"Imung, Kapan kau mau menerima cintaku?"
" Maaf, sekali lagi maaf, mas. Aku tidak bisa membalas cintamu. Sejak dulu tidak pernah terbersit ada perasaan cinta yang bersemi di antara kita?"
"Tidak harus dengan cinta, cukup sebagai teman atau sahabat, mau?"
"Sudahlah, terima saja cintaku. Apa sih yang kurang dariku...?"
Aku tidak tahu harus  bagaimana menghadapi orang keras kepala begini. Kini hanya aku dan bilang pada kamu: " Terlalu pemilih akhirnya kau nanti tak terpilih lho sampai tua...?"
"Bertindaklah seperti tukang. Cari bagaimana pemecahannya, jangan mengeluh. Tukang yang baik tidak pernah menggerundel, Ia hanya fokus mencari akar dari masalah retakan. Ia tentu akan berusaha merunut saaat tembok dibuat, perbandingan campuran antara semen dan pasir, antara cengkeraman tembok yang kuat karena ditanam oleh kuda- kuda beton yang kuat atau hanya sekedar asesories?"
"Oh ya. Aku akan berusaha mengurai tali- tali besar yang menghambat tali percintaan yang tidak pernah tumbuh di hatimu."
Aku memilih jalan sunyi kehidupan. Meskipun otakku amat gaduh oleh rasa kecewa tetapi aku masih lebih waras dibanding mereka yang sibuk saling bantah dan sindir di media sosial. Aku percaya aku akan lebih bahagia jika manusia bisa mempertahankan kejujuran menghadapi hadangan- hadangan kebencian di lingkungan kita teman, Mas Bro, Dab dan Nona.
Kupandangi tembok retak cintaku barangkali lebih berguna jika aku buat lukisan daripada menjadi tua karena terlalu menyesal dengan kisah cintaku yang cacat seperti tembok retak.
Jakarta, 5 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H