Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Terlalu Asyik Menulis Artikel Populer Lupa Tulisan Berkualitas

1 April 2019   11:56 Diperbarui: 1 April 2019   12:00 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ternyata bisa menulis artikel populer. Artinya tulisan sering nangkring di deretan lima artikel terpopuler, tentu saja ketika saya sering menulis tentang politik. Judul tentu saja memegang peran penting. Sebab judul yang kurang menarik berarti mengurangi tingkat keterbacaan. 

Ribuan pengintip tentu saja membaca judul yang menggelitik. Dari judul yang bombastis meskipun kadang isinya berbeda dengan judul yang diimajinasikan pembaca tertarik untuk membacanya. Tulisan politik itu memang menggemaskan, emosi lebih mendominasi daripada kedalaman sudut pandang.

Banyak pembaca yang hanya tertarik judul, setelah membaca dua sampai 3 paragraf lalu ditinggalkan begitu saja. Saat duduk di angkot, menunggu ojek online atau saat iseng ketika antre melamar kerja mereka membuka blog dengan judul mencolok.

Dan saat pembicaraan bulan- bulan belakangan ini didominasi politik maka  banyak penulis mencari cara meningkatkan popularitas dengan mencoba menjadi menganalisis politik terkini.

Ada yang meyakini tulisan yang dibacanya adalah bacaan inspiratif, tapi banyak yang merasa setelah membaca ternyata hanya sensasi belakan tidak berisi. 

Paling tidak saya pernah mencoba menulis tentang politik dan sempat merangkat ditangga terpopuler bersanding dengan penulis lain yang memang ahli politik dengan analisisnya yang tajam dalam dan berisi.

Tulisan Politik yang Cenderung Subyektif

Saya menulis politik lebih ke refleksi bahwa ternyata politik itu sangat abu abu. Politik itu sangat susah dipegang kata- katanya. Apalagi berbagai pernyataan politisi seleb yang cenderung rame sensasi minim prestasi. 

Mereka adalah seleb- seleb politisi yang sering diundang ke televisi, menjadi panelis, pembicara dalam diskusi politik atau talk show tentang politik. Ada yang berlatar belakang politik murni, tetapi ada yang datang dari kalangan selebriti yang kebetulan sudah minim job tetapi masih ingin eksis. Maka ia akan mencari cara untuk tetap eksis.

Senang tulisan populer tapi lebih bangga tulisan berkualitas...kritik diri sendiri.( screenshot by Joko Dwi)
Senang tulisan populer tapi lebih bangga tulisan berkualitas...kritik diri sendiri.( screenshot by Joko Dwi)

Dalam beberapa bulan ini saya memang cukup asyik menulis politik. Apakah saya punya pengetahuan mendalam tentang politik (tidak juga). Dalam menulis politik saya akan mencari referensi dari baik dari buku politik yang sempat saya abaca sekilas maupun berita- berita yang datang dari media mainstream semacam Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Koran Tempo atau majalah Tempo. 

Saya suka analisis politik Tempo yang amat detil dan investigatif dalam menyajikan berita politik. Tempo bisa kritis dan tidak tedeng aling- aling dalam mengkritik meskipun yang dikritiknya adalah rezim yang sedang berkuasa.

 Sedangkan Kompas dulu saya sangat suka membaca Tajuk Rencana ketika Pak Jakob Oetama masih aktif dalam keredaksian. Di majalah Tempo saya harus merenung lama jika membaca catatan pinggirnya Gunawan Muhammad.

Menulis sebetulnya bukan sekedar meluapkan emosi. Apalagi tulisan opini lebih ke arah subyektifitas penulis. Maka ketika menulis artikel di Kompasiana, opini dengan sudut pandang pengetahuan sendiri adalah originalitas penulis itu sendiri. 

Tingkat genuine -nya sebuah tulisan bila tidak banyak catatan pinggir entah yang datang dari cuplikan- cuplikan makalah, tulisan- tulisan apra ahli, penulis, pengarang. 

Spontanitas menulis tentu harus ditunjang oleh luasnya pengetahuan. Jika tidak pernah membaca (terutama buku pengetahuan umum, populer, sains, seorang penulis akan gampang kehilangan ide sebab pengetahuannya masih minim dan cenderung tidak up to date hingga tulisannya tidak menarik, monoton dan membosankan, hanya pengulangan- pengulangan dengan sudut pandang sempit.

Yang Berkualitas Belum  tentu Menarik Pembaca

Dari pengalaman saya menulis artikel populer ternyata bisa mengukur diri untuk kembali merunduk, kembali merenungi beberapa tulisan yang sepi pembaca tetapi sebetulnya amat berkualitas untuk meningkatkan daya kritis pikiran.

Tulisan sensasional memang dikonsumsi sebentar hanya karena situasi dan kondisi tertentu. Terutama ketika ada riuhnya pembicaraan politik yang sekarang ini meriah dengan simpang siur hoaks, ujaran kebencian. Ada keterbelahan antara pendukung rezim, oposisi dan orang- orang yang abstain (golput).

Mereka semua meminta perhatian, ingin diprioritaskan ingin didengar. Penulis dengan kecenderungan pada sebuah rezim tentu saja berusaha keras menampilkan sisi positif petahana. 

Tetapi tidak akan mudah dipercayai oleh mereka yang kecewa pada rezim yang awalnya mereka fanatik mendukung tetapi kecewa karena ternyata pada akhirnya  harapannya yang tinggi itu harus kandas karena kemauan mereka tidak terakomodasi. 

