adem (kampung asli saya di sekitar lembah Merapi Merbabu yang subur).

Jogja tetaplah kota besar pertama yang pernah saya singgahi sebagai kawah pembelajaran saya mengenal budaya. Saya berharap Jogja tetaplah lebih terkenal sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya yang selalu melahirkan seniman dan budayawan nasional dan internasional.

Pendidikan. kebudayaan, pariwisata adalah magnet Jogja. Intoleransi yang sering muncul semoga hanya sengatan sebentar untuk membangkitkan kembali nalar dan akal warga sebagai kota budaya yang tentu akan lebih mengedepankan toleransi daripada blunder- blunder intoleransi yang meresahkan. Saya yakin Jogja masih tetap ramah bagi pendatang yang serius belajar dan menyesap aroma budaya Jogja. Untuk kaum intoleran. Tobatlah. Salam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun