Boleh dikatakan yang terjadi di Karet itu tidak lantas membuat warga Jogjakarta resah dengan relasi antar agama. Media sosial memang cukup ampuh mengagetkan masyarakat dengan isu intoleransi tetapi saya yang pernah menghirup udara Jogja cukup lama yakin bahwa sebagian besar masyarakatnya masih sadar bahwa intoleransi itu hanya dilakukan oleh oknum. Keresahan yang utama saat ini adalah perpecahan karena peristiwa politik. Semuanya seperti dikaitkan dengan politik.
Jogjakarta sebagai kota Budaya tetaplah melaju sebagai pusat kebudayaan, diantara sebagian warganyayang fanatik gemanya tetap selalu kalah dengan kreatifitas warganya yang terpelajar. Pendatangnya selalu menggantungkan harapan bisa menyesap pengalaman di kota gudeg yang kental derap keseniannya.
Saat ini sekitar Jogja sudah bermunculan destinasi wisata yang tetap menjadi magnet wisatawan datang dan selalu datang kembali ke Jogjakarta. Hotel- hotel yang dulunya hanya segelintir kini bertebaran. Kalau dulu hotel- hotel ada di sekitar Jalan Solo dan Sekitar Malioboro saja, kini wisatawan bisa mendapatkannya di pinggiran Jogja. Semua karena pesona Jogja dan potensi wisata di daerah sekitarnya.
Jogja Adem karena Kebudayaan dan Pariwisata
Semoga tragedi intoleransi yang sering muncul di pemberitaan media meredup dengan peraturan baru yang diterbitkan Pemda Jogja. Semoga panasnya cuaca Jogjakarta siang hari tersiram oleh segarnya pemberitaan yang adem dengan nyamannya relasi kerukunan antar agama. Sebagai pecinta Jogja meskipun saya lebih nyaman tinggal di Magelang yang Adem (kampung asli saya di sekitar lembah Merapi Merbabu yang subur).
Jogja tetaplah kota besar pertama yang pernah saya singgahi sebagai kawah pembelajaran saya mengenal budaya. Saya berharap Jogja tetaplah lebih terkenal sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya yang selalu melahirkan seniman dan budayawan nasional dan internasional.
Pendidikan. kebudayaan, pariwisata adalah magnet Jogja. Intoleransi yang sering muncul semoga hanya sengatan sebentar untuk membangkitkan kembali nalar dan akal warga sebagai kota budaya yang tentu akan lebih mengedepankan toleransi daripada blunder- blunder intoleransi yang meresahkan. Saya yakin Jogja masih tetap ramah bagi pendatang yang serius belajar dan menyesap aroma budaya Jogja. Untuk kaum intoleran. Tobatlah. Salam. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H