Kekecewaan itu melahirkan sikap masa bodo dan bahkan banyak dari mereka menyeberang ke kubu sebelah yang kualitasnya pun sebnarnya sama bahkan lebih buruk.

Politik dan Segala Konsekwensinya

 Orang- orang yang menaruh harapan tinggi pada pemimpin amat beresiko untuk kecewa. Mereka tentu sudah membayangkan bahwa perjuangan mereka akan didengarkan dikabulkan permintaannya. 

Saya melihat orang- orang dengan hararan tinggi mendapatkan keadilan dan penegakkan hak asasi yang akan mudah kecewa. Orang- orang korban  revolusi, tumbangnya sebuah orde baru akan sangat rentan menjadi pennganut Golput.

Kepemimpin presidential dengan dasar kepartaian tentu susah memperjuangkan HAM. Sebab persoalan HAM sepanjang zaman akan selalu berhadapan dengan kekuasaan. 

Kekuasaan itu produk kompromi di mana banyak pelanggar HAM duduk dalam kabinet, dalam partai, dalam parlemen atau Yudikatif. Mereka menyusup dengan rezim- rezim dari waktu ke waktu. 

Dalam benak LSM mereka tahu siapa pelanggar HAM yang berperan dalam tragedi 98. Dari TNI pejabat, wakil rakyat terlibat banyak yang terlibat pelanggaran HAM tapi tentu susah menurunkan mereka ketika mereka mempunyai jabatan strategis yang memungkinkan kebal hukum. Hampir semua jendral yang sukses di masa orde baru amat dekat dengan kasus pelanggaran HAM. 

Tetapi menuding mereka tanpa bukti tentu saja hanya menimbulkan persoalan. Jendral- Jendral yang telibat itu tentu tidak ingin melanggar HAM tapi karena situasi dan kondisi, sesuai tupoksi, sesuai perintah ia harus menyusun rencana. 

Rencana itu bisa membuat beberapa orang menjadi korban dari sebuah keputusan dan apa suatu hari kelak akan menimbulkan masalah karena berhubungan dengan penghilangan nyawa, penculikan terencana, dan strategi perang melawan ekstremis atau demonstran. Banyak korban  pada kedua belah pihak. Sama- sama menyangkut HAM.

Yang sering dibahas dalam politik kekinian adalah tentang sosok yang terlibat dalam peristiwa kelam masa lalu, tentang figure ideal yang dimau rakyat. Ada yang suka tokoh populis merakyat, sederhana, tetapi ada yang lebih suka dengan sosok gagah, sangar, tegas, gahar, ganteng. 

Mereka menginginkan kestabilan dengan memasang pemimpin yang cenderung otoriter yang bisa tanpa tedeng aling- aling mengeksekusi seseorang tanpa ekspresi seperti Kim Jong Un.

Masyarakat yang dinamis ternyata mudah lupa dengan tragedi masa lalu. Sosok pelanggar itu bisa tiba- tiba menjadi populer karena situasi dan kondisi membuat dia bisa merebut simpati rakyat. 

Hal itu tergambar dengan nyata di Indonesia. Ketika mereka bosan dengan sosok yang otoriter mereka segera terpincut dengan sosok humanis, sederhana dan merakyat, tapi ketika muncul situasi buruk terutama krisis  ekonomi, barang- barang cenderung mahal dan pengangguran merebak segera masyarakat mengubah pandangan termakan oleh isu, berita picisan hoaks apalagi ditambah tokoh ulama ikut- ikutan menvonis dan memprovokasi untuk melawan kekuasaan.

Menulis  Untuk Membangun Kualitas Diri

Terlalu asyik menulis artikel populer membuat saya merasa harus kembali meneliti kata- demi kata apakah tulisan itu bermanfaat atau hanya sekedar sensasi. 

Boleh jadi saya lebih terkenal, lebih populer tetapi ruang bathin saya seperti tercekat karena saya menulis bukan karena usaha menginspirasi tetapi sekedar ikut arus. 

Banyak konflik kepentingan tetapi untuk tetap eksis kadang saya memang harus mengorbankan idealism untuk tetapi bisa eksis dalam dunia kepenulisan.

 Untuk tulisan ini saya dedikasikan untuk sebuah kritik terhadap diri sendiri bahwa saya harus dalam jalur menularkan pengetahuan tanpa mengorbankan idealisme. 

Saya sebetulnya lebih suka menulis seni budaya yang cenderung sepi pembaca daripada politik yang hingar bingar tetapi hanya mempunyai kecenderungan menambah gaduh republik ini. 

Saya berharap ada politisi yang berhasil mengubah pandangan saat ini yang cenderung negatif terhadap sepak terjang politisi yang lebih mengabdi pada kekuasaan, kepentingan daripada idealisme pengabdian dengan tujuan melayani secara tulus. Adakah sosok politisi yang tulus saat ini? Sangat langka!

Jadi alangkah baiknya tidak terlambat untuk kembali memperkuat akar budaya masyarakat agar tidak terjebak dalam arus budaya global yang mengaburkan kekuatan budaya bangsa. 

Tentunya Indonesia tidak ingin hancur seperti negara Afganistan. Pakistan, Irak, Syria yang selalu konflik akibat konflik etnik dan agama. Kekuatan budaya akan mengurangi sel- sel teroris dan radikalisme yang sangat menakutkan. 

Salah satunya adalah dengan literasi menumbuhkan kecintaan menulis dan membangun budaya membaca, bisa lewat gawai tapi alangkah nyaman membaca buku phisik yang tidak cepat melelahkan mata. Salam Literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun